Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 34 - Pintu Ke Dunia Lain
Murni masih bergeming di dapur. Menatap tak berkedip pada ukiran itu.
Hujan sudah reda, tetapi hawa dingin belum pergi. Angin malam menyusup dari celah kayu yang tak sepenuhnya rapat, membawa aroma yang tak biasa.
Bukan aroma makanan, bukan juga bau kayu lembap.
Melainkan, aroma bunga.
Campuran keharuman lili putih. Melati. Sedikit anyelir. Wangi yang terlalu bersih. Terlalu sunyi.
Bagaimana bisa ada aroma bunga?
Murni menegakkan tubuh, hidungnya mencium lebih tajam.
Aroma itu semakin kuat.
Ia bangkit dan mengikuti nalurinya, berjalan ke arah wangi bunga itu. Melewati rak bumbu, dapur yang hening, dan tiba di meja tempat Mahanta biasa menulis menu. Di sana, di atas permukaan kayu yang tergores usia, tergeletak setangkai bunga lili putih yang segar. Masih basah. Masih hidup.
Tadi ia tak melihatnya.
Apakah sejak tadi bunga itu ada di sini? Atau baru saja diletakkan? Siapa yang meletakkannya? Sedari tadi ia hanya seorang diri. Tidak ada yang masuk lagi setelah wanita itu.
"Mahanta..." Ia berseru pelan, "Apakah kau di sini?"
Tidak ada jawaban. Apakah lelaki itu baru meletakkan bunga, sebelum kemudian pergi terburu-buru sampai menabrak bangku hingga miring?
Jantung Murni berdegup cepat. Tangannya gemetar saat meraih bunga itu. Begitu jemarinya menyentuh kelopaknya, sesuatu dalam dirinya —sebuah rasa sakit yang sangat tua— bergetar. Hampir seperti duka yang datang dari kehidupan lain.
Ia tersentak mundur. Menyentuh ukiran di meja itu lagi. Nama itu.
CASTA.
Siapa dia?
Kenapa nama itu seperti terus menariknya?
Dan mengapa setiap menyebutnya, ada sesuatu dalam dirinya yang berdenyut aneh?
Bersamaan dengan itu, aroma bunga makin tajam. Dan… ia mendengar sesuatu.
Sebuah suara. Lirih, tapi jelas.
“…kau tak seharusnya jatuh cinta.”
Murni menoleh. Tidak ada siapa pun. Tapi suara itu bukan berasal dari luar. Ternyata itu datang dari dalam dirinya. Atau… dari masa lalu?
Tangannya mencengkeram bunga lili hingga batangnya hancur.
Ia mendongak, dan sejenak merasa dunia di sekelilingnya berubah. Kayu-kayu warung yang usang seperti memudar. Dinding berubah menjadi batu pucat. Ada nyala lilin. Suara alunan musik dari tempat jauh.
Tapi hanya sekejap. Lalu semuanya kembali seperti semula.
Ia limbung. Tubuhnya hampir jatuh, tetapi ia menahan diri di meja. Matanya menatap bunga lili itu lagi. Hatinya menjerit dalam diam.
‘Mahanta… kau di mana, tolong kembali. Aku tidak tahu apa yang harus aku percayai.’
Namun Mahanta tidak juga muncul.
Murni mulai merasa kehilangan akal. Kewalahan menyerap semua ini.
Ia tidak mengira, betapa janggal dunia yang ia masuki ini. Meskipun mengerahkan kemampuan semua sel abu-abu di otaknya, ia tak mampu mencerna semua yang terjadi.
Ketika malam benar-benar pekat, dan suara binatang malam mulai mengisi keheningan, Murni memutuskan untuk keluar. Ia tak bisa berdiam di dalam. Tidak dengan semua rasa yang berdesakan dalam dadanya. Kepalanya terasa berputar.
Ia melangkah limbung, memegang bunga lili putih di tangannya. Ketika mendadak sadar, bahwa ia terjebak di area dalam warung.
Tadi ia meminta izin masuk, dan tiba-tiba saja dirinya sudah ada di dalam. Apakah untuk keluar ia hanya cukup meminta juga? Sebaiknya ia mencoba.
