Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33.
Author's POV.
Beberapa hari menghilang akhirnya Sean pulang ke rumah kei dan orang tuanya. Ia tahu bahwa Fany juga tidak akan pulang ke apartemennya. Jadi, untuk apa ia pulang ke sana. Sukses membuat seisi rumah itu kalang kabut karena tidak mendapat kabar apapun dari kepergiannya selamat beberapa hari, kini Sean membuat Keluarganya bernafas lega.
"Ya Tuhan, Sean kemana saja kamu selama ini? Sudah nyaris satu bulan kau tidak ada kabar. Kemana saja kamu pergi?" Tanya Keisha begitu anak sulungnya itu baru saja tiba.
"Maaf tidak memberi kabar. Aku ada pekerjaan mendadak di luar negeri." Jawab Sean sambil menyunggingkan senyumnya.
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja." Ucap Keisha.
"Mommy dan yang lain baik-baik saja kan?" Tanya Sean balik.
"Hampir mati karena memikirkanmu." Jawab Keisha ketus. Sean tertawa kemudian memeluk ibunya itu.
"Maafkan Sean. Sean selalu membuat mommy khawatir." Ucap Sean sungguh - sungguh.
"Hah, baiklah. Kali ini tidak apa-apa. Tapi tidak boleh ada lain kali!" Ucap Keisha memperingatkan.
"Tidak akan." Jawab Sean.
"Hana dan Fany sudah pulang ke rumah orangtua Fany. Mommy jadi tidak bisa melihat Hana lagi." Kata Keisha, Sean terdiam sebentar sebelum ia kembali tersenyum.
"Tidak apa-apa. Nanti Sean ajak mommy kesana." Kata Sean dengan nada bicara biasa saja. Tidak ada kekecewaan ataupun keterkejutan.
"Sean, proses perceraian kalian sedang dalam proses. Apakah kau tidak ingin menolak?" Tanya Keisha. Sean menggelengkan kepalanya.
"Jika dia ingin begitu, aku harus menurutinya. Jika aku tetap memaksanya bertahan bersamaku, hanya akan membuatnya semakin membenciku. Lagipula aku masih memiliki tanggungjawab terhadap Hana meskipun kami berpisah." Jawab Sean.
"Jadi, maksud kamu, kamu akan sering-sering menemui Hana?" Tanya Keisha. Sean mengangguk.
"Jika ibunya tidak ingin bertemu denganku, masih ada Hana yang akan ku temui setiap minggunya." Kata Sean.
"Kau benar-benar tidak mencintai Fany?" Tanya Keisha.
"Justru karena aku sangat mencintainya, makanya aku ingin membiarkanmu memilih jalannya sendiri." Jawab Sean lagi.
"Setelah dia benar-benar pergi? Apa yang akan kau lakukan?" Kali ini Dennis yang menyahut karena setahu kakaknya itu dulu Sean selalu berfikir pendek saat mengalami kegagalan seperti saat ini.
"Tentu saja mengejarnya lagi. Mungkin dia ingin dikejar. Lagipula dulu kami menikah tanpa berpacaran. Bisa saja dia ingin hal normal seperti itu." Kata Sean lagi.
"Kupikir kau masih Sean yang idiot." Ujar Dennis.
"Tidak lagi." Jawab Sean. "Aku lelah sekali, mau tidur dulu. Koper ku ada di luar, kalau kak Dennis tidak ada kerjaan, tolong ya!" Kata Sean sambil berjalan cepat meninggalkan mereka.
Keisha tersenyum melihat Sean yang baik-baik saja. Begitupula dengan Ferrel yang enggan berkomentar. Melihat Sean baik-baik saja sudah cukup bagi keluarga itu.
.........
Sampai di kamar, Sean tidak benar-benar tidur. Ia mengeluarkan ponselnya dan melakukan sesuatu yang sejak lama ia ingin lakukan. Mentransfer jatah bulanan Fany. Setelah transaksi berhasil Sean meletakkannya kembali di meja kecil di samping ranjangnya.
