Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Giliran Pendekar
Sekitar lima puluh prajurit Pasukan Keamanan Kadipaten beramai-ramai terbang dengan tubuh diselimuti lapisan sinar hijau. Ada yang terbang menuju Penjebak Kepeng dan kedua rekan pendekarnya, ada yang terbang menuju barisan Pasukan Buaya Samudera, dan ada yang terbang menuju Pasukan Kaki Gunung. Yang pasti tidak ada yang terbang ke bulan.
Untuk para prajurit terbang yang menarget ketiga pendekar pemimpin pasukan kerajaan, mereka diatasi oleh Perempuan Angin Bangkai.
Ada sekitar sepuluh prajurit terbang yang datang bersusulan kepada Penjebak Kepeng dan kedua rekannya. Sari Sani yang melakukan penangkalan tidak memandang remeh serangan itu. Dia tahu siapa penggerak serangan prajurit terbang tersebut, yaitu Kentang Kebo.
Karena itu, Sari Sani mengerahkan ilmunya yang bernama Tinju Nenek Gendut. Dengan tetap duduk di punggung kudanya, Sari Sani melakukan gerakan tinju kedua tangannya dengan cepat, seperti petinju yang sedang meninju speed ball.
Namun, dari setiap gerakan tinju itu melesat sinar-sinar merah berwujud kepalan tangan.
Ses ses ses…!
Boks boks boks…!
“Akk! Akh! Akk…!”
Ada puluhan sinar merah berwujud tinju berlesatan dari kedua kepal tangan Sari Sani. Pasukan tinju sinar itu menghantam beruntun kesepuluh sosok prajurit terbang di pertengahan jarak. Hasilnya, tinju-tinju energi itu membuat tubuh para prajurit terbang itu tertahan di udara plus remuk tulang-tulangnya di dalam tubuh.
Para prajurit terbang bersinar hijau itu harus mati tragis di udara. Status mati di udara tetaplah tidak bisa menjadi kebanggaan bagi mereka.
Setelah dibantai oleh ilmu Tinju Nenek Gendut, para prajurit itu berguguran ke tanah tanpa ada yang selamat.
Sementara nun jauh di depan sana, Kentang Kebo hanya tersenyum kecil seraya manggut-manggut merasakan kehebatan kesaktian Sari Sani.
Set set set…!
Bras bras bras…!
Semua prajurit Pasukan Buaya Samudera memanah Panah Surya untuk mengatasi serangan pasukan terbang bersinar hijau.
Sebagai prajurit terlatih, Pasukan Buaya Samudera mampu membunuh semua prajurit terbang di udara yang datang kepada mereka.
Bduak! Bduak! Bduak!
“Akk! Akk! Akh…!” Itu suara jeritan para prajurit Pasukan Buaya Samudera.
Meski Panah Surya membunuh para prajurit terbang di udara, tetapi tidak semua prajurit Pasukan Buaya Samudera bisa menghindar, ketika mayat prajurit terbang itu menghantam barisan mereka. Sebagian prajurit Buaya Samudera bisa menghindari hantaman mayat bersinar hijau dengan cara melompat. Namun, sebagian lagi telat menghindar. Akibatnya, mereka yang terhantam mayat harus mati atau terluka.
Nasib yang mirip dialami pula oleh para prajurit terbang yang menarget Pasukan Kaki Gunung yang posisinya di belakang Pasukan Buaya Samudera. Hanya proses matinya sedikit berbeda.
Mereka dengan leluasa menghantam barisan prajurit Pasukan Kaki Gunung yang hanya memilih bertahan dengan tameng dan ujung tombak diarahkan miring ke atas.
Brakr! Brakr! Brakr…!
“Aaak! Akk! Akh…!”
Ada prajurit terbang yang hanya menabrak dinding perisai, tapi ada pula prajurit yang menabrak tombak plus dinding perisai. Hasilnya, dua-duanya sama-sama menghancurkan dinding perisai dan mementalkan para prajurit Pasukan Kaki Gunung.
Prajurit Pasukan Kaki Gunung yang ada di barisan depan berpentalan ke belakang dihantam pasukan terbang bersinar hijau. Bagian depan pasukan itu dibuat porak-poranda.
Tidak hanya terpental, tetapi sebagian dari mereka menderita kematian.
Pasukan terbang yang menarget Pasukan Kaki Gunung juga menderita kematian secara total. Ada yang mati karena menabrak tombak yang panjang. Ada pula yang matinya setelah mereka masih sempat hidup usai menghantam pagar tameng.
Namun setelah itu, para prajurit terbang yang jatuh dengan kondisi masih hidup, harus menerima penombakan massal dari para prajurit Pasukan Kaki Gunung yang belum terkena hantaman.
Seperti itulah kejadiannya.
Melihat nasib rekan-rekan mereka yang dijadikan pasukan terbang bunuh diri, Pasukan Keamanan Kadipaten yang tersisa kian ketakutan.
“Cukup sudah nyawa berhamburan, ikan-ikan di lautan tidak butuh mayat manusia, sudah waktunya kita turun ke sumur, karena kini sudah jadi urusan pendekar,” kata Penyair Ngik Ngok bersyair kepada Penjebak Kepeng.
Anjuran Penyair Ngik Ngok ditindaklanjuti oleh Penjebak Kepeng dengan berseru kepada Kentang Kebo yang jauh di depan sana.
