TANGISAN ISTRIKU
Setelah membawa Sari ke rumah ibu, aku sering mendengar suara tangisan di dalam kamar istriku, dan itu pun hampir setiap hari.
Terkadang membuat kepalaku pusing, setiap kali membuka pintu kamar, Sari tahu tahu sudah tertidur dengan membelakangi tubuhku.
Sebenarnya ada apa dengan istriku?
Apa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku, atau ada kata kata yang tak aku sadari sudah melukai hatinya, tapi apa?
Perlahan tangan kekar ini, meraih bahu istriku," Mah?"
Tak ada jawaban setelah aku memanggilnya, membuat aku membaringkan badan disamping kiri istriku.
Dengan terpaksa aku simpan pertanyaan pertanyaan yang menggunung pada hati ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu apa yang ditangisi Sari setiap malam.
Ahk, sudahlah. Biar nanti pagi aku tanyakan pada istriku.
Suara Adzan berkumandan, aku tak melihat Sari sama sekali, " Sari. "
Memanggil namanya, tiba tiba wanita itu muncul dibelakang tubuhku.
"Astagfirullah, Sari." Terkejut, sampai mengusap pelan dada bidang.
"Kamu dari mana?" pertanyaanku, membuat Sari terlihat gugup, dan seperti biasa aku melihat kedua matanya sudah bengkak.
"Sari, Riki, ayo kita salat berjamaah," Panggilan ibu membuat kami berdua menatap ke arahnya.
Selama aku tak ada di rumah, aku melihat hubungan istriku dan ibu terlihat baik baik saja.
"Mas, aku sudah siapkan baju koko dan sarung untuk kita salat berjamaah. "
Menganggukkan kepala, melihat senyuman Sari tak terlihat seperti dulu bercahaya, sedangkan sekarang seperti serbuk sari yang sudah tak ada pada bunganya.
"Mas, mandi dulu ya, " ucapku, mengambil handuk terlihat istriku hanya menganggukkan kepala saja.
Air yang membasahi badan terasa begitu menyegarkan, membuat kata semangat muncul lagi.
Namun dalam kata semangat itu, masih ada rasa ketidak pastian dari istriku. Wajahnya terlihat seperti orang yang tertekan.
Terburu buru aku segera mungkin memakai baju yang sudah disediakan oleh istriku.
Terlihat kedua penyemangat sedang duduk menunggu imam yang akan memimpin mereka salat.
Saat langkah kaki melangkah, aku mendengar ibu mengatakan hal yang tak pantas pada Sari.
"Dasar lelet, menantu tidak tahu diri. Makanya kalau bangun itu jangan duluan ibu dong, malu maluin."
Ibu menggerutu kesal, mengoceh sendirian, dimana mereka terlihat duduk berjauhan.
Sebenarnya aku masih tak percaya, apa benar yang tadi dikatakan ibu, atau hanya pendengaranku saja yang salah menangkap.
Aku tak boleh suudzon terlebih dahulu, ibu_kan orang baik, tak mungkin melakukan hal itu.
Berjalan, aku mulai memimpin salat, menyuruh ibu untuk dekat berdempetan dengan istriku.
"Bu, jangan jauh seperti itu dong."
"Sudah ah, jangan ngatur ngatur ibu, ibu pengen di sini saja."
Aku melihat tatapan ibu terlihat begitu sinis, saat menatap istriku.
"Bu, pamali. "
"Iya, iya. "
Pada akhirnya ibu menuruti perkataanku, ia duduk bersebelahan dengan istriku.
Setelah selesai menjalankan salat, aku bersiap siap menjalankan aktivitasku untuk berolahraga di pagi hari sebelum aku melakukan pekerjaanku di kantor.
"Mas."
Panggilan Sari, membuat aku menghentikan langkah kaki," Kenapa, mah?"
"Eeh, a-nu. "
Istriku seperti ingin mengatakan sesuatu tapi, bibirnya terlihat keluh,
"Kenapa?"
Aku mencoba bersikap lembut, agar ia merasa tak gugup. Karena baru tiga bulan tinggal di rumah ibu, Sari seperti tak punya kepercayaan dirinya. Dimana ia adalah sosok yang ceria, tapi sekarang?
"Kamu mau ngomong apa?"
Tiba tiba sosok ibu datang, mengagetkan Sari. Dimana tatapannya pada ibu terlihat ketakutan.
