Anaya White memaksa seorang pria asing untuk tidur dengannya hanya untuk memenangkan sebuah permainan. Sialnya, malam itu Anaya malah jatuh cinta kepada si pria asing.
Anaya pun mencari keberadaan pria itu hingga akhirnya suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah pesta. Namun, siapa sangka, pria itu justru memberikan kejutan kepada Anaya. Kejutan apa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irish_kookie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta
Beberapa hari setelah kejadian one night stand Anaya dengan pria asing itu, Anaya kembali disibukkan dengan rutinitasnya.
Dia bekerja sebagai karyawan magang di perusahaan ayahnya di pagi hingga sore hari. Setelah bekerja, dia akan bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya.
Seperti sore hari itu, Anaya berkumpul bersama Jane dan Airin di sebuah kafe kopi di tengah kota.
"Mana pacarmu?" tanya Anaya kepada Airin.
Airin mengusap bibirnya setelah dia menyesal capucinonya. "Meeting sampai malam. Makanya, kalian temani aku sampai Tim selesai meeting, ya. Please, hehehe."
"Cih! Kemarin-kemarin kau lupa pada kami, sekarang kau memohon-mohon seperti anak kucing!" tukas Jane sambil memberengut. "Lalu, bagaimana denganmu, Nay? Kau sudah tau siapa Si Om Seksi pujaan hatimu itu?"
Kali ini, gantian Anaya yang memberengut. Dia menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Jane itu. "Hhh, dia menghilang seperti kepulan asap."
"Anehnya, bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta saat itu juga? Aku bahkan tidak ingat dia pakai baju apa," jawab Anaya sambil kembali menghela napas.
Jane dan Airin tertawa kecil. "Bagaimana kau bisa ingat apa yang dia pakai. Kalian, kan, saling melucuti pakaian masing-masing, hahaha."
Anaya mendengus kesal. Namun, apa yang dikatakan teman-temannya itu benar, bagaimana dia mengingat pakaian yang dikenakan pria berumur itu.
Yang dia ingat dari malam panas itu adalah sentuhan tangan pria itu, desah napasnya yang memburu, dan tatapan matanya yang membuat Anaya seolah terhipnotis.
"Ah, tapi, aku masih teringat setiap sentuhannya dan ... Aarrgghh! Bisa gila aku hanya karena pria bodoh itu!" Anaya merubuhkan kepalanya ke atas meja sambil menarik napas panjang.
Kedua temannya kembali tertawa melihat Anaya tidak bersemangat hanya karena satu pria asing yang bersamanya kurang dari 6 jam.
Akan tetapi, semesta sepertinya sedang berpihak pada Anaya.
Beberapa hari kemudian, ayah Anaya, Robert White mengadakan pesta besar dan mengundang seluruh relasi bisnisnya di kota itu.
"What? Aku? Tunangan? Sama siapa, Dad?" tanya Anaya terkejut.
Ya, pagi hari itu, Robert memberitahukan kepada Anaya tentang tujuan pesta yang akan digelarnya itu.
"Pilihlah salah satu dari pria-pria itu, Nay. Daddy sudah mengirimkan foto-foto calon suamimu melalui email, kan? Bukalah dan pilih salah satu mana yang kau sukai!" kata Robert dengan suara tenang.
Suara dan gesture Robert yang tenang, justru membuat putri tunggalnya panik. Cepat-cepat dia membuka email dari ayahnya dan menekan file yang bertuliskan "Daftar Calon Suami Anaya White."
Anaya menggulirkan stylus pennya dengan cepat. Tak lama, dia mengeluh keras. "Astaga, Dad! Apa Daddy ada kepikiran untuk menjual putrimu yang cantik ini?"
"Tidak ada satu pria pun yang aku kenal di daftar ini, Dad! Dan wajah mereka, oh my God, apa Daddy mau kalau cucu Daddy nanti berwajah antik? Come on, Dad!" tukas Anaya putus asa.
Namun, Robert tak menghiraukan protes putri tunggalnya itu. Dia hanya tersenyum sambil ikut membuka daftar calon menantunya.
"Hmm, Jack Scout ini putra dari teman Daddy. Wajahnya memang biasa saja, tapi aset dan relasi yang dia miliki sungguh sangat tampan, Nay," kata Robert tanpa berpaling dari tabletnya.
Kemudian, dia kembali menyebutkan satu nama pria yang asing untuk Anaya. "Lalu, ada Morgan Duffman, menurut Daddy dia oke. Parasnya manis, kelihatan cerdas, asetnya juga luar biasa."
"Dari mana manisnya, Dad? Dia seorang pria kutu buku dengan kacamata tebal dan dasi kupu-kupu. Lihat! Dasi kupu-kupu di zaman sekarang! Oh, Tuhan!" Anaya kembali mengeluarkan protesnya.
Robert mematikan tabletnya, lalu menyuap satu potongan kecil roti panggang ke dalam mulutnya. "The point is, you have deadline, Nay! Lusa kau harus memilih satu dari pria-pria ini untuk menjadi calon suamimu."
