"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Aku seharusnya senang. Melati bukan lagi urusanku. Aku bisa hidup sendiri, tanpa beban mengurus anak yang bukan darah dagingku. Tapi, entah kenapa, hatiku terasa sakit.
"Tugas kamu sudah selesai," kata Pak ferdi. "Laras akan menikah dengan Doni dalam waktu dekat, dan kami akan langsung dibawa ke Jepang."
"Tugasku sudah selesai."
Kalimat itu berulang kali berdengung di telingaku, seolah menjadi suami Laras adalah sebuah pekerjaan kontrak. Setelah masanya habis, aku dibuang begitu saja. Dulu, mereka setengah mengemis memintaku menikahi Laras, menyelamatkan nama baik keluarganya. Dan sekarang, mereka bilang, "tugasmu sudah selesai."Hatiku terasa sakit. Bukan hanya karena Laras akan menikah lagi. Bukan hanya karena aku ditinggalkan begitu saja. Tapi juga karena aku harus kehilangan Melati. Anak yang bukan darah dagingku. Anak yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku.
"Melati hanya bisa hidup denganku. Biarkan dia denganku," ucapku. Kalimat itu mengalir begitu saja, murni dari lubuk hatiku yang paling dalam.
"Tidak bisa," jawab Ibu Rosidah tajam. "Dia bukan anakmu, biar kami yang urus."
Benar. Melati memang bukan anak kandungku. Mereka tahu itu. Dan mereka tak pernah sedikit pun mempertimbangkan pengorbananku, menghormatiku, yang sudah merawat Melati seperti anakku sendiri
"Tidak bisa," ucapku, suaraku meninggi. "Aku yang akan mengurus Melati!"
"Jangan membantah. Kalau kami gugat di pengadilan, memang bisa apa kamu?" kata Pak Ferdi, menusuk hatiku.
Benar-benar aku tak dihargai. Beratkah dia mengucapkan sedikit terima kasih padaku? Sekarang, mereka akan membawaku ke meja hijau, seolah aku penjahat. Aku yang menyelamatkan nama baik mereka, aku yang membesarkan cucu mereka selama empat tahun, dan sekarang mereka mau mengambilnya.
"Tunggulah sampai Melati bangun," ucapku.
"Terlalu lama, jangan bertele-tele, kami banyak urusan," balas Ibu Rosidah.
Mereka masuk begitu saja ke dalam kosan. Aku hanya bisa diam, bingung harus berbuat apa. Melati, yang masih terlelap, diambil begitu saja dari kasurnya.
"Ayahhhhh!" Melati menjerit.
Jeritan itu menusuk hingga ke ulu hati. "Melati," gumamku.
Aku bergegas, ingin kembali merebutnya. Namun, Pak ferdi dan Arsyad menghalangiku. Mereka menahanku, sementara Ibu Rosidah membawa Melati pergi. Perpisahan ini terasa begitu menyakitkan, lebih dari luka mana pun.
Lengkingan tangis Melati masih menyayat hatiku. Air matanya, yang terakhir kali kulihat sebelum pintu mobil itu tertutup, seolah masih membekas di mataku. Melati dimasukkan ke dalam mobil, dan aku hanya bisa berdiri diam, terpaku.
Aku duduk lemas di kasurku, menjambak rambutku sendiri. Boneka, dot, susu formula, dan beberapa mainan Melati, semuanya menyimpan kenangan indah kebersamaan kami. Saat Laras pergi dengan Doni, aku tak sehancur ini. Tapi saat Melati pergi, aku merasa duniaku runtuh.
Hari itu aku hanya diam, seperti mayat hidup. Benar, bukankah seharusnya ini yang kuinginkan? Hidup sendiri tanpa tanggung jawab. Aku bisa banyak menabung, tak perlu lagi memikirkan uang untuk susu formula, popok, mainan, atau makanan Melati.
Tapi kenapa, di tengah semua kemudahan itu, yang kurasakan hanyalah kehampaan yang menyesakkan?
Tapi ternyata itu salah. Lelaki tak bisa hidup sendirian. Lelaki hidup untuk orang lain. Makna seorang lelaki adalah bekerja keras demi orang-orang yang dicintainya. Empat tahun aku bekerja penuh semangat, tanpa kenal lelah, demi Laras dan Melati. Dan kini, mereka tidak ada. Hidupku terasa hampa..
Aku merasa suntuk. Hampa. Akhirnya, aku memutuskan untuk "onbit", mencoba melarikan diri dari kesunyian kamar yang menyesakkan. Malam itu, di bawah lampu-lampu jalan yang buram, aku nongkrong di depan kantor, menunggu takdir menjemput.