“Mahanta, biarkan aku keluar.”
Sekonyong-konyong, ada cahaya. Sampai Murni harus terpicing.
Sebenarnya cahaya itu tidak terlalu menyilaukan, tetapi karena sejak tadi ia terbungkus dalam kegelapan, itu mengejutkan mata.
Setelah mampu menyesuaikan, Murni kembali membuka mata. Dan tertegun.
Cahaya itu bukan dari pintu depan. Itu datang dari arah samping dapur!
Pintu depan tetap gelap. Di baliknya, ada malam yang pekat.
Tetapi cahaya dari samping dapur itu… seolah jalan ke sebuah siang yang terang.
Seperti… dunia yang lain.
Dunia yang berbeda dengan dunia di balik pintu depan.
Murni mengerjap-ngerjap, masih tidak percaya akan penglihatannya. Siapa tahu ini hanya halusinasi, dan cahaya itu ternyata berasal dari api lilin.
Tapi tidak.
Itu benar-benar seperti pintu yang terbuka.
Dengan ragu, Murni mendekat.
Hatinya dipenuhi harapan akan melihat Mahanta di sana.
Tatapan tajamnya. Senyum tipisnya. Lengan rampingnya yang kekar.
Suamiku, kata wanita tadi.
Tapi Murni tidak percaya. Menolak percaya.
Jika Mahanta pernah menikah, mengapa wajahnya selalu menyiratkan kesepian seperti seseorang yang menunggu selama seribu tahun?
Ia harus bertanya langsung padanya.
Dan, Casta. Ia harus bertanya mengapa dia mengukir nama itu di meja dapur. Apakah itu wanita yang dia tunggu?
Lalu… apa arti dirinya?
Murni telah menetapkan hati. Kali ini, Mahanta tidak bisa lagi hanya menjawab sebagian, hanya berbicara secara tersirat.
Ia telah meninggalkan segalanya demi dia, ia berhak mendapat kejelasan. Jika memang ia telah salah mengira, maka ia akan kembali ke dunia. Meskipun ia tak tahu bagaimana menghadapi dunia seorang diri.
Di balik pintu cahaya itu, ternyata ada jalan setapak. Di kiri kanannya terdapat banyak semak-semak rendah berbunga putih.
Murni menghentikan langkah. Ia mengingat-ingat. Sepertinya…
Ya. Ini tempat yang pernah ada dalam mimpinya.
Dalam mimpinya itu, ia berjalan perlahan dan merasakan kakinya dingin. Ia menunduk dan melihat ternyata kakinya telanjang. Ia mengenakan gaun panjang halus yang melambai menyapu tanah.
Di kiri kanan jalan terdapat semak-semak rendah dengan bunga warna-warni yang bermekaran. Begitu banyak bunga mekar sampai di udara tercium wangi samar yang terasa manis di hidung.
Mahanta berdiri di ambang pintu, seolah menanti kedatangannya. Laki-laki itu tersenyum hangat yang sampai ke matanya, mengulurkan tangan, dan Murni menyambut tangan itu.
Begitu tangan mereka saling menggenggam, Mahanta menariknya ke dalam pelukan. Dan Murni… tidak berusaha melepaskan diri.
Apakah…
Itu berarti mimpi itu adalah nubuatan, dan kali ini akan terjadi?
Tiba-tiba dingin menyusup dari bawah kulitnya.
Ia menoleh. Aroma bunga-bunga itu masih menyapa penciumannya. Tapi tidak ada siapa pun.
Tidak ada Mahanta yang menunggunya sambil tersenyum.
Namun, bersamaan dengan rasa dingin itu, tubuh Murni mulai gemetar. Bukan karena takut. Tetapi karena rasa yang tak bisa ia tolak.
Rasa bahwa Mahanta menyimpan luka. Lebih dalam daripada yang bisa ia bayangkan.
Murni mulai berlari.
Ia tidak tahu ini di mana. Tidak tahu dunia apa.
Tetapi kakinya seolah punya mata. Berlari lurus ke arah kabut. Seolah tahu pasti di sanalah Mahanta berada, di balik kabut itu.
When Spring Ends, I'll See You Again