Aku tak menyangka setelah membawa istriku ke rumah ibu, aku tak tahu jika banyak tekanan yang Sari hadapi saat itu. Dimana sifat ibu yang tadinya baik berubah derastis, ia memperlihatkan sifat aslinya.
Setiap malam Sari sering menangis, membelakangi tubuhku, mengabaikan aku. Setiap kali aku bertanya, ia tak pernah menjawab selalu terlelap tidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Arip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Pov Riki. ( memblokir nomor.)
Dret ….
Ponsel yang tergeletak di atas meja, kini berbunyi kembali, membuat tangan istriku mulai mengambil ponsel itu.
Namun dengan sigap. Aku langsung mengambil ponsel, tak ingin melihat Sari membaca pesan yang dikirim oleh Riri.
Jika Sari tahu, hatinya pasti akan terluka, iya semakin merasa bersalah yang nantinya akan membuat pikirannya terganggu.
"Mas, kenapa?"
"Mm, aku ke toilet dulu!"
Aku beranjak berdiri, berjalan pergi meninggalkan istriku, perlahan kulihat layar ponsel yang terus berdering.
Dan benar saja dugaanku, Riri mengirim pesan kembali, membuat aku ingin sekali memblokir nomor adikku satu satunya.
Namun itu tak mungkin, sama saja aku sudah berbuat zalim dan juga jahat karena memutuskan tali persaudaraan bersama dengan adikku sendiri.
(Kak Riki, kenapa tak membalas pesan dari Riri. Owh, Riri tahu pasti karena wanita itu.)
Aku menyematkan pesan dari Riri, berusaha menghindari hal yang malah mengganggu pikiranku, dan membuat aku emosi.
Keluar dari kamar mandi, " Sari?"
Aku terkejut dengan Sari yang tiba tiba saja ada dihadapanku, " Mas, kamu kenapa?"
"Kok, kamu tiba tiba ada di depan pintu."
"Aku mau ambil ini, mas. "
Aku melihat Sari mengambil sapu yang tak jauh dari samping kiri badanku.
Hampir saja berburuk sangka, jika Sari tengah menguping perkataanku.
*********
Malam tiba, Sari terlelap tidur. Iya terlihat begitu kelelahan, sedangkan aku masih fokus tuh ponsel.
Dimana Riri mengirim pesan terus menerus.
(Kak Riki, kakak ini tidak kasihan apa pada ibu. Lihat ibu dia tidak ada yang jagain.)
Entah dimana akal pikiran Riri, padahal dia juga anak ibu, tapi selalu bergantung kepadaku ketika mengurus ibu.
(Ya kamu jagain lah, jangan kerjaannya tidur, nonton, jalan sama cowok.)
( Kakak itu anak paling besar, yang bertanggung jawab mengurus ibu itu kak Riki.)
Kami malah bertengkar, membahas hak asuh ibu. (Kakak akan mengurus ibu, jika ibu mau menerima Sari dan tak menyakiti ataupun melukai hati Sari lagi.)
(Hahaha, lucu ya. Kak Riki lebih memilih orang lain daripada ibu sendiri.)
(Orang lain? Hey, dia istriku. Jaga ucapanmu.)
(Memang pada kenyataannya kan kak, Kak Sari itu hanya orang asing yang kakak pungut.)
Padahal tadi aku berbicara pada diriku sendiri, tidak ingin menjawab lagi pesan dari Riri, tapi. Hah bodohnya aku, semua karena Riri dan ibu karena mereka selalu menghina Sari.
Yang membuat aku tak terima dan merasa terhina.
(Aku tidak mengerti dengan akal pikiran kamu Riri, sebagai sesama wanita, kamu tega menghina kakak kamu sendiri.)
(Idih, dia bukan kakakku, sampai kapanpun. Aku tidak akan mengakui dia sebagai kakakku.)
Hilang kesabaranku, dengan terpaksa aku langsung memblokir nomor Riri, agar tidak mengirim pesan lagi padaku.
Menghapus semua chat dari Riri, aku tak ingin jika Sari tahu akan perdebatan dengan Riri.
Inilah jalan terbaik untuk memulai hidup baru.
Menutup kedua mata, aku tertidur sampai adzan subuh membangunkanku.
Aku mulai berjalan, melihat keberadaan istriku yang tak ada di dapur.
"Sari."
Berjalan pelan, Sari ternyata sedang menonton televisi yang sudah disediakan pemilik kontrakan secara gratis.
"Kamu lagi apa?"
"Mas, aku bangun. Sudah mandi, salat!"
"Belum."
"Ya ampun ya sudah ayo, nanti kesiangan."
Melihat Sari bersantai seperti itu, membuat aku benar benar bahagia. Serasa aku tak gagal lagi menjadi seorang suami.
********
Semua makanan di sediakan Sari, ia terlihat berseri. Menunggu kedatanganku.
"Sari, kamu masak. "
"Iya, mas. Aku kan nggak ada kerjaan, jadi masak."
Tersenyum dihadapan Sari, "apa kamu senang ketika kita tinggal di sini berdua. "
"Mm." Sari menganggukkan kepala, dimana aku bisa bernapas lega.
