NovelToon NovelToon
Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan Tentara / Romansa / Dokter / Gadis Amnesia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Fantasi

Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.

Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

penyambutan yang penuh dengan kejutan

"Yaaaahhh! Ayaaahhh!"

Suara Santi, Bunda Haris, memekakkan seisi rumah. Secepat kilat, seorang pria tampan yang tak lagi muda, Ayah Haris, menuruni tangga dengan tergesa.

"Ada apa sih, Bun? Teriak-teriak gitu?" tanyanya, cemas.

"Yahhh... Haris udah ada di bandara... Dia udah pulang misi!" seru Santi, suaranya sarat kelegaan dan kebahagiaan.

Mendengar kabar itu, wajah sang Ayah berseri. "Oh, bagus dong... Ayo kita ke bandara!"

"Tapi Yah, Haris bilang dia pengennya kita di rumah aja... Dan suruh ajak teman-teman juga ke sini... Nggak tahu mau ngapain tuh anak," Santi menjelaskan.

"Tumben... Tapi ya sudahlah, Bun... Ikutin saja ucapan anak itu," Ayah mengangguk setuju.

"Adik mana?" tanya Santi, mencari Hamzar.

"Ada di atas kayaknya," jawab sang Ayah.

"Ya sudah... Bunda mau ke atas dulu... Ayah bantu ya... Kita bakal buat penyambutan nanti sore," Santi bergegas.

"Oke, Bun..."

Bunda langsung menaiki anak tangga, menuju kamar putra bungsunya. Terlihat Hamzar sedang fokus di meja belajarnya.

"Adik..." panggil Bunda lembut. Hamzar menoleh, terkejut melihat Bundanya memasuki kamarnya.

"Ada apa, Bun?"

"Abang kamu udah pulang, Dek..."

Mata Hamzar membulat. "Seriusan, Bun?! Sekarang di mana Abang?!"

"Belum sampai... Abangmu masih ada di bandara... Oh iya, kamu kenal sama teman Abangmu, kan? Tolong hubungi mereka, suruh ke rumah ya... Itu permintaan Abangmu," jelas Bunda.

"Kirain udah sampai, Bun... Ya sudah, aku kabarin mereka biar suruh ke rumah..."

"Oh iya, kalau Nara sudah pulang dari kampus, bilang jangan ke mana-mana dulu ya... Harus tetap di rumah... Bunda mau beli makanan dulu buat persiapan Abangmu pulang."

"Oke, Bunda..."

"Bunda ke bawah dulu ya, sayang... Jangan lupa!"

Bunda kembali menutup pintu kamar anak bungsunya. Senyumnya tak bisa pudar. "Aku harus cepat... Nggak sabar lihat anakku pulang."

***

"Kita udah sampai?" Nahda bertanya, suaranya serak karena kantuk.

"Belum, sayang... Aku lagi cari taksi online dulu buat kita pulang," jawab Haris.

Nahda menghela napas lelah. Perjalanan panjang memang membuatnya mudah letih dan lemas. Rasanya ingin segera sampai rumah dan langsung tidur. Namun, ia tak menyangka bisa berada di kota sebesar Surabaya ini. Mata kantuknya kembali berbinar cerah saat keluar dari bandara, melihat gedung-gedung menjulang tinggi.

"Wow... aku belum pernah lihat kota sebersih ini," gumamnya, terpukau.

Haris sibuk memantau ponselnya, memastikan taksi yang ia pesan sebentar lagi tiba. Setelah yakin, ia kembali memperhatikan gadisnya yang tengah asyik memandangi jalanan di luar.

"Kamu liatin apa?" "Eum? Aku lihat gedung sama jalan raya aja," jawab Nahda polos.

Haris menarik tubuh Nahda perlahan, memeluknya erat. "Gimana? Kamu suka suasana di kota?"

"Aku suka... Yang jelas di sini aku bisa sama kamu..." Nahda berbisik, menyandarkan kepalanya.

Tak lama kemudian, taksi online yang mereka pesan tiba.

"Atas nama Bapak Haris Khrisna?" tanya supir taksi.

"Iya, saya, Pak," jawab Haris. Supir taksi keluar dari mobil.

"Saya bantu angkut ya, Pak." Haris menoleh pada Nahda.

"Kamu masuk duluan saja, Yang... Aku mau rapihin koper dulu."

"Oke," Nahda mengangguk.

