Seorang kakak miskin mendadak jadi sultan dengan satu syarat gila: Dia harus menghamburkan uang untuk memanjakan adik semata wayangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Paman dan Bibi
Suasana sore di The White Manor begitu damai. Di gazebo kaca yang dipenuhi bunga anggrek, Orion sedang duduk melukis di atas kanvas. Gadis berusia 19 tahun itu tampak fokus menggoreskan kuas, wajah pucatnya sedikit merona karena antusiasme.
Atlas duduk tak jauh dari sana, memperhatikan adiknya sambil menyesap Earl Grey tea. Usianya baru 24 tahun, tapi beban hidup yang ia pikul selama ini membuatnya memiliki tatapan setenang orang tua berusia 50 tahun.
Di hadapan Atlas, layar hologram transparan melayang. Dia sedang memeriksa menu baru yang baru terbuka: System Shop.
[STATUS PENGGUNA]
Nama: Atlas Wijaya
Usia: 24 Tahun
Saldo Tunai: Rp 48.250.000.000.000 (48,2 Triliun)
Wealth Points (WP): 1.500 Poin.
"Wealth Points..." gumam Atlas pelan.
Atlas menggulir layar ke tab [Medical Shop]. Matanya terpaku pada satu item.
[Heart Reconstruction Elixir]
Efek: Memperbaiki kelainan jantung bawaan secara permanen tanpa operasi.
Harga: 1.000.000 WP.
Atlas menghela napas berat. Satu juta poin. Dia baru punya 1.500. Jalan masih panjang. Uang triliunan tidak berguna di toko ini. Dia harus membuat Orion satu juta kali lebih bahagia untuk bisa membeli obat itu.
*Kebahagiaan Murni Orion \= 10 - 100 WP (Tergantung intensitas emosi).*
"Tuan Atlas."
Suara Sebastian memecahkan konsentrasinya. Kepala pelayan itu berdiri dengan wajah sedikit kaku, tidak seramah biasanya.
"Ada apa, Sebastian?"
"Ada tamu di gerbang depan, Tuan. Mereka mengaku sebagai... kerabat dekat Anda. Bapak Hendra dan Ibu Lina."
Rahang Atlas mengeras seketika.
Hendra dan Lina. Paman dan Bibi dari pihak Ayah. Orang-orang yang, saat orang tua Atlas meninggal kecelakaan 5 tahun lalu, datang bukan untuk melayat, tapi untuk mengambil televisi, kulkas, dan motor peninggalan almarhum dengan alasan "ganti rugi hutang budi".
Mereka juga yang menendang Atlas (saat itu 19 tahun) dan Orion (14 tahun) keluar dari rumah warisan nenek.
"Mereka tahu alamat ini dari mana?" tanya Atlas dingin.
"Berita tentang akuisisi Royal Hotel dan pembelian rumah ini bocor di grup WhatsApp keluarga besar, sepertinya," jawab Sebastian. "Apakah Tuan ingin saya mengusir mereka? Atau mungkin... melepaskan anjing penjaga?"
Atlas terdiam sejenak. Dia menatap Orion yang masih asyik melukis, tidak sadar ada bahaya mendekat.
"Jangan. Biarkan mereka masuk," kata Atlas sambil berdiri. Dia merapikan jas rumahnya. "Aku ingin lihat seberapa tebal muka mereka."
Ruang Tamu Utama
Hendra dan Lina duduk di sofa kulit Italia seharga mobil Alphard itu dengan gelisah. Mata mereka liar menyapu sekeliling ruangan. Guci antik, lukisan asli, lantai marmer... kerakusan terpancar jelas dari mata mereka.
"Gila ya, Pah," bisik Lina pada suaminya. "Si Atlas beneran jadi kaya raya. Pelihara tuyul dari mana anak itu?"
"Sstt, jangan ngomong tuyul," Hendra menyenggol lengan istrinya. "Kita harus baik-baikin dia. Ingat, kita ini walinya."
Pintu ruang tengah terbuka.
Atlas masuk, diikuti Sebastian di belakangnya. Dia tidak menyalami mereka. Dia langsung duduk di sofa tunggal di seberang mereka, menyilangkan kaki dengan angkuh.
"Ada urusan apa?" tanya Atlas tanpa basa-basi.
Hendra tertawa canggung, memamerkan gigi kuningnya. "Wah, Atlas... ponakan Om yang paling ganteng. Sombong amat sekarang mentang-mentang sukses. Om sama Tante kangen lho."
