Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 — Panggilan Dari Alam Roh
DARI ruang loker, Davin dan Tari melangkah tergesa menyamperi teman-teman mereka di depan tangga tribun. Davin terlihat tetap tenang—atau paling tidak, dia dapat menyembunyikan perasaannya dengan baik. Namun Tari tampak tegang—dan wajahnya pucat. Dia bahkan tak sadar ikatan rambutnya hampir terlepas.
Hampir pada saat bersamaan, Rayan berjalan cepat dari ruang pompa air. Tak ada seringai khasnya. Tak ada celetukan konyolnya. Dia berusaha menormalkan napasnya yang agak terengah. Beberapa butir keringat tampak di pelipisnya karena mendekam di ruang pompa air yang pengap. Rambutnya makin acak-acakan.
Mereka kembali berkumpul di depan tribun. Ketegangan yang mereka alami telah mereda. Semua kembali senyap. Tidak ada angin. Nyaris tidak ada suara binatang malam. Dan sekeliling kolam terlihat mulai suram.
Mereka saling bertukar pandang. Tidak ada yang angkat bicara. Mereka sekan dapat saling membaca ekspresi satu sama lain.
“Gila, gue belum pernah liat lokasi angker kayak kolam renang ini,” cetus Rayan tiba-tiba memecah keheningan dengan nada seperti setengah takjub.
“Astaga, semua orang ketakutan, tapi lo malahan exciting,” keluh Elisa antara gemas dan putus asa.
Rayan tersenyum hambar. “Kita ke sini bukan pengen piknik, Lis. Kita mau bikin video horor. Dan gue bisa ngerasa aura negatif tempat ini. The pump room just gave me goosebumps. Berani sumpah.”
Sasha menatapnya dengan tegang. Kilasan bayangan tribun penuh orang melintas di pikirannya. “Apa… yang kamu liat di situ?”
Rayan menghembuskan napas agak keras. “Gue nggak ada liat apa-apa. Tapi ada “orang” di situ.” Dia menoleh ke arah Davin dan Tari. “Kalian juga liat sesuatu di ruang loker, kan?”
“Ya,” sahut Davin datar. “Perubahan medan elektromagnetik begitu kuat di sana.”
“Dia nungguin kita—atau salah satu dari kita,” gumam Tari lirih.
Elisa hampir melotot padanya. “Ya ampun, Tari, kenapa kamu nggak pernah ngomong kayak orang normal lain?”
“Tolong diam, Lis,” tegur Sasha pelan tapi tegas. Matanya terus menatap lurus ke wajah Tari. Bias temaram senja membuat wajah Tari tampak aneh. “Apa maksud kamu “dia”?”
“Aku... nggak tau. Tapi cuma suara itu yang dibisikkan ke telingaku,” sahut Tari tanpa menoleh. Tatapannya terus terarah ke jendela lantai dua di sebelah kanan. Dari tempat mereka berdiri, ruangan bekas kafe mungil itu terlihat mulai gelap.
“Dia siapa?” desak Rayan dengan nada santai. “Dan nungguin siapa?”
“Aku nggak tau!” sahut Tari dengan suara meninggi. “Kita harusnya nggak berada di sini! Tapi kita nggak bisa!”
Davin mengangkat sebelah tangannya, meminta teman-temannya agar tak bersuara. Mau tidak mau dia merasa rada tegang mendengar ucapan Tari. Dan dia tahu bahwa Tari bukan hanya ingin mendramatisir suasana.
Dia menatap Tari dengan lekat. “Kita nggak bisa apa, Ri?”
“Kita nggak bisa nggak ke sini.”
“Kita berenam?”
Tari menoleh ke arahnya. Ekspresinya tegang dan sekaligus seperti letih. “Nggak. Katanya dia cuma ingin kamu.”
Mereka kembali saling bertukar pandang. Sasha nyaris gagal untuk tidak membelalak tak percaya pada Tari. Dia tahu bahwa Tari sering bertingkah aneh. Namun sikap ganjil Tari sekarang benar-benar tak sehat di matanya.
Davin berusaha tetap tenang. Jawaban Tari yang begitu gamblang membuat dia hampir goyah. Dia tak ingin mendesak Tari. Dia kuatir kalau Tari sampai ambruk—dan pingsan. Mereka pernah melihat Tari pingsan di lokasi gara-gara tekanan psikologis. Tapi dia membutuhkan jawaban dari sahabatnya. Ucapan gadis itu menempel di kepalanya seperti gema samar yang tak mau pergi.
