Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan Para Naga
Malam di Lembah Sembilan Naga membawa keheningan yang tidak alami. Liu Wei berbaring di atas dipan bambu yang disediakan Lei dan Li, matanya menatap langit-langit gua yang dihiasi kristal berpendar. Di sebelahnya, dengkuran halus Xiao Mei menjadi satu-satunya suara yang mengingatkannya bahwa dia tidak sendirian.
Tapi Liu Wei tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Pertapa Daun Merah, dan lebih dari itu - oleh bisikan-bisikan aneh yang mulai dia dengar sejak meminum teh tadi.
...sudah waktunya...
...pewaris telah tiba...
...darah naga mengalir...
Dia bangkit perlahan, berusaha tidak membangunkan Xiao Mei. Kakinya membawanya ke mulut gua, di mana pemandangan lembah yang disinari cahaya bulan separuh menyambutnya.
"Tidak bisa tidur, anak muda?"
Liu Wei nyaris melompat kaget. Pertapa Daun Merah duduk di sebuah batu tidak jauh darinya, mata merahnya berkilau dalam kegelapan.
"Maaf, Yang Mulia, saya tidak bermaksud mengganggu," Liu Wei membungkuk hormat.
Pertapa tertawa kecil. "Sudah lama tidak ada yang memanggilku dengan gelar itu." Dia menepuk batu di sampingnya. "Duduklah. Kau pasti punya banyak pertanyaan."
Liu Wei menurut, meski instingnya masih menyuruhnya untuk waspada. "Bisikan-bisikan itu..."
"Ah, kau sudah bisa mendengarnya?" Pertapa mengangguk puas. "Teh tadi - kami menyebutnya Teh Resonansi Naga. Membuka indra spiritual yang biasanya tertutup bagi manusia biasa."
"Apakah... apakah Xiao Mei juga-"
"Tidak," Pertapa memotong. "Gadis bulan itu... darahnya berbeda. Tapi kau, Liu Wei..." Dia menatap pemuda itu lekat-lekat. "Ada sesuatu dalam darahmu yang beresonansi dengan lembah ini."
Liu Wei merasakan jantungnya berdebar kencang. "Apa maksud Anda?"
Alih-alih menjawab, Pertapa mengeluarkan sebuah cermin kecil dari lengan jubahnya. "Lihatlah dirimu."
Dengan ragu, Liu Wei menerima cermin itu. Saat dia melihat refleksinya dalam cahaya bulan, dia nyaris menjatuhkan cermin itu karena terkejut.
Mata hitamnya kini memiliki kilatan merah samar - tidak sejelas mata Pertapa atau si kembar, tapi tetap tidak bisa diabaikan.
"Ini... bagaimana mungkin?"
"Liu Wei," Pertapa berkata pelan, "apa yang kau ketahui tentang klanmu? Tentang Liu yang sebenarnya?"
Liu Wei menggeleng. "Tidak banyak. Semua arsip klan hancur saat pembantaian itu. Yang kutahu hanya dari cerita Paman Chen..."
"Chen..." Pertapa mendengus. "Dia selalu terlalu protektif. Tapi kurasa... dia punya alasannya sendiri."
Mendadak, angin bertiup kencang dari arah kawah utara. Liu Wei bisa merasakan energi yang aneh mengalir bersamanya - energi yang entah kenapa terasa... familiar.
"Kau merasakannya, bukan?" Pertapa bertanya. "Panggilan itu?"
Liu Wei mengangguk tanpa sadar. Ada sesuatu di kawah utara yang memanggilnya, seperti lagu yang sudah lama terlupakan.
"Lima ratus tahun lalu," Pertapa memulai, "saat Feng Zhi Yuan mencoba mencuri artifakku, dia tidak sendirian. Bersamanya ada seorang pemuda dari klan Liu - Liu Tian, yang kalau tidak salah adalah kakek buyutmu."
Liu Wei menahan napas. Ini pertama kalinya dia mendengar nama itu.
"Mereka gagal, tentu saja. Tapi dalam pertarungan yang terjadi, darah Liu Tian tercampur dengan energi naga yang mengalir di tanah lembah ini." Pertapa menghela napas. "Dan sejak saat itu, setiap generasi klan Liu memiliki... kemampuan khusus untuk berinteraksi dengan energi naga."
"Tapi... kenapa tidak ada yang memberitahuku?"
"Karena setelah insiden itu, Kaisar Langit mulai memburu keturunan Liu Tian. Dia takut... kekuatan yang mengalir dalam darah kalian."
Liu Wei merasakan kepalanya berputar. Terlalu banyak informasi, terlalu banyak rahasia.
"Dan sekarang..." Pertapa bangkit, jubahnya berkibar tertiup angin malam. "Kau di sini, sang pewaris terakhir klan Liu, tepat saat bulan purnama mendekat."
"Apa... apa yang akan terjadi saat bulan purnama?"
Pertapa tersenyum misterius. "Kau akan melihat sendiri. Tapi sebelum itu..." Dia mengeluarkan sebuah gulungan lain - lebih tua dan lebih usang dari gulungan Guru Feng. "Ada yang harus kau pelajari."
Saat Liu Wei menerima gulungan itu, dia bisa merasakan energi kuno yang berdenyut di dalamnya.
"Teknik Resonansi Naga," Pertapa menjelaskan. "Feng menggunakan ini sebagai dasar untuk menciptakan Seni Penyucian Jiwa. Tapi bagimu... ini akan menjadi lebih dari sekadar teknik penyembuhan."
Liu Wei membuka gulungan itu perlahan. Huruf-huruf kuno di dalamnya seolah bergerak, membentuk gambar naga yang menari di udara.
"Pelajari itu sebelum bulan purnama," Pertapa berkata tegas. "Karena saat waktunya tiba... kau harus siap menghadapi takdirmu."
Saat Liu Wei kembali ke dipannya, Xiao Mei membuka mata.
"Aku mendengar semuanya," dia berbisik. "Liu Wei... apa kau yakin tentang ini?"
Liu Wei menatap gulungan di tangannya, lalu ke arah kawah utara yang masih memanggil-manggil.
"Tidak," dia menjawab jujur. "Tapi sepertinya... kita tidak punya pilihan lain."
Karena dalam dunia kultivasi, takdir tidak bertanya apakah kau siap.
Dia hanya datang, membawa bersamanya badai yang akan mengubah segalanya.