Wang Cheng, raja mafia dunia bawah, mati dikhianati rekannya sendiri. Namun jiwanya bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang tuan muda brengsek yang dibenci semua orang.
Tapi di balik reputasi buruk itu, Wang Cheng menemukan kenyataan mengejutkan—pemilik tubuh sebelumnya sebenarnya adalah pria baik hati yang dipaksa menjadi kejam oleh Sistem Dewa Jahat, sebuah sistem misterius yang hanya berkembang lewat kebencian.
Kini, Wang Cheng mengambil alih sistem itu bukan dengan belas kasihan, tapi dengan pengalaman, strategi, dan kekejaman seorang raja mafia. Jika dunia membencinya, maka dia akan menjadi dewa yang layak untuk dibenci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35 Hutan Perbatasan
Perjalanan mereka berlangsung dalam diam selama beberapa jam. Roda kereta menghantam batu-batu kecil di jalur tanah yang mulai mengarah ke perbatasan barat.
Di luar, udara mulai terasa lebih dingin. Hutan yang memagari jalan terlihat seperti dinding kelam yang perlahan menelan cahaya mentari.
Di dalam kereta, suasana jauh dari kata nyaman meski bantalan kursinya empuk. Suasana hening terasa seperti medan perang sunyi—penuh waspada dan spekulasi yang tak terucapkan.
Wang Cheng membuka matanya yang sempat terpejam, lalu menoleh ke arah wanita di hadapannya. “Jadi,” gumamnya pelan, “kenapa kau tiba-tiba memutuskan untuk ikut? Aku tidak menerima alasan seperti kebetulan menuju tempat yang sama atau sejenisnya.”
Wang Xianyi mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap lurus ke mata Wang Cheng. "Entahlah, aku hanya ingin ikut."
Jawabannya datar, tidak ada nada ataupun emosi yang tersirat di dalamnya.
Wang Cheng mengangkat alis. “Kenapa? Bukankah kau membenciku?"
Wang Xianyi mengalihkan pandangannya ke luar jendela, lalu berkata dengan datar. “Aku tidak membencimu sejak kau tidak membuat kekacauan seperti yang dulu.”
Wang Cheng tertawa kecil, sarkastik. “Apa yang terjadi di alun-alun kota itu bukan disebut kekacauan?”
“Tidak. Aku tidak melihatnya seperti itu,” jawab Wang Xianyi tanpa keraguan.
Jawaban itu membuat Wang Cheng terdiam. Ia menatap wajah saudarinya itu dengan pandangan tak percaya. Tidak ada nada ironi, tidak ada nada menyindir. Seolah semua kalimat yang diucapkan wanita itu telah melalui penyaringan logika, akurasi, dan pengendalian emosi yang nyaris sempurna.
“Kenapa tidak?” tanya Wang Cheng pelan, bukan untuk membantah, tapi lebih seperti mencoba memahami.
Xianyi tak langsung menjawab. Ia kembali menatap keluar jendela sejenak, lalu berucap dengan nada datar yang justru membuat bulu kuduk Wang Cheng berdiri.
“Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin kau sendiri bisa menjelaskan maksud di balik tindakanmu itu."
Wang Cheng kembali terdiam. Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskan maksud dibalik tindakannya itu. Dia sendiri tahu jika yang dia inginkan hanyalah mendapatkan poin kebencian yang banyak, sekaligus mendapatkan poin jiwa dari kematian para narapidana. Namun, tentu saja hal itu tidak bisa dipahami oleh orang lain.
Kenapa Tuan Muda Kelima selalu membuat masalah tanpa alasan yang jelas? Kenapa dia sangat ingin dibenci? Tidak ada yang tahu selain dirinya sendiri.
Wang Xianyi menoleh kembali kearah Wang Cheng. Pandangan matanya biru dingin seperti danau beku di tengah musim salju. Tenang, tapi dalam. Terlalu dalam.
Wang Cheng menahan napas.
Tatapan itu…
Entah kenapa, rasanya seperti menatap mata seseorang yang sedang membaca isi kepalanya. Atau lebih buruk—menyelam ke dalam jiwanya dan menilai bagian-bagian yang bahkan dirinya sendiri tidak pernah berani hadapi.
Wang Cheng menoleh, berpura-pura melirik ke jendela meski tak benar-benar memperhatikan apapun.