Nahda masuk duluan, sementara Haris dan supir taksi memasukkan koper-koper ke bagasi mobil. Pekerjaan berdua jadi cepat selesai. Haris dan supir itu segera memasuki mobil.

"Sesuai maps ya, Pak."

"Iya, Pak..."

Nahda kembali menyandarkan kepalanya di bahu Haris. "Sebentar lagi kita sampai, kan?"

"Iya, hehe... Maaf ya lama," jawab Haris.

"Nggak sabar aku pengen ketemu sama adikku."

Haris tak menjawab. Ia mengecup pelan pucuk rambut kekasihnya, mengelusnya lembut. Mobil pun mulai bergerak, meninggalkan bandara.

"Semua udah kamu hubungi, Dek?"

"Udah, Bun... Tinggal nunggu mereka datang aja," jawab Hamzar.

"Nara gimana?" "Bang Nara lagi ada di dapur... Lagi beresin kue katanya."

"Oh ya sudah... Kamu sana siap-siap, sebentar lagi abangmu mau datang."

Terdengar dari arah luar, deru beberapa mobil memasuki pekarangan rumah. Mereka adalah sahabat-sahabat Haris waktu sekolah dulu. Mereka semua diundang atas permintaan Haris.

"Yang... bantuin turun... susah," ujar Mita, yang kesusahan karena sedang hamil anak pertamanya.

"Iya, Yang... sebentar," sahut Renal, suaminya yang sudah menikah satu tahun lalu.

Mereka semua memasuki rumah mewah itu, menyapa pemilik rumah yang sudah menyambut mereka di dalam.

"Permisi, Tante..."

"Eh, kalian semua udah datang... Ayo duduk dulu," sapa Bunda Haris ramah.

"Kak Haris belum sampai, Tan?" tanya Mita.

"Belum... Katanya dia lagi ada di jalan... Kalian duduk dulu saja sekalian makan ya... Udah Tante siapkan."

"Urusan makan... Brian maju paling depan... SERBUUUUU!" seru Brian, membuat semua tertawa.

Sudah hampir 10 tahun lulus SMA, watak mereka masih sama. Mungkin hanya perilaku luarnya saja yang berubah. Sambil menunggu, mereka berbincang, laki-laki dan perempuan terpisah. Bagian perempuan hanya Messi, Mita, dan Bunda Haris yang sibuk ngerumpi. Sama halnya dengan para pria.

***

Hampir 2 jam menunggu kepulangan Haris, akhirnya mereka mendengar suara deru mobil yang baru saja memasuki area rumah mewah itu. Semua terfokus mendengarkan.

"Abang udah pulang!" seru Hamzar, matanya berbinar.

Semua mata mengarah ke pintu depan. Mereka berdiri berjejeran, menyambut kedatangan orang yang mereka nantikan. Tak lama kemudian, langkah kaki besar muncul dari arah pintu. Haris berdiri di sana, dengan senyum merekah, tas dan koper masih di punggungnya.

"Abaaanggg!!!"

Hamzar yang memang manja terhadap abangnya langsung memeluk Haris erat. "Adik Abang sehat?"

"Sehat, Bang..."

"Abang... Alhamdulillah udah pulang," ujar Bunda, terharu, sembari memeluk putra sulungnya.

"Alhamdulillah sampai dengan selamat, Ris..." tambah Ayah.

"Iya, Yah... Eh, sebentar... Sesi kangen-kangenannya kita tunda dulu, oke... Aku mau tunjukkin sesuatu sama kalian..."

Semua terlihat kebingungan. Haris memanggil 'sayang', yang berarti itu pasti perempuan yang sudah dipacarinya.

"Lu punya pacar?!" seru Brian tak percaya.

"Diem dulu!" Haris memperingatkan.

Mereka menunggu kemunculan orang yang dimaksud Haris, namun tak kunjung muncul. Haris yang khawatir segera menghampiri gadisnya yang masih berada di luar.

"Kalian tunggu di sini..." Haris bergegas ke pintu depan, melirik kanan kiri.

Kamu kenapa terus berdiri di sini... Aku kan udah manggil kamu?"

"Aku takut," jawab Nahda pelan.

"Hey... dengar aku... Kamu pengen ketemu adikmu, kan? Adikmu ada di dalam... Ayo, kita masuk," bujuk Haris.

Nahda terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan, menyetujui permintaan calon suaminya. Mereka pun masuk kembali, Nahda berada di belakang Haris.