"Kangen?" Atlas menaikkan alis. "Terakhir kita ketemu lima tahun lalu, Om bilang 'Jangan pernah injak rumah saya lagi kalau kalian masih miskin'. Saya cuma menuruti perintah Om."
Wajah Hendra memerah padam, tapi Lina buru-buru menimpali dengan suara dibuat-buat sedih.
"Aduh, Atlas sayang... itu kan dulu Om lagi emosi. Namanya juga saudara, pasti ada berantemnya. Kami ke sini mau jenguk Orion. Mana adikmu yang cantik itu?"
"Orion sedang istirahat. Tidak bisa diganggu virus," jawab Atlas tajam.
Lina cemberut. "Kok virus sih? Tante ini kan pengganti ibumu! Oh iya, Atlas... kami denger kamu beli hotel ya? Wah, hebat bener. Kebetulan sepupumu, si Riko, lagi butuh kerjaan jadi Manajer. Terus rumah Om juga atapnya bocor, butuh renovasi dikit lah... sekitar 500 juta aja."
Akhirnya keluar juga aslinya.
Atlas tertawa pelan. Tawa yang kering dan mengerikan.
"Om Hendra, Tante Lina," panggil Atlas pelan. "Kalian tahu kenapa saya kaya?"
Pasangan suami istri itu condong ke depan, penasaran. "Kenapa? Menang lotre? Bitcoin?"
"Bukan. Karena saya pintar membuang sampah," kata Atlas.
Layar hologram WP muncul di depan mata Atlas. Dia memutuskan mencoba fitur [Information Broker] di System Shop.
[Beli Rahasia Hendra & Lina?]
[Harga: 100 WP]
[Konfirmasi: YA.]
Seketika, sebuah berkas digital masuk ke otak Atlas. Dia tersenyum miring.
"Om Hendra," ucap Atlas, matanya menatap tajam manik mata pamannya. "Gimana kabar selingkuhan Om di Depok? Siapa namanya... Rina? Yang baru melahirkan anak laki-laki bulan lalu?"
Wajah Hendra pucat pasi seputih tembok. Dia menoleh panik ke arah istrinya. "M-maksud kamu apa?!"
Lina mengerutkan kening. "Apa? Selingkuhan? Pah, maksudnya apa ini?"
Atlas belum selesai. Dia menoleh ke Lina. "Dan Tante Lina... arisan bodong yang Tante bandari itu sudah mau meledak, kan? Tante gelapkan uang warga 2 Miliar. Polisi sudah mulai mengendus, lho."
Lina membelalak, mulutnya menganga. Tubuhnya gemetar hebat. Rahasia yang dia jaga mati-matian, diketahui keponakannya dalam hitungan detik.
"K-kamu... kamu iblis..." desis Lina ketakutan.
Atlas berdiri. Aura The King's Presence menekan ruangan itu hingga terasa sesak.
"Dengar baik-baik," suara Atlas rendah tapi menggelegar. "Satu langkah saja kalian mendekati Orion, atau satu rupiah saja kalian minta dari saya... bukti perselingkuhan Om dan bukti penipuan Tante akan sampai ke polisi dan pengadilan agama besok pagi."
Atlas menunjuk pintu keluar.
"Sekarang, keluar dari rumah saya. Dan jangan pernah, seumur hidup kalian, mengaku sebagai keluarga saya lagi."
Hendra dan Lina tidak berani membantah. Mereka gemetar ketakutan, sadar bahwa keponakan yang dulu mereka injak-injak kini adalah monster yang memegang leher mereka.
Mereka lari terbirit-birit keluar dari mansion, bahkan lupa memakai sandal mereka yang tertinggal di teras.
Sebastian menatap kepergian mereka dengan senyum tipis.
"Eksekusi yang elegan, Tuan. Tanpa kekerasan, tapi mematikan."
Atlas menghela napas, menonaktifkan skill-nya. Tubuhnya sedikit lelah.
"Sebastian," kata Atlas.
"Ya, Tuan?"
"Perketat keamanan. Pasang sensor wajah di gerbang. Kalau wajah dua orang itu terdeteksi dalam radius 100 meter, langsung lapor polisi atas tuduhan pelanggaran properti."
"Siap laksanakan."
Atlas kembali berjalan ke taman belakang.
Orion masih di sana, tersenyum cerah pada lukisan bunga mataharinya yang sudah jadi. Dia tidak tahu apa-apa tentang "monster" yang baru saja diusir kakaknya.
Dan Atlas akan memastikannya tetap begitu. Tugasnya adalah menjaga agar dunia Orion tetap bersih, indah, dan wangi bunga. Biar Atlas yang mengurus kotoran di luar sana.