Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Kota Ravenswood
Hari itu akhir musim semi, semburat jingga di ufuk barat nampak sangat indah, begitupun dengan kota Ravenswood yang sudah dipenuhi gemerlap lampu. Seorang gadis berambut ikal sebahu terburu-buru pulang ke rumahnya yang terletak di ujung kota.
Untuk bisa sampai di rumah dia harus melewati sebuah jembatan dimana di bawahnya sungai mengalir deras. Tangannya menenteng kresek hitam berisi belanjaan pesanan ibunya, dia sebenarnya baru pulang kerja dan singgah sebentar di toserba di persimpangan dekat lampu merah.
"Varania! Hei, tunggu sebentar!"
Itu suara paman Boyd, tetangganya yang amat ramah. Gadis itu berhenti dan berbalik ke belakang,
"Hai, paman." Sapanya ramah, dia berjalan beriringan dengan Boyd sembari mengobrol santai.
"Hari ini pulang telat, ran?" Tanya Boyd mengecek jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Yeah..." Varania menghela nafas lelah, dia tersenyum lembut dan berkata, "Sulit untuk pulang tepat waktu kalau bos datang ke kafe."
" Aku bisa bantu kalau kamu mau pindah kerja."
"Terimakasih, paman. Akan aku pikirkan lagi." Kata Varania. Ia tentu sudah lama mendengar bahwa Boyd orang kaya, katanya sih miliarder. Varania hanya tidak mengerti kenapa orang kaya seperti Boyd tinggal di kota kecil Ravenswood.
Ah, barangkali dia ingin suasana yang tenang. Kata ibu suatu hari ketika Varania bertanya tentang Boyd. Aneh sekali, jika ingin tenang Boyd seharusnya tidak akan datang kesini, kota Ravenswood jauh dari kata tenang, kecuali malam hari.
Di Ravenswood, ada satu larangan yang menurut Varania cukup aneh dimana para warga dilarang main HP malam hari, bahkan hanya sekedar membuka untuk mengecek pesan tidak boleh.
Semua HP yang ada di Ravenswood harus di nonaktifkan saat malam tiba.
Selain tidak mengerti, Varania juga tidak punya waktu untuk membuang waktu dengan bermain HP. Ia cukup sibuk saat siang dan lebih sibuk lagi saat malam. Varania harus menolong ibunya membuat steak meals pesanan orang-orang dan terkadang mengantarkan pesanan yang delivery.
Varania baru bisa istirahat saat jam menunjukkan angka pukul dua belas, dia langsung tidur dan besok pagi harus bangun untuk kembali bekerja.
"Di kantorku posisi admin sedang kosong, barangkali kamu tertarik?" Suara Boyd kembali terdengar dan rumah mereka juga sudah kelihatan.
"Gajinya lumayan dan tidak harus pulang hampir malam begini." Boyd melanjutkan, dia tergesa-gesa mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkan pada Varania.
Varania dan mengambilnya. Ia hanya membaca sekilas sebelum memasukkan ke dalam totebag. Berisi formulir pendaftaran dan sebuah alamat. Kantornya terletak di dekat perbatasan Ravenswood dan kota lain.
"Selamat malam, paman." Kata Varania ketika sampai di dekat rumah,
"Malam, ran." Boyd melambaikan tangan, menggeser gerbang rumahnya dan menghilang di balik pintu.
Varania dia juga segera masuk, melewati ruang keluarga yang kosong dan terus berjalan ke kamarnya. Ia meletakkan tas diatas tempat tidur, mengganti bajunya dengan pakaian santai kemudian kembali ke luar dan pergi ke dapur.
Varania mengurungkan niatnya untuk keluar, ia mengerutkan dahi, berpikir; kenapa jendela belum di tutup? Ia melangkah lebar kesana,
"Apa ini?" Tanyanya dalam hati memperhatikan dengan seksama bekas telapak tangan di kaca jendela. Ia melihat warna merah dan lumpur yang mengering bersama bekas telapak tangan itu.
Varania membawa telapak tangan kanannya ke kaca, mencocokkan dengan jejak tersebut. Tidak cocok, jejak itu lebih besar dari telapak tangannya.
"Ran, cepat kesini!" Suara ibu yang memanggil dari luar membuat gadis itu bergegas keluar setelah mengunci jendela.
"Ada apa, bu?" Tanya Varania menghampiri sang ibu.
Wanita paruh baya memakai celemek hijau kusam itu menoleh, ada saos tomat seukuran jari di bawah bibirnya.
"Kemari, ran, tolong antarkan ke rumah sheriff." Ibu memberikan satu dus ukuran sedang ke tangan Varania, juga menyelipkan kunci motor.
"Ini saja?" Tanya Varania.
"Iya, satu jam lagi kamu juga harus mengantarkan ke perbatasan, ada tentara penjaga disana." Kata Ibu lalu kembali ke dapur.
Ravenswood memiliki tentara penjaga?
Varania mengambil helm dan bergegas pergi mengantarkan pesanan.
Sheriff Austin, polisi yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun di kota Ravenswood. Pria paruh baya itu adalah teman ibunya, tapi tentu Varania tidak akan percaya begitu saja.
Tidak ada teman yang seromantis ibunya dan Sheriff Austin. Varania bukan lagi anak kecil yang tidak mengerti apa-apa, ia tahu ibunya sedang menjalin hubungan dengan Sheriff Austin.
Saat matahari sepenuhnya tenggelam, Varania tiba di rumah minimalis Sheriff. Ia memarkir motornya, menyimpan kuncinya dalam saku celana dan mengambil dus lalu membawanya ke rumah itu.
Ting... Tong...
Varania menekan bel dua kali, sambil menunggu gadis itu mengamati rumah putih dua tingkat yang ada di seberang jalan. Ia selalu penasaran dengan rumah itu, kata ibunya rumah itu sudah kosong sejak lama.
Tiba-tiba gorden jendela lantai dua bergerak, sepasang tangan putih pucat muncul disana dan sepasang mata hitam pekat menatap Varania tanpa berkedip.
"Eh, ran, masuk dulu." Celine membuka gerbang mempersilahkan Varania masuk dengan ramah. Gadis cantik seumuran Varania itu adalah anak kedua Sheriff Austin, dia sedang kuliah di kota lain dan saat ini pulang karena ada libur panjang.
" Lain kali aja. Ini pesanannya, aku harus pergi ke tempat lain." Kata Varania mengalihkan pandangan dari rumah putih itu, jantungnya masih berpacu cepat.
"Apa aku boleh ikut? Aku bosan di rumah, boleh kan? Ayolah, aku cuma kenal kamu disini." Kata Celine terdengar memohon.
"boleh," Varania tidak bisa menolak. Lagipula lebih baik ada teman saat dia pergi mengantarkan pesanan ke perbatasan.
"Terimakasih, ran. Ini uangnya," Celine menyerahkan uang pesanannya sambil tersenyum senang, "aku simpan dulu ke dalam, tunggu sebentar."
Varania mengangguk, ia melirik ke lantai dua rumah putih dengan takut-takut. Tidak ada apa-apa. Tirai masih tertutup.
"Ayo," Celine kembali muncul memakai jaket dan celana panjang.
Varania mengangguk, ia naik ke atas motornya, ia juga melirik ke lantai dua rumah putih itu. Kosong. Ah, mungkin memang salah lihat.