"Maaf... Ada hal sebentar tadi."

"Siapa yang lu bawa? Pakai bilang sayang lagi," ujar Brian, penuh rasa ingin tahu.

Haris tersenyum simpul. "Aku rasa kalian mengenal dia siapa... Ayo, sayang... Berdirilah di sampingku."

Perlahan, wajah Nahda mulai terlihat dari balik punggung lebar Haris. Sementara di sana, mereka semua kebingungan, tak mengenali wajah wanita yang dulu pernah menghilang selama 10 tahun itu.

"Dia siapa, Ris?" tanya Alex, saat yang lain masih terdiam melihat Haris membawa seorang wanita. Nahda yang masih ketakutan hanya bisa menunduk.

Sedangkan Nara, Mita, dan Messi, mata mereka terbelalak saat melihat wanita itu. Terutama sang adik, Nara, ia sudah menyadari bahwa wanita itu adalah kakaknya. Matanya mulai berkaca-kaca, masih tak menyangka melihat wanita di hadapannya ternyata masih hidup.

PRAAANGGG!

Semua mata beralih pada Nara yang menjatuhkan nampan berisi makanan di atasnya. Pipinya sudah dibasahi air mata.

"Kakak?" lirihnya.

"Kakak... Apa benar kamu kakakku?"

Haris tersenyum saat Nara ternyata masih mengingat wajah kakaknya. Mita dan Messi masih terpaku, ingin sekali memeluk sahabatnya itu.

"Di hadapan kalian ini... memang benar, dia adalah Nahda yang dulu sempat hilang 10 tahun yang lalu... Sayang... itu adalah adikmu," tunjuk Haris pada Nara.

Nahda yang tertunduk kembali mengangkat wajahnya. Air mata menetes saat ia melakukan kontak mata langsung dengan adiknya.

"Kakak!!!!!!" Nara berlari menuju Nahda yang berdiri di samping pria yang sudah dianggap sebagai abangnya sendiri.

GREP!

Nara memeluk tubuh Nahda dengan erat. "Gue senang... lu ternyata masih hidup. Akhirnya gue bisa meluk lu lagi, Kak," suara Nara parau, menangis histeris karena bisa bertemu kembali dengan kakaknya setelah sekian lama berpisah, bahkan dinyatakan meninggal.

Semua yang ada di sana terperangah. Terutama Mita dan Messi, sudah menangis tersedu-sedu karena bahagia bisa bertemu Nahda lagi. Nahda juga ikut menangis, membalas pelukan adiknya.

"Aku juga nggak menyangka bisa bertemu dengan adikku lagi... Maafkan kakakmu ini ya," bisik Nahda.

Nara melepaskan pelukannya, menangkup wajah cantik kakaknya. "Kakak nggak salah... Aku bersyukur Kakak masih hidup... Aku nggak hidup sendirian lagi..."

"Adikku sudah besar... Tambah ganteng," puji Nahda, melihat adiknya secara langsung. Nara terkekeh sembari menghapus air matanya.

"Naaaaa!!!" "Nahdaaa!!!"

Mita dan Messi bergantian memeluk tubuh sahabatnya itu. Awalnya Nahda kebingungan, tak mengenali mereka, namun ia membalas pelukannya.

"Lu jahat, Na... lu jahat udah ninggalin gue begitu lama... lu tahu nggak, gue hampir depresi kehilangan lu," lirih Mita sembari menangis.

"Akhirnya ketidakpercayaan gue terbukti... Gue selalu nggak percaya kalau lu udah gak ada. Buktinya lu masih hidup." sambung Mita, memeluk erat.

Memang benar, saat Nahda dinyatakan menghilang dan meninggal dunia, orang yang tidak percaya selain Haris adalah Mita. Dia bahkan sering menangis sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya. Ada rasa bersalah, sama seperti yang dialami Haris dulu.

Haris membiarkan ketiga sahabat ini menghabiskan waktu untuk saling menumpahkan kerinduan. Sementara itu, pri tampan berbaju loreng itu menghampiri para pria serta Bunda yang masih bingung atas kejadian ini.

"Ris... Maksud kamu ini apa? Bagaimana bisa?" ujar Ayahnya, masih tak percaya.

"Ini semua terjadi karena kehendak Tuhan, Yah... Awalnya Haris juga nggak percaya... Tapi memang benar jika itu adalah Nahda, Yah," jelas Haris.

