NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28

Udara malam pondok masih terasa berat. Lampu-lampu minyak yang tergantung di serambi ndalem redup berkedip, seolah ikut menyimpan rahasia yang menyesakkan. Hening itu bukan lagi ketenangan, melainkan keheningan yang membawa gelisah.

Di sudut ndalem, Gus Zizan duduk termangu. Sejak pertemuan siang tadi, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Senyum-senyum tamu sudah berlalu, tapi bayangannya masih tinggal. Kata-kata Abi-nya terus menggema: “Niat lama kita insya Allah bisa segera terealisasi.”

Ia tahu maksud Abi. Ia tahu, silaturahmi itu bukan sekadar temu kangen antara dua keluarga besar. Itu adalah pembuka jalan menuju perjodohan. Dan perjodohan itu bukan hal main-main. Jika Abi sudah bicara, maka sebagian besar keputusan sudah dianggap selesai.

Tapi, di balik semua itu, hatinya memberontak.

Gus Zizan menunduk, jemarinya menggenggam peci di tangan. Nafasnya berat.

"Ya Allah… mengapa Engkau hadirkan rasa ini di hatiku pada waktu yang salah? Mengapa harus kepada Dilara? Santri sederhana, yang bahkan mungkin tidak pernah terbayang akan sejajar denganku. Mengapa bukan kepada Ning Lidya, perempuan yang semua orang anggap sempurna?"

Ia menggeleng pelan, mencoba mengusir bayangan wajah Dilara yang terus muncul. Namun semakin ia mencoba, semakin jelas senyum itu hadir—senyum malu-malu yang pernah ia lihat saat bertemu di sumur belakang pondok, saat tangan Dilara gemetar menimba air dan tak sengaja menyipratkannya ke pecinya.

Bayangan itu membuat dadanya perih.

Di tempat lain, di kamar sederhana asrama putri, Dilara duduk bersandar di dinding. Wajahnya masih basah oleh air mata. Ia sudah lama berhenti menangis, tapi rasa sesak itu belum juga pergi.

Salsa, sahabatnya, duduk di samping sambil menggenggam tangannya erat.

“Lara, sudah… jangan terlalu dipikirkan. Kita nggak tahu bagaimana takdir Allah nanti. Bisa jadi kabar perjodohan itu hanya sekadar wacana.”

Dilara menoleh dengan mata bengkak. “Kamu sendiri lihat kan, S? Hari ini Ning Lidya datang dengan ayahnya. Mereka disambut langsung oleh Kyai. Kalau hanya silaturahmi, kenapa harus melibatkan Gus Zizan juga?”

Salsa terdiam. Ia tahu Dilara benar. Semua santri juga tahu. Silaturahmi itu bukan sembarang silaturahmi. Itu tanda keseriusan.

Dilara menunduk. “Aku… aku nggak berhak cemburu. Aku siapa? Aku hanya santri biasa. Sedangkan Ning Lidya, jelas jauh lebih pantas mendampingi Gus Zizan. Aku bahkan malu pada diriku sendiri, Sal. Malu karena membiarkan rasa ini tumbuh.”

Salsa menepuk pelan bahunya. “Lara, perasaan itu datang dari Allah. Kamu nggak salah karena mencinta. Yang salah itu kalau perasaanmu membuatmu jauh dari Allah. Selama kamu bisa menjaga, biarlah rasa itu ada. Allah yang akan mengatur jalannya.”

Dilara terisak pelan. Dalam hati, ia hanya bisa berdoa.

"Ya Allah, kalau memang Gus Zizan bukan untukku, hapuskanlah rasa ini. Aku tidak kuat menahan luka yang terus-menerus. Tapi kalau dia memang untukku, berilah aku kekuatan menunggu dalam sabar."

Keesokan harinya, kabar kedatangan Ning Lidya sudah menyebar ke seluruh pondok. Santri-santri putra maupun putri saling berbisik di lorong-lorong, di dapur, bahkan saat antre wudhu.

“Katanya Gus Zizan sama Ning Lidya sudah cocok banget.”

“Iya, sama-sama anak kyai. Masya Allah, kalau jadi, pondok ini makin harum namanya.”

“Eh, kasihan ya sama santri yang dulu diam-diam suka sama Gus…”

“Hus! Jangan sembarangan ngomong! Bisa bahaya kalau didengar.”

Bisik-bisik itu menampar telinga Dilara. Ia mencoba menunduk setiap kali mendengar, pura-pura sibuk dengan kitab atau sapu di tangannya. Tapi hatinya terus tergores.

Dan sore itu, ketika semua santri putri berkumpul di serambi untuk pengajian kitab, Ning Lidya ikut hadir. Duduknya anggun, jilbab krem menjuntai lembut, wajahnya memancarkan wibawa. Suaranya lembut saat menjawab pertanyaan Ustadzah, tapi penuh keyakinan.

Semua mata terpikat. Banyak yang berbisik, “Pantaslah kalau Gus Zizan dijodohkan dengan dia. Cocok sekali.”

Dilara hanya diam. Tangannya gemetar memegang kitab, matanya panas menahan air mata. Ia tahu, ia kalah dalam segala hal.

Malam itu, di ndalem, Kyai Zainal memanggil putranya.

“Zizan, duduklah sini.”

Dengan hati berat, Gus Zizan duduk di hadapan ayahnya.

“Abi ingin bicara serius. Ustadz Yusuf sudah lama menitipkan niat, dan kini waktunya kita menunaikan. Lidya itu anak yang baik, alim, berwibawa, insya Allah bisa menjadi istri yang mendukung perjuanganmu.”

Gus Zizan menunduk, lidahnya kelu.

