Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan Sudah Habis
Enzi menjemput Amel tepat di depan studio pemotretan di kawasan elit Jakarta Selatan. Amel keluar, dikelilingi asistennya, mengenakan dress malam yang elegan, kontras dengan latar belakang lampu studio yang dingin. Dia adalah perwujudan dari dunia gemerlap yang pernah Enzi cintai dan tinggalkan.
"Maaf membuatmu menunggu, Zi," sapa Amel dengan senyum memikat, sentuhan tangannya di lengan Enzi terasa hangat. "Aku harus memastikan setiap foto sempurna."
"Bukan masalah," jawab Enzi, menyembunyikan badai di dalam dirinya.
Mereka menuju ke sebuah restoran terkenal dengan makanan lezatnya. Setelah memesan beberapa makanan, Enzi memutuskan untuk tidak membuang waktu. Dia harus menanyakan hal yang mengganjal pikirannya sekarang, sebelum ego dan pesona Amel menguasainya.
"Aku akan jujur padamu, Mel," ujar Enzi, menatap lurus ke mata hazel Amel. "Aku setuju makan malam ini karena ada sesuatu yang harus kutanyakan. Semalam, aku tidak sakit perut, tapi aku sudah diberi obat di klub. Aku tahu kau bersamaku. Aku ingin tahu... apakah kau yang melakukannya?"
Ruangan yang elegan itu tiba-tiba terasa tegang. Amel tidak berteriak atau marah. Ekspresinya langsung berubah menjadi sedih, matanya berkaca-kaca.
"Kau menuduhku?" bisik Amel, suaranya bergetar. Dia meletakkan pisau dan garpunya, tangannya menyentuh dadanya. "Setelah semua yang kita lalui, kau pikir aku akan menyakitimu, Zi? Dulu, kau akan membelaku di hadapan siapa pun. Kau akan menuruti semua keinginanku, bahkan jika itu gila. Sekarang, kau curiga padaku karena seorang wanita yang baru kau nikahi?"
Amel menekankan kata baru dan menuduhku dengan penuh perhitungan. Dia memainkan peran korban yang sempurna, membandingkan masa lalu Enzi yang setia dengan dirinya yang sekarang, yang mudah curiga.
Taktik itu berhasil. Enzi merasa menjadi seorang suami yang kejam dan teman yang jahat. Rasa bersalahnya terhadap Ana, yang ia coba lampiaskan pada Amel, kini berbalik menjadi rasa bersalah karena telah menuduh Amel.
"Maaf, Mel. Aku hanya... ini kacau. Aku tidak tahu harus percaya pada siapa," ujar Enzi, mengalihkan pandangannya. "Kau benar. Aku sudah berubah. Pernikahanku kacau. Semuanya berantakan."
Amel tersenyum tipis di balik ekspresi sedihnya. Celah itu terbuka.
"Aku mengerti," bisik Amel, mengulurkan tangannya dan menutupi tangan Enzi di atas meja. Sentuhannya lembut, menenangkan. "Kau bisa cerita padaku, Zi. Aku adalah orang yang paling lama mengenalmu. Aku tidak akan menghakimimu."
Enzi menghela napas. Kebutuhan untuk melampiaskan kekacauan batinnya mengalahkan akal sehatnya. Ia menceritakan semuanya, mulai dari ketegangan dengan Ana, pertengkaran hebat mereka pagi ini, hingga alasan utama pernikahan itu, kematian orang tuanya tepat di hari pernikahan mereka.
"Aku menikahinya karena cinta. Karena aku sangat mencintainya. Tapi tepat di hari itu, semua kebahagiaanku lenyap karena kecelakaan yang menimpa kedua orang tuaku dan merenggut nyawa mereka. Kau tahu betapa hancurnya aku, Mel? Aku mencintainya, tapi di saat yang sama, aku membencinya karena pernikahan kami kedua orangtuaku memaksa datang untuk menyaksikan pernikahan itu, namun kecelakaan itu merenggut nyawa mereka. "
Amel mendengarkan dengan saksama. Kata-kata Enzi adalah musik di telinganya. Dia tahu ini adalah titik terlemah Enzi, titik yang selalu dia gunakan untuk memanipulasi pria itu di masa lalu.
"Zi," kata Amel perlahan, nadanya dalam dan berwibawa. "Aku mengerti penderitaanmu. Itu bukan salah Ana secara langsung, tapi itu adalah tanda. Sebuah peringatan dari Semesta."
Amel menarik tangannya, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, memberikan kesan jarak namun tetap memancarkan perhatian. "Pernikahan seharusnya membawa berkah. Tapi lihat apa yang dia bawa kepadamu. Tragedi. Dan bukan hanya itu. Sekarang dia di rumah, bersikap dingin, tidak mendukungmu. Kau sedang menghadapi proyek besar, tapi dia malah mengurung diri dan membuatmu semakin frustrasi. Dia membuatmu merasa bersalah bahkan saat kamu membutuhkan kehangatan."
Amel mencondongkan tubuhnya lagi. "Wanita yang kuat dan mencintaimu, akan berdiri di sampingmu, menghapus air matamu, bukan menambah bebanmu. Dia seharusnya menjadi kekuatanmu, bukan bebanmu."