'Sial! Kenapa tatapannya seperti itu?' pikirnya.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, kali ini lebih berat. Seolah percakapan barusan menggali lapisan yang seharusnya tetap tersembunyi.
Tiba-tiba, suara dari luar memecah keheningan.
“Kita sudah hampir sampai,” ujar Shuezan dari dekat jendela, suaranya tajam tapi tak setegang sebelumnya.
Wang Cheng menarik napas panjang dan bersandar kembali. “Akhirnya,” gumamnya.
Mereka bertiga turun dari kereta dengan langkah tenang, disambut oleh hawa hutan yang dingin menusuk tulang punggung mereka.
Kabut masih membanjiri hutan, dan suara burung liar terdengar samar dari balik pepohonan yang menjulang.
Wang Xianyi menghampiri para bawahannya—lima orang berpakaian seragam kelabu gelap, wajah mereka keras dan disiplin. Ia menyerahkan sejumlah koin emas yang dibungkus kain, lalu berkata singkat, “Sampai di sini saja. Aku akan melanjutkan perjalanan sendiri.”
Para bawahannya tampak ragu, namun tak membantah. Salah satu dari mereka, seorang pria berambut pendek dengan luka sayatan di pelipis kirinya, berlutut terlebih dahulu, diikuti oleh yang lain.
Mereka menunduk dalam seperti seorang ksatria di hadapan ratu perang.
“Jaga diri Anda, Nona Muda.” Suara itu lembut tapi mengandung kekuatan tekad yang dalam.
Setelah itu, mereka berdiri. Tapi sebelum pergi, tatapan mereka tertuju pada Wang Cheng. Mata penuh kebencian, namun tak satu kata pun mereka ucapkan. Hanya lirikan tajam, seolah hendak mengukir wajah pria itu dalam ingatan.
[Pengawal Pribadi Xianyi 1 membencimu: +50 Poin Kebencian]
[Pengawal Pribadi Xianyi 2 membencimu: +50 Poin Kebencian]
[Pengawal Pribadi Xianyi 3 membencimu: +50 Poin Kebencian]
[Pengawal Pribadi Xianyi 4 membencimu: +50 Poin Kebencian]
[Pengawal Pribadi Xianyi 5 membencimu: +50 Poin Kebencian]
Wang Cheng berdecak, melipat tangan dan mendengus kesal. “Tsk. Apa-apaan tatapan itu? Seolah aku memukul anjing peliharaan mereka.”
Xianyi menunduk sedikit. “Maaf. Mereka terlalu protektif.”
“Aku tahu,” jawab Wang Cheng datar, lalu melangkah masuk ke jalan setapak sempit yang mulai ditelan bayangan pohon-pohon tinggi.
Mereka bertiga mulai berjalan menembus hutan perbatasan. Langkah mereka pelan tapi pasti, hanya diiringi oleh suara ranting patah dan napas sendiri.
Suasana hutan bukan hanya gelap, tapi juga terasa menekan. Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di antara kabut tipis yang melayang di permukaan tanah.
Wang Cheng dan Shuezan di depan, Xianyi mengikuti dari belakang dengan jarak tetap.
Beberapa kali Wang Cheng menoleh, merasa risih. Ia bisa merasakan tatapan dingin dari belakang punggungnya, seperti ujung belati yang menempel di tengkuknya.
Akhirnya, ia berhenti dan menoleh tajam. “Sampai kapan kau akan mengikuti kami, bukankah kau ada misi?”
Xianyi menghentikan langkah, menatap Wang Cheng tanpa ekspresi. “Aku sedang menjalankan misiku.”
Wang Cheng menyipitkan mata. “Jangan bilang... misimu itu adalah mengawasiku?”
Gadis itu tidak menjawab, tapi Wang Cheng tahu jika perkiraannya itu memang benar.
Shuezan, yang berdiri tak jauh, mengangkat alis tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu lebih baik membiarkan mereka menyelesaikan urusan pribadi ini.
Wang Cheng menghela napas panjang, seperti orang yang baru sadar bahwa beban di pundaknya lebih berat dari yang ia bayangkan.
“Kenapa?” tanyanya, kali ini lebih pelan. “Apa ayah yang menyuruhmu?”
“Tidak, aku yang memutuskannya sendiri.”
Jawaban itu membuat Wang Cheng terdiam. Ia tak tahu mana yang lebih mengganggunya—fakta bahwa dia diawasi, atau bahwa Xianyi melakukannya atas kemauan sendiri.