“Abi tahu hatimu masih bimbang. Tapi ingat, menikah bukan hanya soal hati. Menikah itu soal perjuangan. Soal menguatkan dakwah, menjaga pondok, meneruskan amanah.”

“Abi…” suara Gus Zizan tercekat. “Bagaimana kalau hatiku… tidak ada di sana?”

Kyai Zainal menatap dalam mata putranya. “Hati bisa dibimbing, Nak. Jangan sampai perasaan pribadi menghalangi maslahat yang lebih besar.”

Gus Zizan terdiam. Hatinya menjerit, tapi lidahnya tak mampu membantah. Ia hanya menunduk, menahan air mata agar tidak jatuh di hadapan ayahnya.

Di malam yang sama, Dilara kembali ke mushalla kecil. Ia sujud lebih lama dari biasanya, air matanya membasahi sajadah.

“Ya Allah… aku ikhlas jika memang takdir-Mu memilihkan yang lain untuknya. Tapi jagalah hatiku, jangan biarkan aku terpuruk. Jangan biarkan rasa ini membuatku jauh dari-Mu.”

Isakannya lirih, nyaris tak terdengar, tapi mengguncang batinnya sendiri.

Dan tanpa ia tahu, di sudut ndalem, Zizan juga sedang bersujud.

“Ya Allah… kalau dengan menikah aku bisa menjaga nama pondok, aku ikhlas. Tapi aku mohon, jangan cabut rasa ini dari hatiku. Biarlah aku mencintainya dalam diam, asal Engkau ridha.”

Dua doa itu terbang ke langit yang sama. Doa yang berlawanan, tapi sejatinya berasal dari luka yang sama.

Hari-hari berikutnya menjadi ujian yang berat. Ning Lidya semakin sering hadir di pondok, ikut membantu kegiatan ustadzah, mengisi kajian, bahkan sesekali berbicara dengan santri putri. Kehadirannya membawa cahaya baru, membuat banyak orang kagum.

Tapi bagi Dilara, setiap langkah Lidya adalah luka.

Dan bagi Gus Zizan, setiap senyum Lidya adalah belati yang menusuk diam-diam.

Suatu sore, saat hujan rintik turun, Gus Zizan berjalan melewati perpustakaan. Dari balik jendela, ia melihat Dilara sedang menata kitab, wajahnya serius meski sedikit murung. Dadanya bergemuruh.

Ia ingin berhenti, ingin sekadar menyapanya. Tapi langkahnya tertahan. Ia hanya berdiri sejenak, menatap dari jauh, sebelum akhirnya memilih bergegas pergi.

Dilara, yang menyadari bayangan itu sekilas, hanya bisa memejam erat. Air matanya jatuh, bercampur dengan aroma kitab yang basah karena udara hujan.

Hari pertemuan keluarga besar semakin dekat. Pondok mulai sibuk mempersiapkan penyambutan, santri-santri putri dilibatkan untuk menyiapkan hidangan, sementara santri putra sibuk membersihkan halaman. Semua berjalan dengan semangat.

Kecuali dua hati yang semakin hari semakin terkoyak.

Dilara mulai sering sakit kepala, tubuhnya lemas. Salsa, Dewi dan Mita khawatir, tapi ia tahu sahabatnya sedang menyimpan luka yang tak bisa ia obati.

Sedangkan Gus Zizan semakin pendiam. Ia tetap mengajar, tetap memimpin santri, tapi senyumnya semakin jarang muncul. Banyak santri heran, bahkan beberapa berbisik, “Gus kita kelihatan murung akhir-akhir ini ya?”

Mereka tidak tahu, murung itu berasal dari cinta yang terpaksa dikorbankan.

Dan tibalah hari itu. Hari pertemuan dua keluarga besar.

Halaman pondok dipenuhi mobil tamu. Ustadz Yusuf datang bersama keluarganya, membawa bingkisan besar. Ning Lidya hadir dengan busana anggun, jilbab putih menambah keteduhannya.

Para santri sibuk menyambut. Wajah-wajah berbinar, doa-doa dipanjatkan. Semua merasa bangga.

Kecuali Dilara. Dari balik jendela perpustakaan, ia hanya bisa menyaksikan. Hatinya perih, seolah tubuhnya tak punya lagi tenaga. Ia ingin lari, tapi kakinya seakan terikat di tempat.

Dan di tengah riuh itu, Gus Zizan melangkah keluar ndalem. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.

Saat matanya tanpa sengaja bertemu pandangan Dilara dari balik jendela, waktu seakan berhenti.

Hanya sekejap. Hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat hati keduanya kembali gemetar.

Seolah ada jeritan yang ingin keluar, tapi tertahan oleh takdir.

Dan di tengah senyum semua orang, dua hati itu kembali menangis dalam diam.

1
Dewi Anggraeni
sebel da kok ning sipat nya egois .
Dewi Anggraeni
semoga ada keajaiban past Lara dari keluarga terpandang
Dewi Anggraeni
sepertinya Lara dri kalangan ber ada cuman di asuh oleh paman dan bbi nya .
Julia and'Marian: terimakasih komentarnya kakak🥰
total 1 replies
Dewi Anggraeni
semoga lara dari kalangan yg berkuasa
Dewi Anggraeni
anda egois juga kyai ya .. ..demi nama baik pondok azh anda reLa menyakiti hati anak .. semoga Lidya sadar ada hati yg terluka
Dewi Anggraeni
kok pak kyai . galak .. gimana kalo zizan merasa tidak nyaman dgn pernikahan ini semoga Lidya . tau akan hal ini dan dia mundur untk mengalah .
Dewi Anggraeni
semoga zizan berjodoh nya dgn dilara .. .
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!