Tidak lama kemudian ponsel itu berbunyi dan menandakan sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Sean memeriksanya dan tersenyum melihat siapa yang mengirim pesan padanya.
From : Fany.
Apa yang kau lakukan?
To: Fany.
Seperti biasa.
From: Fany.
Tapi, kita sedang dalam proses perceraian.
To: Fany.
Aku tahu, saat ini kau masih istriku. Jadi aku masih berhak menafkahimu.
From: Fany.
Tapi aku tidak mau menerima ini.
To: Fany.
Jika tidak mau, berikan saja untuk Hana.
From: Fany.
Kau tidak perlu mengirimi ku uang lagi kelak.
To: Fany.
Tidak apa-apa. Selanjutnya Hana yang berhak menerimanya.
From: Fany.
Ok. Aku tidak mau berdebat. Tapi, apa kau baik-baik saja? Mommy kamu kebingungan kau pergi tanpa kabar waktu itu.
To: Fany.
Aku baik-baik saja. Waktu itu aku pergi ke luar negeri untuk pekerjaan. Sangat mendadak dan tidak sempat pamit.
From: Fany.
Oh.
To: Fany.
Bagaimana keadaan Hana?
From: Fany.
Baik
To: Fany
Apa dia menyulitkanmu?
From: Fany.
Tidak.
To: Fany.
Baiklah. Aku lelah sekali. Aku tidur dulu, selamat malam!
Sean tahu Fany tidak akan menjawab salamnya. Ia meletakkan kembali ponselnya dan bergegas untuk tidur. Ia benar-benar lelah dan sudah merasa lega setelah mengetahui kabar bahwa anak mereka baik-baik saja.
.........
Kemarin, Sean menanyakan keadaan Hana lewat pesan singkat dan sekarang, Fany tidak menyangka bahwa Sean datang ke rumahnya langsung. Padahal waktu itu Fany sudah mengingatkan Sean untuk tidak menemuinya.
"Aku sudah bilang padamu kan? Jangan menemuiku lagi!" Ucap Fany tidak suka melihat kedatangan Sean. Walau bagaimana pun proses perceraian mereka sedang berlangsung. Jika Sean terus menemuinya, bagaimana ia bisa merelakan Sean nantinya?
"Aku ke sini untuk Hana. Bukan untuk kamu." Jawab Sean sambil tersenyum. Tidak tampak sama sekali bahwa Sean sedih atau kecewa, hal itu membuat Fany semakin kesal dan membenci Sean.
"Kau tidak boleh menemui Hana." Ujar Fany.
"Hana adalah anakku. Sebentar lagi kau akan menjadi mantan istriku. Tapi Hana tetap anakku. Tidak ada yang namanya mantan anak." Kata Sean.
"Tapi-"
"Aku tidak akan menemui Hana hanya ketika nafasku berhenti." Kata Sean dengan nada lembut seperti biasanya. Fany terdiam. Apa itu artinya Sean akan terus menemui Hana?
"Fany, nak Sean benar. Hana itu anak perempuan. Setiap anak perempuan kelak akan mencari ayahnya. Karena ayahnya adalah walinya." Ucap Ibu Fany membela Sean.
"Tapi, bu-"
"Jika kamu tidak ingin melihat nak Sean. Pergilah ke kamarmu, biar Hana sama ibu dan nak Sean disini." Ucap Ibu Fany. Fany tidak menjawab. Ia pun merasa kesal dan pergi meninggalkan mereka begitu saja ke kamarnya.
"Bibi, terimakasih sudah membelaku." Ucap Sean tulus pada Ibu mertuanya saat ini.
"Sudah sewajarnya jika kamu ingin menemui anakmu. Lihatlah dia sudah tumbuh besar daripada sebelumnya. Dia sangat sehat dan cantik." Ucap Ibu Fany.
"Benar. Di tampak lebih gemuk dari saat ia baru dilahirkan. Boleh saya menggendongnya?" Tanya Sean meminta izin.