"Daddy rekomendasikan Jack Scout. Dia tampan menurut Daddy. Nah, ayo kita bekerja!" Robert menarik lengan putrinya dan memaksanya untuk berdiri dengan cepat.
Seusai bekerja, Anaya kembali memanggil teman-temannya untuk berkumpul di klub malam langganan mereka.
"Nah, menurut kalian mana yang tampan?" tanya Anaya.
Baik Jane maupun Airin belum memberikan jawaban.
Setelah beberapa menit mereka melihat daftar pria calon suami Anaya, Jane pun bertanya, "Apa kau hanya melihat wajah mereka?"
Anaya mengangguk mantap. "Tentu saja! Aku sanggup menafkahi mereka hingga tua renta nanti. That's why, aku butuh yang berwajah tampan."
"Menurutku Jack oke, Nay." Jane mengetuk sebuah foto pria berwajah tampan dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
Anaya menghela napas tak percaya. Lalu, dengan kasar dia menarik tabletnya dan memerhatikan Jack dengan saksama.
"Di mana, sih, letak tampan dan oke-nya?" tanya Anaya sambil memutar-mutar tabletnya. "Aarrgghh, sudahlah! Andaikan aku bisa menemukan pria satu malamku, akan aku bawa dia ke pestaku nanti."
Kedua temannya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mereka bersamaan.
Tanpa terasa, pesta yang dinanti-nanti pun tiba. Robert White yang menjadi tuan rumah hari itu terlihat sibuk menyapa tamu-tamunya.
Pengusaha itu asik berbincang singkat sambil sesekali menawarkan minuman atau makanan untuk siapapun yang hadir di pestanya tersebut.
"Ah, itu Tuan Scout. Nay, ayo sapa calon mertuamu!" Robert menggandeng tangan putri tunggalnya dengan cepat dan menghampiri Tuan serta Nyonya Scout yang sudah tersenyum melihat kedatangan sang empunya acara.
Anaya pun tak berkutik. Dia hanya pasrah dan dengan senyum terpaksa, dia berjabat tangan dengan Tuan dan Nyonya Scout serta putra mereka, Jack Scout.
"Nay, ajak Jack berkeliling. Daddy mau membicarakan sesuatu dengan Tuan Scout," bisik Robert dengan nada memaksa.
Dengan berat hati, Anaya pun mengajak Jack. Namun, sebelum dia beranjak, dia membalas bisikan ayahnya, "Please, jangan bicarakan tentang pertunangan bodoh ini, Dad!"
Robert hanya tertawa dan menepuk pundak putrinya itu. "Hahaha! Kau benar-benar putri Daddy, Nay. Kau sanggup membaca apa yang Daddy pikirkan."
"Dih!" Anaya pun bersiap melangkahkan kakinya, Robert kembali menahan kepergiannya. "Nay, tunggu dulu!"
"Grebel!" Suara Robert yang lantang menggema di seluruh ruangan, bahkan mengalahkan suara alunan musik.
Anaya pun menoleh, begitu pula dengan sang pemilik nama yang segera berlari menghampiri Robert.
"Ya, Tuan," sapa pria itu dengan hormat.
Di saat yang bersamaan, jantung Anaya berdetak kencang. Mulutnya terbuka lebar tatkala melihat pria yang kini ada di hadapan ayahnya itu.
"Josh, temani putriku dan calon tunangannya untuk berkeliling. Tapi, jangan kau ganggu mereka, ya. Hahaha," kata Robert berkelakar.
Josh mengangguk patuh. "Baik, Tuan. Yang mana putrimu?"
Robert merangkul pundak Anaya dan menepuknya pelan. "Ini putriku, Anaya White." Robert juga merangkul Jack dan menyandingkannya di samping Anaya. "Ini tunangannya, Jack Scout. Kau pasti kenal, kan, dengan Tuan Scout? Hehehe."
Pria itu mengangguk lagi, dia tersenyum penuh makna kepada Anaya. "Mari, Nona White.
Namun, Anaya tak bergeming. Dia terus menatap Josh dengan mata membulat dan napas tercekat di tenggorokan.
Waktu seolah berhenti sesaat. Suara musik, tawa para tamu, bahkan langkah kaki di lantai dansa mendadak lenyap dari telinganya.
Yang terdengar hanyalah detak jantungnya sendiri yang semakin keras, berdebar dan nyaris menyakitkan.
Josh adalah pria satu malamnya. Pria yang selama ini dicari-cari oleh Anaya dan kini ada di depan matanya.
“Nona White,” ucap Josh pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum samar yang mematikan. “Anda masih di sini?"
Darah Anaya berhenti mengalir seketika.
Matanya membulat, bibirnya terbuka, namun tak ada satu kata pun yang keluar.
Josh mendekat selangkah, cukup dekat hingga aroma maskulin yang dulu membuatnya mabuk menyeruak di antara jarak mereka.
Dia menunduk sedikit, berbisik di telinganya dengan suara rendah yang hanya bisa didengar olehnya. “Senang bisa bertemu kau kembali, Gadis Kecil."
***