"Tapi bagaimana bisa dia hidup lagi sementara dulu dia jatuh dari jurang?" tanya Bunda, takjub.

"Nanti Haris beri tahu, Bun, Yah... Haris bakal cerita semuanya... Sekarang, Haris mau beres-beres dulu... Oh iya, jangan sampai membuat Nahda tertekan, dia masih sakit," pesan Haris.

Haris segera menuju kamarnya untuk membersihkan badan. Nahda ada yang menjaga, yaitu adiknya. Sementara semua pria di sana mendadak kembali ke kondisi normal, melanjutkan obrolan absurd mereka.

Mita dan Messi pun sama. Mereka masih memeluk tubuh Nahda dengan erat. Lalu pelukan itu mengendur, menyisakan jarak walau tak jauh.

"Lu nggak apa-apa, kan, Na? Kenapa lu nggak pulang ke sini kalau lu masih hidup?" tanya Mita.

"Iya, Na... Selama ini lu tinggal di mana?" sambung Messi.

Nahda terdiam sejenak. Ia nampak bingung akan menjawab pertanyaan dari dua wanita di depannya ini. "Eummm... Aku baik-baik saja... Tapi... kalian siapa?"

DEG!

Mereka berdua terpaku.

"Lu bener nggak inget kita, Na?" lirih Mita tak percaya.

"Kita sahabat lu waktu SMA, Na!" sambung Mita, memegangi bahu Nahda dengan sedikit kuat.

Nahda terdiam, mencoba mengingat. Ia memang tidak mengingat dua wanita di depannya ini, padahal Haris sudah bercerita padanya. Yang hanya ia ingat adalah Haris, kedua orang tuanya, dan juga adiknya. Kemudian kepalanya tiba-tiba terasa sakit kembali karena mencoba mengingat.

"Arghhhh," lirihnya pelan.

Mita dan Messi, yang awalnya kesal, mendadak cemas melihat raut kesakitan sahabatnya itu. "Na... lu kenapa?!"

Kebetulan Haris sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai. Ia melihat ke arah Nahda yang memegangi kepala. Haris merasa gadis itu tengah mencoba mengingat sesuatu, sehingga kepalanya merasakan sakit kembali.

"Sayang... kamu kenapa? Sakit lagi? Udah, kalau nggak ingat jangan dipaksa," kata Haris lembut. Nahda dengan mata teduh melihat ke arah Haris yang tengah memeganginya.

"Maaf... aku... aku masih nggak bisa ingat semuanya..." lirihnya, merasa bersalah.

Haris menatap tajam kedua sahabat Nahda. "Tolong kalian jangan memaksanya bercerita... Aku akan menceritakan semuanya pada kalian... Sekarang, kalian duduk di sana..." tegas namun tetap lembut.

"Ayo, sayang... Kamu juga duduk," ajak Haris pada Nahda.

Mereka semua sudah berkumpul di ruang tengah, tempat semua kursi terisi.

"Gimana ceritanya sampai kamu ketemu sama Nahda lagi, Ris?" tanya Ayah Haris.

Haris pun mulai menceritakan semua dari awal pertemuan, hingga akhirnya ia bisa membawa Nahda pulang bersamanya. Bahkan ia juga menceritakan semua perjuangannya untuk mendapatkan Nahda kembali. Ia juga bercerita tentang Nahda yang lupa ingatan akibat terjatuh dari jurang dan ada yang menolongnya. Semua yang ada di sana terperangah, bahkan terkejut, mendengarkan cerita dari Haris.

Terutama Nara, yang memang sangat mengkhawatirkan kakaknya itu. Ia kebetulan berada di samping kakaknya, sehingga saat Haris bercerita sesekali ia memeluk kakaknya.

"Gue nggak tahu lu ngalamin hal seburuk itu, Kak..." Nara berbisik pilu.

"Jadi... benar ini Nahda, Ris?" ujar Ayahnya, tak menyangka.

"Benar, Yah... Bun... Kalau nggak percaya, buka tas itu. Itu barang-barang dia waktu camping SMA dulu. Bajunya penuh robekan dan darah... Sebab itu wajar aja kalau dia hilang ingatan," jelas Haris.

"Dan kalian semua, gue mohon ya... Jangan marah kalau dia nggak ingat, terutama kamu Mita... Jangan sedih ya... Dia cuma butuh waktu buat ingat semuanya."

