Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Ibu
Cerita seolah tak akan berakhir, selama jiwa Raga masih terikat pada kampung tua ini. Ia tidak pernah menyangka kepulangannya justru membawa segudang keanehan, bukan kebahagiaan. Semua ini tak bisa disingkirkan, karena menyangkut nama baik dan harga diri seluruh keluarga besar moyang.
Malam ini cuaca terasa begitu menusuk tulang. Raga duduk di samping Ibunya di ruang keluarga, mencurahkan segala uneg-uneg yang mengganjal di dada. Ayah sudah lebih dulu masuk ke kamar, meninggalkannya dalam keheningan disela derik jangkrik dan desiran angin malam.
Ibu menghentikan aktivitas menyulam menaruh kain dan benang di atas pangkuannya.
"Mengapa Ibu tidak memberitahu raga dari awal, Bu?" tanyanya sambil memasang jaket untuk menahan angin lembah yang menyusup dari celah-celah ventilasi.
"Apa yang harus Ibu katakan padamu, Nak?" balas Ibu dengan suara lirih, sebelum tangannya kembali mengambil jarum dan benang, seolah mencari pelarian dalam setiap jahitan.
"Dan sekarang, aku yang harus menjadi tumbalnya," ucapnya tanpa bisa menyembunyikan kepahitan.
Ibu terkesiap. Jarum di tangannya terhenti sesaat "Jangan pernah kamu samakan keluarga kita dengan pesugihan, Bujang! Kamu salah besar!" suaranya meninggi, wajahnya memerah disinari lampu minyak yang temaram.
Laki laki itu terdiam, tertegun oleh reaksinya yang begitu keras. Mengapa Ibu marah? Bukankah ini kenyataan yang harus dihadapi?
"Raga tidak menyalahkan siapa-siapa, Ibu. Tapi mengapa harus raga yang dipilih untuk memenuhi perjanjian ini?"
Ibu menggeser kursinya mendekat, matanya menatap dalam-dalam. "Tidak ada yang memaksamu, Nak. Turunan Jin itu... mereka bukanlah siluman jahat. Moyang kita menjalin ikatan dengan mereka di masa sulit. Mereka tak pernah mengganggu, Bujang. Mereka hanya ingin diakui, ingin dianggap sebagai bagian dari keluarga."
"Itu namanya sirik, Ibu," bantahnya lemah.
"Kamu memang berpendidikan tinggi, Bujang. Ibumu ini memang bodoh," ujarnya dengan nada murung, membuat hati tersayat. "Tapi percayalah, keturunan keluarga Bunian memang tidak tercatat dalam silsilah keluarga karena mereka hidup di alam yang berbeda. Tapi yang perlu kamu ingat, mereka itu ada, keluarga jauh kita. Dan pantangan terbesar adalah tidak boleh mencela mereka."
"Bukan itu maksud Raga, Ibu," ujarnya melunak
"Lalu apa?" tanya Ibu. "Kamu sudah mendengar dari Angku. Mereka hanya ingin menjalin silaturahmi yang terputus. Hanya dengan ikatan yang kuat, baik lewat pernikahan atau tirakat khusus, hubungan ini akan tetap terjaga dan mereka tidak merasa diingkari."
"Tapi tidak bisa, Ibu. Raga tidak mau. Bagaimana pun, hukumnya haram," bantahnya, mencoba bertahan pada keyakinan.
Ibu meneguk air dingin dari gelas di mejanya. Tatapannya yang tadi tajam, kini berubah lembut, bahkan hampir memancarkan kebingungan. "Siapa... yang menyuruhmu menikah dengan Jin?"
Seketika itu juga, ruangan terasa membeku. Pertanyaannya menggantung di udara, menusuk langsung ke pusat keraguan.
Raga terdiam, tak mampu menjawab. Selama ini, asumsinya sendiri yang membayangkan pernikahan sebagai satu-satunya bentuk ikatan.
Perempuan itu menarik napas panjang. "Ikatan yang dimaksud moyang kita bukan hanya ikatan pernikahan jasmani, Nak. Itu adalah khayalanmu sendiri. Ikatan sesungguhnya adalah ikatan batin, sebuah pengakuan dan penghormatan. Mereka ingin trah kita menjadi saudara, bukan suami-istri."
Kata-kata Ibu bagai membuka gembok yang mengunci pikirannya. "Lalu, apa yang harus Raga lakukan?"
"Kamu harus melakukan Tirakat Pangkuan, Bujang. Sebuah ritual pengakuan. Kamu akan duduk bersila di tengah lingkaran para tetua, baik yang kasat mata maupun yang tidak, dan mengucapkan ikrar menerima mereka sebagai saudara seketurunan. Dengan itu, perjanjian itu terpenuhi tanpa melanggar ajaran agama. Itu bukan pernikahan, tapi penyatuan kembali dua cabang keluarga yang terpisah alam."
Perasaan lega tak terkira menyelimuti tapi langsung diikuti oleh kecemasan "Apakah... apakah Arumi akan setuju dengan ini?"
"Ia lebih dari sekadar setuju, Nak. Dialah yang mengusulkannya pada Angku. Ia tahu jalan ini yang paling benar. Dia belum tentu menginginkanmu tapi hanya rindu diakui sebagai saudara."
Segala puzzle akhirnya tersusun rapi. Tatapan sedih Arumi, ucapannya tentang "jalan yang salah", dan janjinya untuk tidak mengganggu lagi—semuanya menjadi jelas. Dia bukanlah hantu penagih janji, melainkan seorang "saudara" dari alam lain yang berusaha meluruskan takdir yang telah bengkok karena salah tafsir.
"Kapan ritual itu akan dilaksanakan, Ibu?"
"Besok malam, di rumah gadang pusaka, dipimpin oleh Angku dan kamu harus menyiapkan hatimu, Bujang. Ini bukan tentang mengusir atau takut, tapi tentang membuka hati untuk sebuah kebenaran yang lebih luas dari yang pernah kamu bayangkan."
Ibu kemudian kembali menyulam. Raga menatap keluar jendela, memandangi bulan Malam ini, dinginnya tak lagi terasa menusuk, tetapi justru menenangkan. Perjalanan pulang yang awalnya dipenuhi misteri dan ketakutan, kini berubah menjadi sebuah pemahaman. Kampung halaman ini menyimpan bukan hanya cerita horor, tapi juga kearifan yang dalam tentang bagaimana menjalin hubungan dengan dunia yang tak kasat mata, bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa hormat dan pengakuan bahwa ada lebih banyak hal di langit dan bumi ini daripada yang bisa dipahami oleh akal sekolah tinggi.