Wanita tua yang menjadi ibu ku itu melipatkan kedua tangannya, ia kini menimpal perkataan Sari.
"Ayo Sari, kamu mau ngomong apa sama suamimu? Jangan bikin suamimu cemas. "
Gerak gerik wajah Sari terlihat berbeda sekali, ia berusaha tersenyum dan berucap, " Ahk, itu. Sari hanya ingin bertanya, kalau nanti mas mau dibekalkan makan apa?"
Aku berusaha mendamaikan suasana, dimana feelingku sudah merasa tak enak, seperti ada yang tak beres beres di rumah ibu, terlihat sekali Sari bukan ingin bertanya bekal makanan. Tetapi ada hal yang lain, yang ia ingin katakan. Entah apa? Karena setiap kali kami mengobrol ibu selalu tiba tiba muncul.
"Terserah kamu sayang, karena mas selalu suka dengan makanan yang kamu buat."
"Oh, ya sudah, kalau begitu Sari mau masak dulu di dapur ya. "
Aku menganggukkan kepala, dimana istriku pergi dengan terburu buru.
"Kenapa kamu menatap ibu seperti itu?" Tanya wanita tua yang sudah melahirkanku itu.
"Bu, Riki mau tanya sama ibu! Ibu tidak melakukan hal apapun pada Sari kan!" jawabku sedikit tegas.
"Hal apa pun, maksud kamu?" tanya kembali ibu. Memperlihatkan keangkuhannya.
"Ya seperti melukai hati Sari, atau membuat Sari tertekan di rumah ini, agar tak betah di sini." ucapku pada ibu dengan begitu lancang.
"Ngaco kamu, mana ada ibu kaya begitu!" balas ibu, terlihat kesal kepadaku. Ia pergi meninggalkanku dengan seribu pertanyaan.
Aku sebenarnya tak yakin dengan perkataan ibuku sendiri, karena dulu ibu sempat tak merestui pernikahan aku dan Sari.
Sampai aku nekat untuk kawin lari bersama Sari, ibu yang tak ingin aku pergi meninggalkannya, membuat ia pada akhirnya merestui pernikahan kami.
Baru pernikahan kami yang masih seumur jagung , ibu dengan semangatnya memaksa kami berdua untuk tinggal di rumahnya.
Awalnya kami berdua menolak, karena ingin belajar hidup mandiri, tetapi karena ibu yang menangis dan memohon mohon, membuat aku dan Sari menuruti keinginannya.
Selesai berolahraga, aku pulang ke rumah untuk mandi dan bersiap siap pergi ke kantor.
Mencari keberadaan istriku.
"Sari, kamu sedang apa di kamar mandi?"
Ibu kini datang lagi, membuat suasana terasa menegangkan.
"Dia lagi bersihin kloset, jadi biarkan saja. Dia kan lagi hamil tuh, harus banyak gerak jangan malas malasan."
Aku mengernyitkan dahi, menjawab perkataan ibu yang terlihat memerintah pembantunya.
"Bu, Sari itu hamil muda, dia harus banyak istirahat. Ibu pahamkan apa yang dikatakan dokter?"
"Ah, lebih pintaran ibu daripada dokter, buktinya ibu hamil kamu dulu waktu kandungan ibu dua bulan. Ibu sambil kerja kantor sama mengurus rumah nggak kenapa kenapa tuh, biasa aja, ahk. Istri kamunya aja lebai. Istri itu jangan dimanja, kali kali biarkan dia mengerjakan pekerjaan rumah agar tubuhnya sehat!" Setelah mengoceh panjang lebar.
Ibu pergi begitu saja, membuat aku hanya menghela napas dengan kasar.
"Sudah mas, kamu tak usah pikirkan aku, sekarang kamu berangkat ke kantor, aku sudah biasa melakukan pekerjaan ini," ucap Istriku membuat aku tak tega, namun jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Takut jika aku terlambat.
"Kamu benar tidak apa, apa. Mas kuatir tahu, kamu kan lagi hamil," balasku, menatap sayu ke arah istriku.
"Sudah ah, jangan lebay gitu. Sana berangkat, maaf ya nggak di sun, habisnya tangannya kotor. "
Istriku kini melambaikan tangan ke arahku, ia tersenyum lepas, " Ya sudah aku berangkat dulu ya."
Berjalan keluar rumah, baru saja sampai pintu.
Bark ….
Suara apa itu? Membuat aku terkejut?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
`Vita.via••
lanjut Thor
2023-05-30
0