“Dia menjelaskan kenapa, Ri?” tanyanya. “Maksudku, kenapa dia cuma ingin aku?”
“Aku nggak tau alasannya. Sori.”
“Nggak papa. Dengerin terus suaranya, Ri.”
Tari tak menjawab. Matanya sesekali menoleh kian-kemari dengan liar—seperti sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa mereka dengar.
Elisa tak berani menatapnya. Dan tak henti-hentinya bulu kuduknya berdiri.
Sebaliknya dari keder, Davin justru buru-buru membongkar isi ranselnya. Dia mengambil alat detektor resonansi yang dapat dikoneksi ke tabletnya.
Di mata Rayan, Sasha, Naya dan Elisa, benda itu cuma salah satu peralatan aneh Davin.
Tapi Tari tahu bahwa alat itu... beda.
Sasha tetap berdiri tegak—memperhatikan Davin dan Rayan yang mulai sibuk mengeluarkan beberapa peralatan syuting. Diam-diam dia merasa kagum karena mereka melakukan aktivitas di lokasi secara profesional.
Elisa menggeser kakinya dengan gelisah. “Ini serius banget atau cuma drama?” gumamnya pelan.
Tapi tidak ada yang merespons.
Tari berdiri dengan tidak tenang. Bibirnya bergerak tanpa suara.
Sasha memperhatikan gerakan bibir itu, lalu menatap wajah Tari dengan heran. “Kamu ngomong sama siapa?”
Tari menggeleng cepat, tapi matanya tidak meyakinkan. “Nggak ada. Nggak… ada.”
Davin menatap Sasha dan Elisa. “Aku butuh bantuan kalian. Kau bisa bantu pegangin infrared thermometer, Lis?”
Elisa mengangguk pelan. “Ya, aku bisa.”
“Tolong perhatian perubahan suhunya. Fokuskan titiknya pada lokasi yang dituju Rayan. Dan jangan jauh-jauh dari aku, oke?”
“Oke.”
Davin menoleh pada Tari. “Kau bisa pegangin EMF detector? Atau Naya aja?”
“Tanganku cuma dua, Dev,” celetuk Naya sambil tersenyum. “Nanti aku pegangin RC drone.”
“Aku nggak papa, Dev,” ujar Tari tegas. “Kamu pikir aku bakal semaput?”
Davin tersenyum tipis. “Iya, itu sempat terlintas di kepalaku—to be honest.”
Tari mendengus pelan. Dia mengambil EMF detector dari tangan Davin.
Davin menoleh ke arah Sasha. “Tolong kau pegangin tablet ini. Jangan sampai lepas, oke? Tablet ini nayangin gambar dari kamera drone. Bisa jadi kau akan liat sesuatu yang cukup berat.”
“Aku nggak papa,” sahut Sasha tenang, sambil menyambut tablet yang disodorkan Davin.
“Dev, aku dan Sasha perlu dekat-dekat kamu juga?” ujar Naya polos.
Davin hanya menyeringai masam. Dia menoleh lagi ke arah Tari. Ekspresinya tetap tenang, tapi nada suaranya terdengar lebih serius. “Kau bilang tadi, dia cuma ingin aku… berarti dia udah tahu aku di sini.”
Mereka semua terdiam.
Sesaat Davin memandang kolam yang makin gelap. Semua peralatan sudah siap diaktifkan.
“Ini SRD—Spectral Resonance Detector. Perangkat ini dirancang untuk mendeteksi gelombang ultrasonik—frekuensi di luar jangkauan pendengaran manusia,” jelasnya singkat kepada teman-temannya, tanpa menyinggung fakta bahwa alat itu sebenarnya dikalibrasi khusus untuk menangkap resonansi Umbral.
Rayan mengangkat wajahnya sebentar. Perangkat itu terdengar asing di telinganya. Tapi dia tak mengatakan apa-apa.
Davin menyalakan SRD. Tablet di tangannya langsung menyala. Garis-garis gelombang yang bergerak pelan memenuhi layar—disertai deretan angka frekuensi di sisi kanan. Dari speaker kecil terdengar dengungan rendah yang nyaris tenggelam oleh suara malam, lalu sesekali bunyi "klik" pendek terdengar acak seperti tetesan logam di kejauhan.
Davin terus mengamati pergerakan gelombang. Garis pada layar hampir datar—nyaris tak terdeteksi adanya gelombang suara. Tapi… ada sesuatu di sana. Sangat lemah. Hampir mustahil dibedakan dari noise. Namun tetap ada.
Oh, shit!