Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf, aku menyerah
“Lu-na, apa yang terjadi denganmu? Kenapa tidak ada yang memberitahuku soal ini,” ucap wanita paruh bayah itu.
“Ibu duduk saja, ini hanya kecelakaan kecil. Tak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Luna dengan menebarkan senyuman ke arah wanita yang selama begitu menyayanginya.
“Jika hanya kecelakaan kecil. Kamu tidak akan berada di kursi roda!” Jawab ibu mertua Luna.
Memutuskan untuk datang ke rumah anaknya karena ada sesuatu yang ingin disampaikan, jika hari ini tidak memutuskan datang. Mungkin ia tak akan tahi keadaan menantunya.
“Bu, ini hanya luka ringan. Sebentar lagi juga akan sembuh,” ujar Luna, berusaha menyakinkan hati sang mertua.
“Katakan, apa yang terjadi? Jika kecelakaan mobil. Harusnya orang itu di penjara karena sudah membuatku kesakitan,” cerocos ibu mertuanya lagi.
Lagi dan lagi. Luna tertawa kecil seolah tidak terjadi apa-apa, pandai menutupi luka laranya, walau hampir membuatnya tak berdaya.
“Mas, lihat. Betapa bahagianya aku ketika diperhatikan oleh ibu, sekarang aku tahu siapa orang yang benar-benar peduli.”
Pada saat Luna berucap, Arindra bahkan tidak beraksi. Hanya diam dan tidak dapat mengungkap apa pun.
“Luna, apa Arindra merawatmu dengan baik.” Dari yang awalnya diam dan menyimak, akhirnya mertua lelaki angkat bicara.
“Ayah tenang saja, jika dia tidak baik dalam merawatku. Maka aku akan menceraikannya,” ucap Luna diiringi tawa kecil.
Begitu juga mertuanya, mereka mendukung ucapan menantunya karena jika tidak bertanggung jawab, berpisah itu jalan terakhir.
“Bagus, karena ketika berumah tangga. Akan dibutuhkan peran suami yang harus bertanggung jawab, menyayangi kita, memprioritaskan seorang istri apa pun keadaannya.”
Kalimat tersebut bagai tamparan tanpa permisi. Kini, Arindra benar-benar merasa tersudut atas kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh ketiga orang tersebut. Andai bisa pergi, mungkin ia akan pergi meninggalkan mereka hingga tak mendengar sebuah sindiran tanpa disengaja.
“Baiklah-baiklah, kita sudahi percakapan ini dan mulai mengganti topik.” Ibu dari Arindra pun akhirnya meminta suami dan menantunya berhenti bercanda.
“Uhm … maaf, memangnya kalian ingin membicarakan apa? Terlihat sedikit serius hingga memutuskan datang kemari?” tanya Arindra beberapa saat setelah menjadi pendengar setia.
“Aku ingin kalian pindah ke tempat kita. Di sana seseorang menjual rumahnya dan itu cukup luas,” ucap ibunya Arindra.
“Maksud Ibu? Sungguh kita berdua tidak mengerti,” jawab Arindra setelah ia dan Luna saling melempar tatapan.
“Pernikahan sudah lima tahun, kalian terlalu fokus pada karir hingga tidak memikirkan anak. Jika bisa hidup di desa dan beristirahat, bukankah itu sedikit bagus untuk mulai mendapatkan momongan.” Penjelasan dari ayahnya Arindra, langsung membuat anak serta menantunya itu pun gugup.
Lalu di sinilah kekhawatiran mulai terasa, hati mereka mulai goyah dan tak bisa berpikir secara jernih ketika orang tua mulai memikirkan masa depan anak menantunya. Namun, berbeda dengan keduanya.
“Yah, tapi Ayah sudah tahu jika pekerjaanku ada di sini. Rasanya tidak mungkin untuk meninggalkan karirku,” ucap Arindra beberapa saat kemudian.
Diikuti oleh Luna, ia juga menolak secara halus tawaran dari mertuanya. Walau sebetulnya rencana yang dibuat demi kebaikannya. “Ayah, Ibu. Bukan menolak, aku juga ingin memiliki anak, tapi aku belum bisa berhenti mengajar.”
Aya dan ibu mertua Luna pun menghela napas, tidak dipungkiri jika mereka menginginkan seorang cucu. Terlebih Arindra anak tunggal dan keturunan pun harus segera dilahirkan.
“Jadi, kapan kalian berencana melahirkan cucu untuk kita? Berapa lama lagi harus menunggu. Sedangkan ayah dan ibumu ini semakin menua,” ucap ibu mertua Luna dengan wajah kecewa.
“Maaf, maaf karena kita berdua tidak bisa memberikan cucu untuk kalian.” Dengan kepala tertunduk Arindra berucap.
“Apa ada alasan lain yang ingin kalian ucapkan? Aku juga mengerti dengan keadaan Luna saat ini. Namun, salahkah jika sebelumnya aku meminta dan sedikit berkorban!” Wajah kecewa dari orang tua Arindra terpampang jelas, apa yang mereka inginkan anak dan menantunya tidak dapat memenuhi permintaannya.
“Lun, bisakah kamu berkorban demi ibu dan ayah sedikit saja.” Lanjut ibu mertuanya.
“Bu, ada kalanya kita berkorban. Namun, jika berakhir sia-sia, bukankah itu terasa menyakitkan. Aku tahu jika aku gagal menjadi apa yang diinginkan Ibu. Maaf kalau aku harus menyerah untuk berkorban kembali dan memilih menyerah,” ucap Luna panjang lebar.
Di sini keadaan mulai canggung. Meski mereka berdua sudah berusaha untuk menutupinya, pada akhirnya terbongkar juga.
“Bisa kalian jelaskan maksud dari ucapanmu itu, Luna!” Sang ayah mertua mulai kehabisan kesabaran. Mereka kembali ke kampung halamannya dengan membawa kekecewaan.
“Yah, Bu. Aku dan Luna sudah sepakat untuk—.”
“Maaf jika kita berdua tidak bisa menjadi yang Ibu serta Ayah mau. Dua hari lagi adalah sidang pertama kita di pengadilan Agama,” ucap Luna dan dengan sengaja memotong ucapan Luna.
“Apa yang kalian bicarakan? Bukankah selama ini pernikahan kalian juga baik-baik saja? Lalu kenapa harus menyudahinya setelah lima tahun bertahan,” ucap ayah dari Arindra dengan wajah penuh rasa kecewa.
“Jawab! Jangan hanya bisa diam.” Ibunya Arindra pun ikut menimpali.