Mita hanya bisa mengangguk sembari menangis. Kondisinya yang sedang hamil membuat tingkat sensitifnya semakin tinggi, makanya Haris pun berhati-hati dalam berucap agar tidak menyakiti perasaannya.

Nahda yang sedari tadi memandangi Mita, akhirnya berinisiatif mengajaknya pergi keluar. Ia berdiri dan meraih tangan Mita. "Mita... Maaf karena aku bikin kamu sedih... Ayo kita keluar... Kita kumpul kaya dulu... Siapa tahu aku bisa ingat."

Mendengar itu, Mita langsung menghapus air matanya dengan cepat. "Ayok!" "Gue ikut," timpal Messi.

Mereka bertiga memutuskan untuk pergi keluar menuju taman tak jauh dari sana. Haris mengizinkan Nahda untuk menikmati waktu bersama orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya.

"Eumm... Kalian semua silahkan ngobrol... Gue mau ke dapur dulu," pamit Haris.

Haris segera pergi dari perkumpulan itu menuju dapur untuk membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Saat Haris tengah sibuk membuat kopi, ia merasakan tepukan pelan di bahunya. Saat menoleh, ternyata itu adalah Bundanya yang tengah tersenyum.

"Eh, Bunda... Kirain siapa," ujar Haris. Bunda kembali tersenyum, melihat putranya sudah kembali dalam keadaan semula. "Bunda senang kamu bisa kembali lagi kaya dulu."

Haris mendadak menghentikan aktivitasnya membuat kopi dan menatap sang Bunda. "Maksud Bunda gimana? Aku biasa saja kok."

"Jangan bohong... Ternyata benar, cuma Nahda yang buat kamu kembali kaya dulu... Bunda bersyukur anak itu bisa kembali dan diberikan kesempatan hidup oleh Tuhan..."

Haris tersenyum mendengar ucapan Bundanya. "Hehe iya, Bun... Aku juga senang bisa bersatu lagi... Walaupun ya saat di sana Haris sempat menyerah, tapi jodoh nggak kemana."

"Kamu punya rencana buat nikahin dia?" Bunda bertanya.

Haris terperangah mendengar ucapan Bundanya itu. "Jadi Bunda merestui aku buat nikah sama Nahda?"

"Asal kamu bahagia, boleh saja... Lagipula Nahda itu menantu idaman Bunda dari dulu... Bahkan Bunda juga pengen anggap dia sebagai anak Bunda sendiri."

Haris memeluk wanita yang melahirkannya itu dengan penuh kasih sayang. "Makasih ya, Bun... Bunda memang yang terbaik..." Lalu ia melepaskan pelukannya.

"Untuk urusan itu, kita bicarakan lagi ya, Bun... Sekarang, kita nikmati waktu kebersamaan kita dulu... Kita ke depan lagi yuk."

"Ayok," ajak Bunda.

Ketiga wanita itu masih terus bercerita, terutama Mita yang paling semangat menceritakan semua kejadian mereka semasa SMA dulu. Bahkan Mita sampai tak sengaja menceritakan soal Fahmi. Sementara Nahda hanya menyimak dalam diam.

"Fahmi siapa?" tanya Nahda penasaran.

"Eumm... Nggak penting, sih, dia siapa... Udah ah, capek, daritadi cerita mulu," Mita mengelak.

"Lagian nyerocos mulu daritadi lu sampai kita berdua cuma bisa diam doang dengerin lu ngomong," ujar Messi sembari terkekeh.

Nahda hanya tersenyum tipis melihat mereka berdua. Justru ia merindukan momen seperti ini bersama Puput saat di kampung dulu. Padahal baru beberapa hari ia pergi, sudah rindu padanya. Lalu pandangan Nahda jatuh pada perut buncit Mita.

"Boleh aku elus?" tanya Nahda dengan hati-hati. Mita tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Boleh kok."

Dengan rasa bahagia, Nahda pun mengelus kandungan Mita yang sudah membesar itu. "Sudah berapa bulan?"

"Jalan 7 bulan, Na... Kalau dia lahir, bakal jadi keponakan lu nanti," kata Mita.

"Benarkah? Halo dedek... Sehat selalu ya, hehe," sapa Nahda lembut pada perut Mita.

"Iya, aunty... Aunty juga harus sehat kaya aku ya," ujar Mita menirukan suara anak kecil.

Mereka pun kembali tertawa bahagia.