Selesai memakan sarapanku, aku mulai berpamitan pada istirku untuk pergi ke kantor.
"Mudah- mudahan saja, setelah aku datang ke kantor. Kita bisa pergi keluar kota besok. "
Sari menatap ke arah wajahku dengan tatapan sedihnya. " Apa kamu yakin, mas. Kita akan melakukan hal seperti ini?"
Aku memegang kedua bahu istriku, tersenyum dan berkata, " tentu saja mas yakin. "
"Benarkah?"
"Iya, sudah sekarang kamu jangan berpikir aneh aneh, kita fokus akan kebahagiaan kita, jangan ada hal lain yang mengganggu kebahagiaan kita. "
Aku mengusap pelan pipi istriku, berpamitan untuk segera berangkat bekerja.
Menatap ke arah Sari, hatiku terasa bahagia. Melabaikan tangan.
Kutancabkan gas mobil pergi dari hadapan Sari, untuk mencari rezeki.
Sampai di depan kantor, tiba tiba saja aku dikejutkan dengan kehadiran Puja yang memakai masker dan baju tertutup.
"Riki, aku ingin berbicara dengan kamu."
Puja terlihat gelisah. Ia terus mengikutiku, " Riki, tunggu dulu. "
Aku berusaha tak mepedulikannya, " Riki."
Puja terjatuh, membuat topi yang ia pakai terlepas, semua orang menatap ke arahnya.
"Hey, ini bukannya Si Puja tukang fitnah itu kan?"
"Iya, benar, ngapain dia disini? Wah kayanya butuh pembelaannya untuk kerja lagi disini!"
Aku melihat Puja dikelilingi orang orang kantor.
" Riki. " Sampai salah satu teman kantorku memanggil namaku.
Tak ingin memperpanjang masalah aku masuk saja ke dalam kantor.
"Puja, Puja. Kamu lihat si Riki sudah tak peduli pada kamu kasihan banget, makanya jadi wanita punya harga diri."
Mengintip pada kaca perusahaan, Puja benar benar di permalukan, ia pergi dengan menangis.
"Maafkan aku Puja, dengan cara ini aku menyadarkan kamu, karena kamu tidak pantas bersanding denganku. Semoga saja kamu tidak terlalu berharap padaku dengan mengurus ibu. "
"Riki."
Panggilan dari atasan membuat aku terkejut, membalikkan badan dan bertanya, " ada apa, pak?"
Sang atasan memberikan lembaran surat padaku, " ini surat perizinan kamu keluar kota. "
Aku tak menyangka jika surat perizinan itu dengan cepat diberikan padaku.
Akhirnya aku bisa memulai hidup baru dengan istirku tanpa ibu.
Seorang ibu yang harusnya ikut bahagia melihat anaknya bahagia, bukan malah menyuruh berpisah dan menghancurkan seketika.
Aku memegang surat perizinan itu di tangan, berucap dalam hati, " maafkan aku bu, mungkin dengan aku pergi, hidup ibu akan lebih tenang dan sakit ibu akan sembuh. "
Sampai tak sadar meneteskan air mata, walau aku seorang laki laki, tetap saja aku lemah saat membahas tentang ibu. Sakit hatiku.
Aku mulai mengemasi barang barang di ruanganku, dimana Hari dan Farhan datang.
"Selamat ya, lu udah dipercaya oleh bos mengelola perusaan baru, jujur aja lu manusia terberutung di perusaan ini. "
Aku mempelihatkan senyuman lebarku dihadapan mereka berdua, " ini semua berkat istri gue. "
"Mm, kaitannya?"
Aku lupa mereka belum menikah, sampai aku menjawab, " membahagiakan istri sama saja menambahkan rezeki, membuat urusan pekerjaan kita mudah, dan satu lagi dari yang kudapatkan saat ini ada doa yang tak pernah putus putus dari istri gue. "
Keduanya saling menatap satu sama lain, mereka mengerutkan dahi, dan berucap, " duh, so sweet banget ya, kalau sudah punya istri, bikin kita ngiri saja. Mm, benar nggak Hari?"
"Iya benar, ternyata kita menyedihkan!"
Hari menatap ke arah Farhan, membuat aku berucap, " menyedihkan karena belum laku. "
"Ahk, sialan lu. "
Tawa kami layangkan bersama sama, seakan menjadi kebahagiaan tak ternilai, hari dimana aku berpisah dengan kedua lelaki yang menjadi sahabatku ini.
Mereka selalu membuat tawa dan canda di saat jam istirahat.
Farhan kini menepuk nepuk punggungku dan berkata, " lu jaga kesehatan disana, jangan lupain kita kita. "
"Mm, ya. Iya. Pastinya. "
Hari kini membisikan suatu perkataan yang membuat aku tercengang kaget.
𝚜𝚘𝚊𝚕𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚒 𝚏𝚋 𝚐𝚊𝚔 𝚙𝚞𝚊𝚜 𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝚐𝚛𝚎𝚐𝚎𝚝𝚗𝚢𝚊