“Kentang Kebo bo bo bo!” teriak Penjebak Kepeng dengan pengerahan tenaga dalam pada suaranya, sehingga menimbulkan gema berulang yang sangat jelas.
Tergerak wajah Kentang Kebo mendapat panggilan itu. Suara itu cukup menusuk gendang telinganya, menunjukkan tingkat kesaktian Penjebak Kepeng tidak remeh.
“Jika kau seorang pendekar kar kar kar, jangan berlindung di balik nyawa prajurit rit rit rit!” seru Penjebak Kepeng lagi.
Kalimat seruan itu ternyata mengusik telinga Kentang Kebo. Dia langsung menanggapi.
“Majulah lah lah lah!” teriak Kentang Kebo yang juga suaranya bisa menggema berulang. Dia juga mau unjuk gigi bahwa dirinya juga bisa bersuara seperti itu. “Jika kalian ingin mati ti ti ti!”
“Maju! Kita habisi kejahatan Kentang Kebo!” seru Penjebak Kepeng kepada kedua rekannya, kali ini tidak mengandung tenaga dalam.
Penyair Ngik Ngok dan Sari Sani mengangguk.
“Perintahkan pasukan mundur!” teriak Penjebak Kepeng yang ditujukan kepada kedua komandan pasukan. “Heah heah!”
Penjebak Kepeng lalu menggebah keras kudanya, memerintahkannya untuk berlari kencang.
“Heah heah!” gebah Penyair Ngik Ngok dan Sari Sani.
Drap drap drap…!
Ketiga kuda itu segera berlari kencang meninggalkan pasukan.
Pasukan Keamanan Kadipaten yang tersisa di tengah-tengah arena, buru-buru lari menyebar menjauhi ketiga kuda yang sebenarnya hanya ingin permisi. Mereka menuju ke posisi Kentang Kebo dan kereta kudanya.
“Pasukaaan, munduuur!” teriak Komandan Serut Perut kepada pasukannya yang masih tersisa separuh. Separuhnya lagi bukan pergi ke lain hati, tetapi mati dan terluka.
“Pasukaaan, munduuur!” teriak Perwiramadya Tanggal Muda pula.
Mendengar perintah itu, para prajurit Pasukan Buaya Samudera yang masih segar bugar segera berseru.
“Gaya!”
Para prajurit berbadan kekar itu kompak berpose patung dengan gaya bermacam-macam. Ada yang rasa nanas, ada yang rasa mangga muda, jeruk lemon hingga rasa belimbing sayur. Setelah durasi lima kecupan, barulah mereka bergerak mundur dengan tugas satu orang sehat bawa satu mayat atau rekan yang terluka.
Sementara itu, Kentang Kebo yang siap menyambut kedatangan tiga pendekar dari Kerajaan Sanggana Kecil, tidak peduli lagi dengan sisa Pasukan Keamanan Kadipaten yang dia jadikan pasukan bunuh diri. Hal itu membuat sisa pasukan tersebut bebas berlari ke mana saja untuk menyelamatkan diri. Yang jelas mereka tidak lari mengejar pasukan kerajaan atau lari pulang kepada Kentang Kebo.
“Pulanglah kalian kepada istri kalian!” perintah Kentang Kebo kepada Suoto dan Marno, kedua abdinya.
“Kami tidak akan…. Aaakkk!” kata Marno yang kemudian putus oleh teriakannya sendiri, ketika tahu-tahu dia dan Suoto terlempar terbang ke samping kanan, meninggalkan kereta kuda.
Blugk!
“Aak! Akkk!” erang Suoto dan Marno, ketika mereka mendarat di tanah keras dengan wajahnya masing-masing. Mereka kesakitan. Sepertinya mereka sudah tidak sakti lagi.
Drap drap drap…!
Tiga Pendekar Pengawal Dewi Bunga kian mendekat. Namun, sebelum ketiganya benar-benar mendekat, Kentang Kebo mengirimkan serangan jarak jauh.
Wessst!
Bergaya duduk tetap santai dengan punggung bersandar di kursi kereta, Kentang Kebo menghentakkan lima jari tangan kanannya ke arah depan. Dari hentakkan lima jari itu melesat lima gumpalan energi tidak terlihat menyongsong kedatangan ketiga pendekar berkuda.
Meski lima gelombang tenaga sakti itu tidak terlihat, tetapi suaranya terdengar tajam dan sebagai pendekar sakti tingkat atas, Penjebak Kepeng dan kedua sahabatnya bisa merasakan, terlebih mereka pun telah waspada.
Bess bess bess!
Ehhehehek…!
Ketiga kuda yang berlari meringkik nyaring, ketika dada-dada mereka dijebol oleh lima tenaga sakti yang menyerang.
Blugk!
Kompak ketiga kuda langsung tersungkur menghantam tanah.
Sementara Penjebak Kepeng, Penyair Ngik Ngok dan Sari Sani sudah mengudara, lepas landas dari pelana kudanya. Mereka antijatuh bersama dengan kuda.
Dalam lompatannya di udara, Sari Sani orang pertama yang mengirimkan serangan maut kepada Kentang Kebo.
Ses ses ses…!
Saat di udara itu, Sari Sani melepaskan ilmu Tinju Nenek Gendut. Maka dari gerakan tinju dua tangan yang cepat, melesatlah puluhan sinar merah berwujud kepalan tangan, menyerbu Kentang Kebo.
Kentang Kebo tidak panik. (RH)