"Kenapa bertanya seperti itu? Tentu saja boleh." Ujar Ibu Fany tidak enak hati diperlakukan Sean seperti itu.
"Terimakasih, bibi." Ucap Sean senang.
Ibu fany memberikan Hana pada Sean. Sean begitu senang saat Hana berada di dalam gendongannya. Ini adalah kali pertamanya ia menggendong putrinya yang mungil dan cantik itu.
"Hana, ayah janji akan membuat kamu bahagia. Segeralah besar, nak! Grandma sama grandpa kamu sudah tidak sabar ingin menemui kamu." Ucap Sean setelah mengecup kening putrinya dengan lembut.
"Kenapa tidak mengajak ibu dan ayahmu kemari nak Sean?" Tanya Ibu Fany.
"Mereka sangat ingin kesini, tapi belakangan ini kondisi kesehatan mereka sedikit terganggu. Jadi, mereka hanya bisa menitip salam saja." Jawab Sean.
"Kalau begitu, semoga mereka lekas sehat kembali." Ucap Ibu Fany.
"Terimakasih, bibi!" Ucap Sean. Ibu Fany tersenyum, Sean begitu ramah padanya, ia sempat tidak percaya bahwa Sean sampai tega membuat Fany kecewa. Tapi, ia juga tidak bisa untuk tidak percaya pada putrinya sendiri. Mungkin Sean benar-benar sudah berubah sekarang.
"Bibi, saya harus segera pulang, ini sudah hampir malam. Hana harus istirahat." Ucap Sean menyadari hari sudah menjelang malam. Sean memberikan Hana pada ibu Fany.
"Pulang? Perjalanan dari sini ke rumahmu, sangat jauh nak, kenapa tidak menginap saja disini? Ada satu kamar kosong di rumah ini." Ujar Ibu Fany tidak tega jika Sean harus menempuh jarak yang jauh mengingat hari sudah hampir malam dan Sean juga baru beberapa menit sampai.
"Terimakasih, bibi! Tapi, saya sudah menyewa rumah tidak jauh dari sini. Saya akan bermalam disana saja." Ucap Sean.
"Menyewa rumah? Kenapa nak Sean tidak tinggal disini saja?" Tanya Ibu Fany lagi.
"Tidak bu. Saya dan Fany sudah akan berpisah. Tidak baik rasanya jika saya tinggal serumah dengannya. Lagipula saya menyewa rumah itu untuk jangka waktu yang lama. Saya akan menginap setiap kali saya ingin bertemu dengan Hana." Jawab Sean.
"Nak Sean. Tolong maafkan Fany yang terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan!" Ucap Ibu Fany.
"Tidak apa-apa bibi, saya bisa mengerti." Jawab Sean. "Kalau begitulah, saya permisi pulang dulu! Sampaikan salam pamit ku pada Fany! Mungkin dia memang tidak ingin menemuiku lagi." Kata Sean.
"Baiklah nak Sean. Hati-hati!" Ucap Ibu Fany. Sean menganggukkan kepalanya sebelum pergi dari rumah itu. Ibu Fany membawa Hana pergi ke kamar Fany agar Hana bisa beristirahat.
"Dia sudah pulang." Ucap Ibu Fany saat ia dan Hana masuk ke dalam kamar sedang Fany celingukan mencari seseorang yang mungkin datang di belakang ibunya.
"Pulang?" Gumam Fany tidak percaya.
"Ya, dia kesini hanya untuk melihat Hana." Jawab Ibunya. "Jika kau tidak rela dia pergi, batalkan proses perceraian kalian sebelum terlambat!" Ucap Ibu Fany.
"Aku tidak akan membatalkannya, bu. Aku sudah berniat dari awal akan meninggalkannya." Kata Fany bersikeras.
"Terserah lah." Kata Ibu Fany sambil meletakkan Hana di atas kasurnya dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Fany jadi bingung, sebenarnya ibunya membela dirinya atau Sean? Kenapa ia merasa ibunya sangat tidak rela ia berpisah dengan Sean?
Bersambung....