Lima kali orderan selesai. Tapi setiap kali itu pula, keluhan datang. Terlambat datang. Salah jalan. Ngerem mendadak. Ah, kenapa hidupku jadi sekacau ini? Hanya karena kehilangan seorang wanita?
"Jika sakit karena cinta, maka cari cinta yang baru." Kata-kata itu terdengar begitu mudah diucapkan. Tapi rasanya, kata-kata itu sama sekali tidak mudah untuk dijalani.
"Kenapa lu murung terus, Bro?" ucap Andi, teman ojek online-ku.
"Enggak apa-apa, Bro," jawabku singkat.
"Bro, kemarin aku antar makanan ke sebuah apartemen," lanjut Andi, "pas aku lihat, kok kayak Laras, ya? Apa lu sekarang udah tinggal di apartemen?"
Aku menatap Andi, seolah tak percaya. Pertanyaannya menusuk tepat di jantung. Kenapa secepat itu? Mereka sudah tinggal serumah? Padahal aku belum resmi bercerai dari Laras.
Andi menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. "Malah ngelamun," ucapnya. "Jika istrimu berkhianat, tinggalkan saja."
Aku memandang Andi. Dia tahu. Semua orang tahu. Aku tak bisa lagi menyembunyikan kenyataan yang menyakitkan ini.
"Laras bersama seorang lelaki kemarin, Bro," katanya.
Aku menghembuskan napas berat. Tak ada lagi yang bisa aku sembunyikan. Tak ada lagi kebohongan yang bisa kuceritakan pada diri sendiri.
"Dia sudah pergi bersama kekasih lamanya, dan akan menikah dalam waktu dekat," ucapku. Aku tahu, mungkin kau mengira aku tidak tahu. Aku tahu. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Andi menatapku, matanya penuh empati. "Lu harus perjuangkan hak asuh Melati, Bro. Anak itu pintar, dan anak tidak boleh diasuh oleh orang tua yang selingkuh. Dampaknya nanti akan buruk."
Saran Andi terasa seperti tamparan. Ia benar. Melati tidak pantas tumbuh dalam kebohongan. Dia pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan aku adalah satu-satunya orang yang bisa memberikannya.
Aku ingin sekali mengatakan pada Andi bahwa Melati bukan anakku. Tapi bagaimana bisa? Selama ini, dengan penuh kebanggaan, aku selalu mengatakan Melati adalah anak kandungku.
Belum sempat aku menjawab, Toni datang dengan tergesa-gesa.
"Riko... Melati kok nangis-nangis di pinggir jalan dekat rumah mertuamu?" ucap Toni.
Deg! Darahku berdesir."Kok ada di jalan?" tanyaku pada Toni.
"Aku enggak tahu... aku mau ambil dia tapi malah marah," jawab Toni.
"Mertuaku ke mana?" tanyaku, bingung.
"Itu dia," jawab Toni. "Mereka hanya menyaksikan Melati menangis tanpa ada usaha menenangkan."
Toni menatapku, matanya penuh makna. "Melati terus berteriak 'Ayah'," ujarnya.
Jantungku berdegup keras, pikiranku kosong. Aku memasukkan kunci motor, menyalakannya, dan melesat secepat kilat menuju rumah mertuaku. Hampir saja aku menabrak mobil di depanku. Tak peduli. Yang ada di pikiranku hanya satu: Melati.
Dan sampailah aku di depan rumah mertuaku.
Pemandangan itu membuat hatiku pilu, menyesakkan dada hingga sulit bernapas. Melati, duduk di tanah. Baru tiga hari, tapi berat badannya seperti berkurang. Rambutnya yang biasa rapi, kini acak-acakan, kotor oleh debu.
"Ayahhh... aku ingin Ayah!" tangisnya histeris, memanggil namaku di antara isak tangisnya.
Dan Ibu Rosidah, yang berdiri tak jauh darinya, hanya memandang. Tanpa ada usaha untuk menenangkan, tanpa ada sedikit pun empati di wajahnya
Aku memarkirkan motorku dengan tergesa. Aku berlari, menerobos jarak yang memisahkan kami. "Melati," ucapku lirih, suaraku tercekat.
Dia melihatku, matanya yang sembap langsung berbinar. Bangkit dari tanah, dia berlari ke arahku, memelukku erat, seolah tak ingin melepaskanku lagi. "Ayah... aku ingin sama Ayah," tangisnya.
Hatiku tersayat. Aku tahu, aku bukan ayah kandungnya. Tapi dalam pelukan ini, dia adalah anakku. Selamanya.