Setiap kata-kata Amel adalah racun yang disuntikkan ke dalam luka lama Enzi. Perasaan bersalah yang sempat ia rasakan kepada Ana karena memaksanya semalam kini mulai terkikis, digantikan oleh rasa benci dan pahit yang sudah lama ia pelihara. Ya, pikir Enzi. Dia memang pembawa sial. Aku tidak pantas mendapatkan ini.
"Dia bahkan tidak mau berbagi ranjang denganku malam ini, walau kami sudah melakukannya. " gumam Enzi, nadanya penuh kepahitan. "Dia meninggalkanku sendirian."
Amel tersenyum kecil, kemenangan sudah di depan mata. "Dia tidak menghargaimu. Pria sepertimu, Tuan Radeva, pantas mendapatkan yang lebih baik. Seseorang yang tahu nilaimu. Seseorang yang tidak hanya menjadi... pembawa sial dalam hidupmu."
Mendengar dirinya didukung, dikuatkan, dan dibenarkan, Enzi merasa lega. Amel memberinya alasan untuk melampiaskan kekecewaannya. Kebencian pada Ana kembali menguasai hatinya.
Enzi meneguk air minumnya. Dia menatap Amel, dan senyum dingin muncul di bibirnya. Dia membuat keputusan. Keputusan yang akan menghancurkan janji yang dia buat pagi tadi.
"Ayo, Mel," kata Enzi, bangkit dari kursinya. "Kita pulang."
Amel sedikit terkejut, namun dengan cepat menyembunyikan kegembiraannya. "Pulang? Ke mana? Hotelku?"
"Tidak," jawab Enzi, tatapannya kini gelap dan penuh maksud jahat. "Ke rumahku. Aku sudah terlalu lama diabaikan. Ana harus tahu, bahwa jika dia menolak untuk menjalankan kewajibannya sebagai istri, akan ada orang lain yang lebih dari bersedia."
Amel berdiri, mengaitkan lengannya ke lengan Enzi, menatapnya dengan pandangan penuh gairah. "Aku akan selalu bersedia menemanimu, Zi. Mari."
Enzi meninggalkan restoran itu, berjalan keluar dengan angkuh. Dia tidak lagi memikirkan Amel yang mungkin meracuninya. Dia tidak lagi memikirkan trauma yang dia sebabkan pada Ana. Dia hanya berpikir tentang balas dendam, dan dia akan menggunakan cinta pertamanya untuk menghancurkan kebanggaan istrinya.
Di dalam mobil, Enzi menghubungi driver-nya. "Kau jemput mobilku di restoran. Aku ada urusan dan tidak akan menyetir malam ini."
Enzi mengemudi sendiri, Amel di sampingnya. Amel menyandarkan kepalanya di bahu Enzi.
"Kau membuat keputusan yang tepat, Zi," bisik Amel, suaranya manja. "Lupakan istrimu. Aku akan membuatmu merasa kembali menjadi dirimu sendiri."
Enzi tidak menjawab. Fokusnya hanya pada pintu rumahnya, tempat di mana Ana berada, sendirian dan terluka. Dia ingin Ana melihatnya. Dia ingin Ana merasakan sakit yang sama seperti yang dia rasakan saat Ana bersikap dingin padanya. Dia ingin menghukum Ana, sekali lagi, melanggar semua janji yang baru beberapa jam dia ikrarkan.
Dia telah memilih, dan pilihannya adalah perang.
Sementara itu, di lantai dua rumah Radeva, Ana baru saja menyelesaikan desainnya. Dia duduk, memijat pelipisnya, kelelahan, dan merasa kosong. Dia mengirimkan file itu kepada Pak Raka, lalu melirik ponselnya. Tidak ada telepon atau pesan dari Enzi.
"Dia tidak akan membuat kesalahan lagi, kan? " gumam Ana, mencoba meyakinkan diri sendiri, merangkul selimut.
Tiba-tiba, suara deru mobil yang familier terdengar. Bukan mobil Enzi. Suara sport car mewah yang familiar. Ana berdiri. Beberapa menit kemudian, dia mendengar pintu depan terbuka. Bukan hanya satu pasang kaki.
Ana berjalan ke pintu ruang kerjanya yang tersembunyi, perlahan membukanya sedikit. Dari celah itu, ia melihat Enzi. Dan di samping Enzi, dengan rambut panjang yang tergerai dan dress yang memukau, berdiri Amel.
"Zi, ini sungguh kejutan," suara Amel terdengar di ruang tamu. "aku bisa datang kesini lagi. "
"Aku senang kau suka kejutanku, Mel," jawab Enzi, nadanya jelas dan keras, seolah ingin didengar. "Malam ini, kau akan menjadi tamuku. Aku akan menunjukkanmu semua yang ada di sini."
Ana mundur, menutup pintu ruang kerja itu perlahan, nyaris tanpa suara. Tubuhnya membeku. Bukan, dia tidak salah lihat. Enzi baru saja membuat kesalahan. Bukan hanya membawa Amel pulang, tetapi dengan sengaja menyambutnya dengan keras.
Air mata Ana tidak jatuh. Dia hanya merasakan kehampaan yang luar biasa. Selesai.
"Satu kesalahan lagi sudah kamu lakukan, kesempatan sudah habis. " gumam Ana.
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau