Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Matahari baru saja mengintip dari balik tirai langit ketika suara klakson mobil terdengar pelan di depan rumah Niken. Gadis itu sudah bersiap sejak satu jam lalu, berdandan rapi dengan blouse putih dan rok selutut berwarna krem. Ia melangkah keluar rumah dengan langkah ringan, membawa segelas kopi dalam tumbler dan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.
Bastian menurunkan kaca jendela mobilnya dan menyapa dengan suara renyah, “Pagi, Niken. Cantik sekali pagi ini.”
Niken tertawa kecil sambil membuka pintu mobil. “Kamu juga kelihatan segar. Tumben nggak pakai jaket hitam itu?”
“Spesial. Hari ini rasanya terlalu cerah untuk warna gelap,” jawab Bastian, lalu menunggu Niken duduk dan mengenakan seatbelt sebelum melajukan mobil perlahan ke arah kantor.
Di dalam mobil, suasana hangat terasa. Musik mengalun pelan, jalanan belum terlalu padat, dan semilir angin pagi masuk dari kaca yang sedikit terbuka.
Setelah beberapa menit diam dalam kenyamanan masing-masing, Niken tiba-tiba bersuara, “Bas…”
“Hm?”
“Aku rasa… aku sudah siap menikah dalam waktu dekat.”
Bastian yang tengah memutar setir sontak menoleh sebentar, memastikan ia tidak salah dengar. “Serius, Ken?”
Niken menatap lurus ke depan, tapi senyum tipisnya terlihat jelas. “Serius. Aku sudah pikirkan ini matang-matang.”
Seketika dada Bastian terasa sesak oleh perasaan yang meledak-ledak. Ia tertawa pelan, penuh rasa lega dan bahagia. “Ya Tuhan… kau tidak tahu betapa aku menunggu kata-kata itu keluar dari mulutmu.”
“Aku tahu,” bisik Niken sambil melirik sekilas. “Makanya aku pastikan dulu semuanya sebelum ambil keputusan.”
Bastian menggenggam setir erat-erat, mencoba meredam gelombang perasaan dalam dirinya. Namun, ia tak bisa menghentikan senyum bodoh yang terus mengembang di wajahnya.
“Niken…” katanya penuh harap. “Kalau boleh tahu… kamu mau mas kawin berapa?”
Niken mengangkat bahu santai. “Aku tidak punya permintaan khusus. Kasih saja mas kawin yang umum. Yang sederhana tapi bermakna.”
Bastian mengangguk cepat. “Oke. Terus… seserahan? Aku harus beli apa saja?”
Janda cantik itu menoleh, matanya lembut. “Aku sudah punya segalanya, Bas. Jangan berlebihan. Yang penting kamu niat dan serius.”
Jawaban itu membuat dada Bastian menghangat. Tak ada yang lebih indah dari cinta yang tulus tanpa banyak syarat. Ia ingin berhenti di tengah jalan dan memeluk Niken saat itu juga, tapi tentu saja tidak mungkin.
Pagi itu, hati Bastian seperti taman bunga yang bermekaran. Banyak kupu-kupu hinggap di hatinya, membuat jantungnya terasa geli dan ringan. Ia merasa seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah terbesar dalam hidupnya.
“Kalau begitu, nanti malam aku bakal ke rumah. Aku mau bilang ke Ayah dan Ibu,” ucap Bastian dengan nada pasti.
“Bilang apa?”
“Bilang… aku akan segera menikah dengan perempuan terbaik yang pernah aku kenal.”
Niken tertawa, malu-malu. Dan Bastian? Ia tahu, pagi ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Sesuatu yang sudah lama ia nantikan—sebuah kehidupan bersama Niken.
***
Setelah memastikan Niken tiba di kantor dengan selamat, Bastian langsung melajukan mobilnya ke arah rumah orangtuanya. Perasaan di dadanya masih belum tenang, terlalu banyak kebahagiaan yang berdesak-desakan untuk keluar. Ia ingin segera berbagi kabar itu—tentang keputusan Niken yang akhirnya siap untuk menikah dalam waktu dekat.
Setibanya di rumah, Bastian memarkir mobil dengan terburu-buru lalu berjalan cepat masuk ke dalam. Di ruang keluarga, sang ibu sedang membaca majalah sementara ayahnya menonton berita pagi. Keduanya menoleh serempak saat melihat Bastian masuk dengan napas sedikit terengah.
“Ibu, Ayah!” seru Bastian, matanya berbinar. “Aku harus kasih tahu sesuatu!”
Lavender meletakkan majalah di pangkuan. “Kamu kenapa? Kayak dikejar debt collector.”
“Aku baru saja antar Niken ke kantor. Dan dia bilang… dia setuju untuk menikah denganku. Dalam waktu dekat!” kata Bastian, nyaris tak bisa menyembunyikan senyumnya.
Ibunya terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara tenang, “Kamu sudah sangat yakin dengan pilihanmu itu?”
Bastian mengangguk mantap. “Sudah, Bu. Sangat yakin. Aku tahu dia orangnya. Aku udah tidak ingin cari siapa-siapa lagi. Niken cukup. Lebih dari cukup, malah.”
Ayahnya menyandarkan tubuh ke sofa, menatap Bastian dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Kalau begitu, mas kawin apa yang sudah kamu siapkan untuk menikahinya?” sambung Chandra.
Pertanyaan itu membuat Bastian menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia menarik napas, lalu menjawab, “Itu dia, Yah… aku bingung. Dia punya segalanya. Pekerjaan, rumah, kendaraan, tabungan. Bahkan barang-barang branded dia lengkap. Kalau aku kasih perhiasan, sepertinya biasa saja…”
Ia terdiam sejenak, lalu bersuara lagi dengan nada berpikir keras. “Bagaimana kalau aku kasih dia mas kawin sebuah hotel? Atau… sebuah vila? Atau….”
Kalimatnya menggantung, seolah otaknya sedang memutar ribuan kemungkinan.
Ayahnya tertawa pelan lalu berkata, “Kamu terlalu serius memikirkannya. Kalau memang kamu mau kasih sesuatu yang berkesan dan tidak biasa… bagaimana kalau kapal pesiar?”
Bastian mengerutkan dahi. “Kapal pesiar?”
“Ya,” ujar ayahnya dengan nada yakin. “Kamu belikan kapal pesiar ukuran sedang, cukup untuk keluarga inti. Lalu kalian bisa adakan pernikahan di laut. Setelah itu, lanjut bulan madu langsung di kapal itu. Romantis, eksklusif, dan... tidak bisa dilupakan.”
Bastian membisu beberapa detik, lalu matanya berbinar. “Itu… ide yang jenius! Kenapa aku tidak kepikiran?”
Ibunya terkekeh kecil. “Karena kamu keburu panik. Padahal tinggal minta saran ke orangtuamu.”
Bastian tertawa, rasa antusiasnya membuncah. Ia sudah membayangkan Niken mengenakan gaun putih, berdiri di atas dek kapal dengan angin laut meniup pelan rambutnya, sementara mereka mengucap janji suci di bawah langit biru yang luas.
"Terima kasih, Yah, Bu. Aku bakal urus semuanya. Aku ingin semuanya sempurna buat Niken," katanya mantap.
Pagi itu, rencana pernikahan Bastian tak hanya hidup dalam angan-angan, tapi mulai membentuk wujud yang nyata—di atas lautan, dengan cinta yang tak terukur.
Bersambung....
Hallo, jangan lupa subscribe buku ini selesai baca dan berikan like ya! Sebagai bentuk dukungan dan dorongan agar author lebih semangat update. Terimakasih....😘🙏