NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Seperti para pengunjung lain yang menyantap semangkok bakso seperti pada spanduk besar di depan tadi, kami mencoba menghabiskan apa yang sudah dimulai.

Tambah seporsi minum lagi, menambah racikan baru, menyantap habis, dan tersisa kuah saja.

Sore itu menjadi kebahagian bagi penjual warung bakso dikarenakan para pelanggan selalu datang, dan tidak bisa berhenti berulah. Datang, dan pergi setiap hari. Seperti yang duduk di dalam, mereka berdiri, membayar, dan hilang.

"Kau sudah kenyang?" Gita menempelkan punggung, bersadar sejenak.

"Sudah, sudah cukup hari ini."

Anggukan Salma yang pelan sepertinya telah menjadi jawaban bahwa perut anak itu telah penuh, sesak. Sudah dipastikan ketika mangkok kedua selesai dihabiskan oleh Salma, dia tidak akan bisa memesan menu baru.

"Baiklah, kita berhenti sebentar. Mobil kau belum ada di dekat gerbang."

"Bagaimana kamu bisa tahu, Git? Aku belum memberitahumu tentang keadaan jemputanku."

"Untuk apa aku harus bertanya tentang itu? Dari tempat ini saja, mudah untuk melihat kendaraan yang masuk ke gang sekolah. Sekarang lihat saja, anak-anak disana sibuk berdiri. Lihat lah."

Salma mengalihkan pandangan, sedikit memutar badan. Mata menyipit, kepala dimajukan sebentar, kedua tangan sengaja membuat gerakan teropong.

"Benar juga. Mobil hitam itu belum sampai."

"Benar, kan? Tunggu saja disini. Duduk dulu. Daripada kau capek-capek berdiri lelah tidak ada kursi dengan perut kosong. Sekarang sudah nyaman, kan?"

Salma mengangguk lagi. Sangat setuju dengan ucapan temannya lagi.

Para pengunjung semakin memenuhi meja-meja yang disediakan. Semakin gaduh, ramai, sampai bicara kami hampir terlelap hilang hanya karena suara bising dari orang-orang asing.

"Kembali saja ya, Git. Mereka yang ingin makan sudah pasti ingin mencari tempat duduk di dalam. Kita juga sudah selesai sekarang," usul Salma setelah memperhatikan kerumunan orang-orang di dekat gerobak bakso.

Sesuai dalam ucapan Salma, semakin ramai pengunjung menjadikan Gita akhirnya paham. Maka mereka berdiri bersama, berjalan menuju laki-laki muda bertopi untuk segera menyerahkan uang yang diperlukan.

Kami berhasil. Selesai mengisi bahan bakar tubuh, kami melanjutkan berjalan santai menikmati jalanan sore. Syahdu, udara para penikmat oksigen dihirup bebas, jejeran gerobak penjual berusaha giat agar dagangan mereka habis, para pekerja yang selesai menghabiskan waktu hingga jalanan padat sesak merayap, anak-anak sekolah yang berbahagia karena selesai menamatkan kegiatan mereka dalam sehari, dan ditutup dengan hari libur tanggal merah nasional menjadikan lebih sumringah bahagia.

Semua orang memiliki ceritanya masing-masing.

Berjalan lagi, kami berdua menyeberangi bersama. Diikuti orang-orang baru, mereka mengikuti langkah yang sudah ada. Setelahnya menghilang, sibuk sendiri.

Melewati belokan kecil, gang sekolah dapat kami temukan. Bahagia karena tidak hanya kami saja yang berakhir sedih yang belum berhasil menemukan para penjemput, setidaknya ada yang menemani sisi-sisi trotoar jalanan berbatu agar semakin meriah.

Satu jam dihabiskan untuk berdiri bersama.

Suara klakson mobil dibunyikan setelah belokan kecil dilewati cepat. Hitam seluruh badan bagian luar. Sedikit goncangan dari batu-batuan kecil tidak membuat gerakan mobil menjadi berhenti.

Mobil itu berhenti pada sisi trotoar jalan.  Klakson ditekan lagi, panjang.

"Oh, itu dia, mobilnya." Salma menunjuk bahagia.

Suara ciri khas pemanggil penumpang ditekan lagi.

"Baguslah, cepat masuk. Kau sudah ditunggu itu. Lama-lama kau bisa ditinggal dari mobil itu."

"Tapi bagaimana dengan angkotmu? Angkot itu bahkan belum muncul, Git. Kapan angkotmu sampai?" Salma menoleh cemas, menatap Gita.

"Nanti ada pokoknya. Kau jangan pikirkan. Aku punya cara sendiri. Pulang saja. Kau cepatlah pulang."

"Benarkah?"

"Iya. Ada caranya. Sudah, sana masuk."

"Baiklah, sampai jumpa lagi, Git."

Gita tersenyum, melambaikan tangan selama mobil itu kembali bergerak maju.

Meninggalkan Gita sendirian yang berdiri, dia kembali memperhatikan keadaan disekitarnya.

Menjadi seorang pengawas jalanan sembari menunggu angkot dengan penuh rasa sabar.

...***...

Sore ini, pada jalanan sekolah yang sama, pada diri Gita yang menunggu tabah, dia tetap bersikeras berdiri sendiri.

Para penjemput telah mengambil anak-anak mereka. Pemilik gerobak-gerobak masih meneruskan jualan mereka. Sebagian telah tutup, sebagian tetap buka menunggu setia.

Gerbang sekolah semakin menutup, dan semakin rapat. Lampu-lampu jalanan telah dinyalakan. Kuning warnanya.

Gita beralih tempat pada sebuah dudukan sederhana yang dibuat dari bebatuan-bebatuan besar. Diukir semacam kursi lebar, dengan sengaja. Bagi siapa saja yang ingin mengisi, itu mungkin menjadi keberuntungan ketika tidak ada kursi untuk melemaskan tubuh dari penderitaan lelah berdiri.

Tanaman merambat menjadi hiasan, sekaligus menjadi petaka jika kau tidak sadar terdapat serangga yang diam-diam bisa saja masuk kedalam saku seragammu saat kau duduk. Lengah tidak memperhatikan.

Duduk sendiri menjadikan Gita tetap berwaspada kepada apa saja di matanya. Seperti yang pernah diajarkan dari Ayah mengenai ilmu beladiri:

Kalau nanti sudah dewasa, gunakan ilmu ini dengan benar. Jangan pernah menyakiti yang lemah. Lawan yang menurutmu salah. Beri pelajaran bagi mereka yang salah menaati peraturan.

Ucapan itu selalu membekas hingga perempuan yang pernah mengikuti pembelajaran bela diri itu telah beranjak remaja. Kami memang selalu diberikan arahan sedari kecil dari orang tua kami. Seperti guru kehidupan penuh arti, dan para pembimbing sebelum guru-guru sekolah datang menyertai kami. Nenek, dan Ibu turut menjadi panutan kami agar menjadi pribadi yang lembut. Tetapi Ayah, membentuk kami menjadi seorang manusia yang dapat mengandalkan diri sendiri.

Ayah, Ibu, Nenek... Terima kasih banyak. Akan Gita lakukan dengan benar.

Embusan napas lelah dikeluarkan panjang. Menunggu sabar menjadi ujian bagi diri Gita sejak lama. Menendang kerikil adalah kegiatan membosankan selagi menunggu angkutan umum itu sampai.

Tetapi mungkin saja angkot tidak ada, tetapi rasa kesal masih ada.

Lihat, anak perempuan berbaju sekolah baru saja mengeluarkan diri melalui gerbang sekolah yang semakin menutup rapat.

Gerakan jalan semakin cepat, menuju kepada perempuan yang duduk di atas batu.

"Wah, wah, wah, lihat siapa yang belum dijemput ini." Bendahara kelas berdiri menghadap Gita.

"Apa mau kau sekarang? Tidak kapok lagi kau ingin berkelahi lagi. Itu yang kau inginkan?" Gita berdiri cepat.

"Tidak lagi tipeku. Jangan membuat tenagaku menjadi turun lagi. Sekarang sedang tidak ada tenaga untuk melawanmu." Wulan menepis badan Gita, duduk pada batu.

Gita menghembuskan napas panjang. Mengikuti seperti Wulan, sekarang mereka berdua duduk bersama. Kejadian perkelahian itu seolah telah hilang... Seolah tidak pernah terjadi peristiwa itu. Kegaduhan kelas, Bian yang melerai kami, seperti hilang ditelan waktu.

"Awas saja anak itu!" Wulan menendang pasir. "Sebal! Rasanya akan kulaporkan tadi. Kenapa tidak dilakukan? Sebal!" Wulan menarik rambut yang digenggam lama.

Kencang sudah gaya tarikan itu.

"Hei, Wul! Hentikan kau itu." Dengan gesit bergeser, Gita berusaha melepaskan tarikan tangan Wulan.

Tarikan demi tarikan dilepaskan segera. Kedua tangan Wulan sengaja digerakkan ke bawah oleh Gita agar sang bendahara kelas menjadi tenang.

Mereka menjadi diam. Belum berbicara lagi usai tragedi Wulan yang menyakiti dirinya sendiri.

Semakin gelap sore itu, menjadikan kedua teman berbeda nama tetap sibuk berdua bersama. Menunggu kepastian penjemputan kepulangan mereka.

"Kau naik angkot?" Wulan bertanya ketika Gita melihat hal-hal lain yang menarik dibandingkan mengamati tingkah Wulan, di sampingnya.

"Ya? Apa?" Gita mengarahkan kepalanya usai mendengar pertanyaan Wulan.

"Kau naik angkot?" tanya Wulan lagi.

"Iya. Sejak tadi." Gita menjawab datar.

Gita selesai bersuara.

"Sampai kapan kau menunggu angkot itu? Jam operasional angkot itu udah berhenti."

Gita tertawa pelan, lucu mendengarnya. "Kau aneh, Wul. Bagaimana kau bisa mengatakan angkot-angkot itu berhenti bekerja? Masih sore hari seperti ini. Angkot tetap beroperasi. Nanti malam tuh, baru berhenti."

"Ya sudah. Tidak mau menjelaskan, tidak masalah. Kau akan tau nantinya. Diam, dihabiskan waktu sia-sia hanya diam saja." Wulan menjawab yang dia tahu karena langit diatas kepalanya menjadi gelap. Matahari telah tenggelam sejak lama.

Setelah kejelasan Wulan yang sia-sia, anak itu berdiri merapikan diri.

"Selamat menunggu sabar," ucap Wulan, tersenyum lebar kepada perempuan yang pernah melakukan pemukulan di kelas.

Lantas segera Wulan memutar arah, berjalan meninggalkan perempuan yang duduk sendirian.

Gita diam mengamati. Sudah kesal dia harus duduk berdua dengan Gita. Sekarang apa? Dia meninggalkan Gita dengan sengaja.

Mereka terpisah jarak yang berjauhan.

Tetapi semakin gelap hari itu, semakin dingin udaranya, semakin cemas hati Gita.

"Hei, Wul!" Gita berseru keras.

Wulan menoleh, melihat satu teman di dekat area penunggu sekarang berlari menuju Wulan.

Lelah ditahan, napas terengah dikeluarkan selalu. Gita sampai, berdiri di dekat teman sengitnya.

"Ada apa? Sudah tau kan, dengan ucapan tadi?" Wulan mengangkat kepala, sengaja memberikan gestur ingin menantang teman sekelasnya karena mereka pernah melakukan hal yang membuat geger satu kelas.

"Ya, sudah tau. Sekarang kau mau ke tempat angkot lain? Kau sudah tau dimana angkot-angkot lain? Dimana angkotnya?"

"Berisik juga suaramu. Aku tidak mencari angkot. Aku akan pulang ke rumah."

"Kau tau bagaimana cara mendapatkan angkot di waktu-waktu sekarang?" Alis Gita telah naik bersama, menjadikan suaranya turut bergetar.

"Ingin tau? Diam di batu tadi. Tunggu satu jam lagi. Satu angkot datang, nanti." Wulan memberitahukan informasi kepadanya.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!