"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 12
Sore itu, langit mulai berwarna jingga keemasan ketika Camilla berhenti di depan kamar kamar tamu di paviliun miliknya, Istana kecil yang megah itu berdiri angkuh dengan tiang-tiang marmer putih dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya matahari terakhir. Burung-burung mulai kembali ke sarang, namun suasana di dalam istana terasa jauh dari damai.
Mary, yang berjalan bersama dengan Camilla sepanjang perjalanan, sejak tadi tak bisa menutupi kegugupannya. Jari-jarinya meremas-remas ujung gaunnya, dan matanya menghindari tatapan Camilla.
Camilla, sebaliknya, masih memikirkan kata-kata Arthur di aula pertemuan pagi tadi, bagaimana pria itu menyindirnya dan menolaknya secara halus.
Itu bukan sekadar lelucon, ia bisa merasakan bahwa Arthur benar-benar ingin menguji dirinya. Baginya, itu sudah merupakan sebuah langkah maju, tanda kecil bahwa ia tidak dianggap sekadar beban.
“Yang Mulia.. Duchess sudah menunggu di dalam.”
Camilla memutar bola matanya seolah enggan, lalu mengibaskan rambut panjangnya. “Tentu saja, dia menunggu. Bukankah selalu begitu?” gumamnya sinis.
Begitu memasuki ruang tersebut, Camilla langsung disambut tatapan menusuk dari sang ibu, Lady Helena.
Wanita itu berdiri di depan jendela besar, gaun hitam berhiaskan renda perak menambah kesan dingin dan berwibawa. Rambutnya yang disanggul tinggi membuat garis wajahnya semakin tegas.
Mary langsung menunduk, lututnya gemetar. Ia bahkan nyaris tersandung saat hendak mundur ke belakang. Camilla, sebaliknya, hanya mengangkat dagu, melangkah masuk dengan anggun, dan berhenti tepat di tengah ruangan.
“Camilla.” Suara ibunya rendah, namun penuh tekanan. “Apakah ini yang kau sebut dengan ‘berusaha keras’?”
Camilla tidak menjawab seketika. Ia tahu Mary pasti sudah lebih dulu melapor karna itulah tugasnya. Gadis itu terlalu jujur untuk berbohong meski dia memang baik pada Camilla.
Duchess berbalik, matanya tajam seperti pedang. “Mary mengatakan padaku, kau gagal meluluhkan hati Putra Mahkota bahkan ketika hanya berdua di taman istana. Kau hanya duduk, berdiam, dan tidak melakukan apa-apa. Kau bahkan membuat kesempatan itu sia-sia!”
Mary menggigit bibir bawahnya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin membela, namun suara Duchess besar terlalu menusuk.
Camilla menarik napas, lalu menoleh pada ibunya dengan senyum tipis. “Mary benar, Ibu. Aku tidak berhasil… meluluhkan Putra Mahkota.”
“Tidak berhasil?” Suara ibunya meninggi. “Kau sadar apa artinya? Kau diberi kesempatan emas, namun kau hanya diam? Apalagi ku dengar tadi pagi Putra Mahkota meledekmu di depan banyak orang!"
Mary mundur selangkah, takut ikut terseret amarah itu. Camilla, meski jantungnya berdetak kencang, tetap berdiri tegak. Ia menatap ibunya tanpa gentar.
“Aku memang tidak berhasil meluluhkan hatinya.. tapi aku mendapat sesuatu yang jauh lebih penting, Ibu.”
Alis Duchess mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Putra Mahkota sendiri menawarkan untuk mengajariku menggunakan pedang,” jawab Camilla tenang.
Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Mary menoleh dengan mata terbelalak, sementara wanita itu memandang putrinya dengan tatapan tak percaya.
“Pedang?” suara ibunya rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan kemarahan yang ditahan. “Kau bilang.. pedang?”
Camilla mengangguk. “Ya. Beliau ingin aku datang ke Saint Palace setelah pulih. Katanya, itu sebagai balas budi karena aku sudah membantu menyelamatkan Duchess Vandell. Bukankah itu tanda bahwa beliau mulai menganggapku?”
Camilla berharap ibunya akan mengerti, atau setidaknya menghargai peluang yang tak pernah didapatkan gadis lain. Namun, alih-alih puas, dia justru tertawa sinis.
“Kau benar-benar tidak tahu apa-apa.” Tawa itu pendek, dingin, lalu menghilang, digantikan tatapan penuh api. “Apakah kau pikir menjadi pasangan Putra Mahkota berarti bermain-main dengan pedang? Kau ini wanita, Camilla! Tugasmu bukan mengayunkan senjata, tapi memikat, menundukkan, dan mengikat hatinya. Itu satu-satunya jalan menuju kekuasaan!”
“Ibu.." suara Camilla merendah, namun matanya masih berani. “Aku tidak bisa memaksa Putra Mahkota untuk mencintaiku. Tapi jika dia mempercayaiku, itu sudah cukup. Tawaran ini bukan main-main, ini kepercayaan. Bukankah itu sama berharganya?”
Duchess Helena melangkah cepat mendekat, suaranya meninggi. “Cukup, Camilla! Kepercayaan tidak akan membuatmu jadi Permaisuri! Kau harus membuatnya jatuh cinta, kau harus mengikatnya! Hanya itu cara agar kita, keluarga Barak, tetap bertahan!”
Camilla terdiam. Kata-kata itu menusuk, namun ia tetap tak menunduk. Hatinya justru semakin keras, seakan menolak logika ibunya.
“Ibu selalu bilang aku harus menundukkan Putra Mahkota. Tapi aku melihat sesuatu yang berbeda. Beliau bukan pria yang bisa ditundukkan dengan rayuan. Beliau hanya menghargai ketulusan dan kekuatan. Jika aku berpura-pura manis, beliau pasti sudah muak sejak awal.”
“Cukup!”
Suara itu diiringi oleh tamparan keras yang mendarat di pipi Camilla. Suara berdebat memenuhi ruang, membuat Mary menjerit kecil dan menutup mulutnya.
Camilla terhuyung ke samping, pipinya langsung terasa panas dan perih. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, namun matanya tetap terbuka lebar, menatap ibunya. Air mata nyaris muncul, namun ia menahannya dengan gigih.
Ibunya berdiri gemetar, tangannya masih terangkat. Nafasnya terengah, seakan mengeluarkan amarah yang sudah lama menumpuk. “Kau berani membantahku, Camilla? Kau berani menentang ibu kandungmu sendiri? Semua yang kulakukan ini demi kau, demi keluarga kita! Dan kau membalasnya dengan sikap keras kepala?”
Camilla mengusap pipinya yang memerah, lalu berdiri tegak kembali. Kali ini, nadanya tenang, namun ada keteguhan yang tak biasa. “Aku tidak bermaksud menentang Ibu. Tapi aku tidak akan meminta maaf karena menerima kepercayaan Putra Mahkota. Jika aku harus memilih antara bermain peran sebagai gadis manis atau menunjukkan siapa aku sebenarnya.. aku akan memilih yang terakhir. Karena hanya itu cara beliau akan melihatku.”
Mary menatap majikannya dengan wajah pucat, matanya penuh air mata. Ia tahu, setelah tamparan itu, Duchess akan lebih marah.
***
Begitu sang ibu pulang, kini Mary sibuk memeriksa pipi kiri Camilla yang bengkak.
Meskipun Camilla yang terpukul tetap tenang, tatapan khawatir Mary menyapu wajahnya, tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
Saat kain itu menekan lukanya, Camilla yang hingga saat itu masih bertahan, tersentak dan menggigil.
"Ah!"
“Ah! M-maaf! Rasanya perih, ya?”
Mary tersentak, buru-buru menarik kain itu. Goresan tipis tergores di pipi Camilla yang pucat, itu adalah bekas ujung tajam cincin permata.
Sambil meletakkan kain itu, Mary dengan hati-hati mengoleskan salep ke lukanya, sentuhannya lembut.
"Demi Tuhan... Dari semua tempat yang bisa dipukul, kenapa wajah? Tidak, kalau mereka mau memukulmu, setidaknya mereka bisa melakukannya tanpa meninggalkan bekas... Sekarang ada noda di wajah yang begitu berharga. Ini benar-benar menyiksaku."
Tanpa sadar menggumamkan pikirannya yang kurang ajar, Mary terkejut ketika Camilla terkekeh pelan sambil memejamkan matanya.
"Mary, kamu harus perbaiki kebiasaan ngomong sendiri itu. Suatu hari nanti, itu akan membuatmu mendapat masalah besar."
"Apa yang kaupikirkan? Kau tahu persis seperti apa Yang Mulia."
Sambil sedikit memiringkan wajahnya, Camilla mendongak ke arah Mary.
"Kalau kau kasiha padaku, mengapa kau harus melaporkannya pada ibu?"
Sambil menutup tutup kayu stoples salep, Mary menegakkan punggungnya dan menundukkan kepalanya.
"Saya mohon maaf Yang Mulia, tapi.."
Camilla tidak perlu mendengarkan lanjutannya karna dia tahu bahwa selama ini Mary bekerja demi membayar hutang kedua orangtuanya yang meninggalkannya sendiri.
"Hah. Kau pikir aku bisa membencimu dengan mudah.."
“Tapi saya bersumpah bahwa saya akan selalu berada di pihakmu, jangan khawatir!”
Camilla menghela napas lega sekaligus geli. Mengetahui ia punya sekutu ternyata menenangkan, meskipun dia juga masih dayang tak berdaya yang tak bisa berbohong pada ibunya.
“Terima kasih, meski itu hanya kata-kata penyemangat..”
"Mau kubawakan buah untuk menyegarkan semangatmu? Sekumpulan buah persik segar tiba pagi ini. Buahnya matang sempurna, harum, dan berliur manis. Kelihatannya lezat sekali."
"Kedengarannya enak. Aku ingin memakannya di kebun."
"Tidak masalah! Aku akan segera menyiapkannya!"
Tepat ketika Istana Peridot kembali semarak seperti biasa, sebuah ketukan menggema di ruang tamu. Sesaat kemudian, kepala pelayan Kaisar masuk dengan ekspresi tenangnya.
“Tuan Putri, Yang Mulia telah memanggil Anda ke ruang audiensi.”
“Seperti yang diharapkan… Tidak mungkin ini akan berakhir semudah itu.”
Camilla mengendurkan otot-ototnya sejenak, memejamkan mata erat-erat sebelum membukanya kembali. Kemudian, ia bangkit dari sandaran tangan sofa dan berdiri.
"Aku akan pergi sekarang."
***
Di ruang audiensi, Putra Mahkota Arthur dan Menteri Luar Negeri sudah hadir, terlibat dalam diskusi yang terlalu sensitif untuk pesta teh.
Kekaisaran harus lebih memperluas kekuatan militernya. Meskipun kita telah membasmi monster-monster itu, tidak ada jaminan mereka tidak akan muncul kembali. Keamanan yang berkelanjutan sangatlah penting.
Arthur mengetukkan jarinya ke lokasi tertentu di peta yang tersebar di atas meja, hamparan hutan lebat tepat di luar batas panjang yang ditandai. Lokasi itu adalah Hutan Hitam, tempat ia baru saja menyelesaikan misi penaklukan.
Kita harus memperkuat penghalang yang ada, mendirikan pos jaga, dan mengirimkan pasukan elit ksatria untuk melindungi mereka. Kurasa pasukan sekitar lima puluh ksatria sudah cukup.
"Jadi itu berarti kita perlu merekrut lebih banyak ksatria untuk menutupi kekurangannya. Melatih ksatria membutuhkan usaha yang cukup besar. Bukankah tentara bayaran merupakan alternatif yang lebih layak?"
Membesarkan para ksatria membutuhkan waktu, usaha, dan investasi yang signifikan. Merasakan kekhawatiran Kaisar, Arthur dengan lancar memberikan jawabannya.
Berbeda dengan ksatria, tentara bayaran sulit dikomandoi. Mereka sering membelot, dan karena mereka mengutamakan nyawa mereka sendiri daripada kesetiaan, mereka tidak cocok untuk membentuk pasukan yang stabil.
“Apa pendapat Menteri Luar Negeri?”
"Saya sependapat dengan Yang Mulia. Meskipun diplomasi sudah agak stabil, kita harus tetap waspada terhadap Kerajaan Khazar di selatan. Memperluas ordo ksatria saat ini adalah langkah yang bijaksana. Terlebih lagi, ini menyusul keberhasilan kampanye militer. Reputasi para ksatria di kekaisaran sedang berada di puncaknya. Jika kita merekrut sekarang, kita akan menarik banyak individu berbakat. Ini kesempatan yang sempurna."
"Hmm. Aku mengerti maksudmu."
Dengan kedua belah pihak yang sependapat dalam penalaran mereka, sikap Kaisar perlahan berubah. Ia mengusap bibir, mengetuk meja pelan, dan akhirnya berbicara.
"Arthur, kamu sudah mengurus banyak urusan negara. Bisakah kamu mengawasi para ksatria juga?"
Semua ini demi kebaikan kekaisaran. Bagaimana mungkin aku menghindar dari tugasku? Jika Yang Mulia mempercayakan tanggung jawab ini kepadaku, aku akan memimpin mereka tanpa ragu.
"Baiklah. Aku akan memberimu wewenang penuh atas masalah ini. Kabari aku terus perkembangannya."
“Aku akan mematuhi perintahmu.”
Meskipun dia baru saja diberi wewenang penuh atas ordo ksatria beserta tanggung jawab negara yang besar, Arthur tidak menunjukkan tanda-tanda kegembiraan, dia hanya membungkuk sebagai tanda terima.
'Jadi, putra mahkota akhirnya akan ikut campur dalam urusan dalam negeri, ya?'
Menteri luar negeri mendecak lidahnya dalam hati mendengar hal ini.
Sang kaisar tidak mengabaikan fakta ini, dan tampak jelas bahwa ia mencoba mendukung satu-satunya pewaris kekaisaran untuk memperkuat kedudukannya.
Saat itu, sang menteri luar negeri bertanya-tanya garis politik mana yang harus ia ikuti. Bukankah tepat untuk bersumpah setia kepada Arthur, yang kelak akan menjadi kaisar Kekaisaran Verka?
“Yang Mulia, bagaimana rencana Anda untuk menangani insiden yang terjadi di pesta teh tadi?”