"Na... Ayo dong cepat nikah sama Haris... Biar gue bisa dapat keponakan lagi dari lu," goda Mita.

Mata Nahda sedikit terbelalak. "Maksudnya... Berarti—"

"Iya... Selain gue, Messi juga tengah hamil... Cuma belum kelihatan, baru 2 bulan," jelas Mita.

"Wahh... Selamat, Messi!" Nahda berseru.

"Hahaha iya, Na... Makasih ya... lu juga semoga cepat nyusul kita," balas Messi.

"Iya, doakan saja ya," Nahda tersenyum.

"Pasti!" ujar mereka berbarengan.

Mereka kembali bercanda hingga tertawa ringan bersama. Tak lama kemudian tawa mereka terhenti saat ada yang memanggil mereka.

"Sayang... Ayo kita pulang," ujar suara pria yang diketahui adalah Renal, suami dari Mita.

"Ish... Bentar lagi... Aku masih kangen sama sahabat aku," rengek Mita.

"Iya... Nanti kita ke sini lagi... Ayo kita pulang..." bujuk Renal.

"Nggak mau!"

"Mita... nurut sama suami kamu ya... Itu demi kesehatan kamu, apalagi kamu lagi hamil... Nanti kita ngobrol lagi ya," ujar Nahda dengan penuh kelembutan.

Walau wajah Mita cemberut dan kesal, namun mendengar suara lembut sahabatnya, hatinya mulai luluh. Ia mengangguk menyetujui ucapan sahabatnya itu.

"Iya deh..."

"Na... kita pamit dulu ya..." ujar Renal.

Walaupun Nahda tidak mengenal pria itu, ia hanya tersenyum manis. "Iya... Hati-hati ya, jaga Mita dengan baik."

Lalu, Mita memeluk tubuh Nahda dengan cepat. "Gue masih kangen sama lu... Tapi, kita ketemu lagi nanti ya."

Iya, Mita... Jaga diri baik-baik ya."

"Gue juga balik ya, Na... Laki gue juga udah nyariin dan suruh gue pulang," pamit Messi.

Kemudian ketiga orang itu pergi meninggalkan Nahda seorang diri di taman. Setelah mereka menghilang, Nahda duduk di taman sembari menghirup aroma udara segar. Ia menutup matanya, menikmati angin sepoi-sepoi yang membuat nyaman.

"Kak Na..."

Ia mendengar ada yang memanggilnya. Nahda segera membuka matanya dan melihat seorang remaja yang mirip dengan kekasihnya sedang menatapnya sendu.

"Iya?"

Dia melihat, anak remaja itu sedang mengatur pernapasannya. "Apa Kak Na masih ingat aku? Aku Hamzar yang dulu sering main sama Kakak waktu ke sini."

Hamzar sangat merindukan sosok wanita di depannya ini. Baginya, Nahda adalah kakak perempuan yang pernah diimpikannya saat ia kecil dulu. Lalu ia melihat wanita itu tersenyum ke arahnya.

"Kakakmu sudah menceritakan semuanya tentangmu... Dan aku rasa, aku sedikit mengingatmu, Hamzar."

Mendengar itu, Hamzar tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Saking bahagianya, air matanya juga ikut berjatuhan.

"Kak Na," Hamzar langsung memeluk kaki Nahda dan menaruh kepalanya di lutut. Ia menumpahkan semua air matanya di sana. Nahda dengan lembut membelai rambut remaja tampan itu.

"Aku rindu sama Kak Na... Kakak tahu, sudah lama aku memimpikan ini... Aku ingin Kak Na kembali... Akhirnya aku bisa memeluk Kakak lagi," lirih Hamzar yang menyayat hati, saking merindukan wanita yang sedang ia tangisi ini.

"Sudah, sayang... Ayo bangun, Jangan duduk di tanah. Nanti celana kamu kotor..."

"Biarkan aku begini, Kak... Aku ingin memeluk kaki Kakak..."

"Ya sudah... Terserah kamu," Nahda pasrah, tersenyum haru.

Tanpa disadari, adegan mereka sedang dipantau oleh Haris yang sedari tadi berdiri tepat di samping mereka dengan jarak 3 meter. Ia juga tersenyum tipis, merasa sangat bahagia jika adiknya bisa kembali ceria.

"Makasih, Bey... Berkat kamu, adikmu dan adikku telah menemukan senyumnya kembali, termasuk aku."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!