Sadiyah, seorang gadis yatim piatu, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Demi mengabulkan permintaan terakhir sahabat kakeknya itu, Sadiyah harus rela mengorbankan masa depannya dengan menikahi pria yang belum pernah ia temui sama sekali.
Kagendra, pengusaha muda yang sukses, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Disaat ia sedang menanti kekasih hatinya kembali, dengan terpaksa ia menerima gadis pilihan kakeknya untuk dinikahi.
Setelah pernikahan itu terjadi, Natasha, cinta sejati dari Kagendra kembali untuk menawarkan dan mengembalikan hari-hari bahagia untuk Kagendra.
Apakah Sadiyah harus merelakan pernikahannya dan kembali mengejar cita-citanya yang tertunda? Akankan Kagendra dan Natasha mendapatkan cinta sejati mereka?
Siapa yang akan bersama-sama menemukan cinta sejati? Apakah Sadiyah dan Kagendra? Ataukah Natasha dan Kagendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Rencana Pindah
“Astaghfirulloh….” teriak Sadiyah kaget melihat Kagendra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk saja sebatas pinggangnya.
Kagendra dengan tenang berjalan dari kamar mandi menuju lemarinya dan memakai pakaiannya di hadapan Sadiyah tanpa rasa malu sedikit pun.
Sadiyah berusaha menenangkan debaran di dadanya yang terasa semakin bertalu-talu. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Semburat merah dengan sangat kontras menghiasi wajahnya yang berkulit putih. Ia pun teringat kembali malam panas seminggu yang lalu yang terjadi sebelum Kagendra pergi melakukan perjalanan dinas. Ingatan itu semakin membuat semburat merah yang menghiasi wajahnya terlihat lebih jelas hingga ke telinganya.
“Sudah pulang? Katanya dinas luarnya tujuh hari, baru enam hari sudah pulang. Apa sudah beres pekerjaannya?” tanya Sadiyah setelah jantungnya berdetak dengan normal kembali.
“Darimana kamu? Jam segini baru pulang.” bukannya menjawab pertanyaan dari Sadiyah, Kagendra balas memberikan pertanyaan pada Sadiyah.
“Tadi menemui calon customer baru. Saya tidak tahu kalau hari ini Aa pulang. Kenapa tidak memberitahu?” tanya Sadiyah lagi.
“Saya lapar. Bisa kamu masakan sesuatu untuk saya makan?” Kagendra kembali tidak berusaha untuk menjawab pertanyaan dari Sadiyah. Semua pertanyaan Sadiyah dibalas dengan pertanyaan dan perintah.
Sadiyah menghela nafasnya dengan sedikit kasar. Sebenarnya, hari ini agendanya sangat padat dari pagi sampai sore ini. Tapi Sadiyah tidak mau Kagendra semakin marah padanya jika ia menolak membuatkan makanan untuk suaminya yang baru pulang dari perjalanan dinas itu.
“Aa mau dimasakkan apa?” tanya Sadiyah sekali lagi.
“Apa saja, yang penting bisa dimakan.” akhirnya Kagendra menjawab pertanyaan Sadiyah dengan jawaban yang benar.
“Baik, A. Tunggu sebentar ya.” Sadiyah dengan bersegera melepaskan jilbabnya yang memang sedari tadi ingin ia lepaskan karena sudah merasa sangat gerah.
Setelah membuka jilbabnya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah, Sadiyah segera berjalan menuju dapur. Beruntung kemarin ia sudah belanja bahan-bahan masakan di pasar. Sekarang, Sadiyah akan memasak sayur sop dan tempe mendoan saja yang mudah dan praktis dibuat.
Katika Sadiyah selesai memasak, berkumandang adzan magrib. Ia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya. Tadinya Sadiyah berencana untuk berendam air hangat. Tapi apa daya, suaminya itu pulang satu hari lebih cepat dari yang direncanakan. Sadiyah tidak tahu jika sebenarnya Kagendra sudah pulang sejak kemarin.
Keluar dari kamar mandi, Sadiyah melihat Kagendra yang sedang terbaring di atas kasur dengan mata yang terpejam.
“Sepertinya A Endra tertidur.” Bukan waktu yang bagus untuk tidur dan juga sudah masuk waktu magrib, Sadiyah menggoyangkan lengan Kagendra.
“A, bangun A. sudah masuk waktu magrib. Sholat dulu lalu makan, nanti tidurnya bisa dilanjut lagi.” Sadiyah masih dengan sabarnya menggoyang-goyangkan lengan Kagendra berusaha untuk membangunkannya.
Merasakan goyangan di lengannya, Kagendra terbangun. Dengan matanya yang berwarna kemerahan, Kagendra menatap tajam pada Sadiyah.
“Jangan marah, A. saya kan membangunkan Aa karena sudah waktunya magrib. Saya juga sudah selesai memasak sayur sop dan tempe mendoan. Kalau Aa tidur sampai subuh, siapa yang akan menghabiskan makanannya. Nanti mubazir kalau membuang-buang makanan.” cerocos Sadiyah mencoba menghindari amukan dari Kagendra.
Tidak mengucapkan satu kata pun, Kagendra bangun dari tidurnya dan langsung masuk kamar mandi untuk membasuh wajahnya sekalian berwudhu.
Kagendra memakai sarung dan baju koko yang sudah disiapkan Sadiyah di atas kasur. Setelah beres mengenakan baju koko dan sarung, ia melihat Sadiyah sudah menggelar dua sajadah dan bersiap dalam posisi menjadi makmumnya. Magrib itu, sepasang suami istri melaksanakan sholat magrib berjamaah.
Setelah selesai sholat dan berdo’a, Sadiyah mencium punggung tangan Kagendra dengan takzim. Lagi, Kagendra merasakan debaran jantungnya kembali berdetak dengan irama yang tidak normal.
“Mau langsung makan, A? Sayur sop dan tempe mendoannya sudah matang.” tawar Sadiyah.
“Hmmmm….” respon Kagendra.
Sadiyah langsung membukan mukenanya dan bergegas menuju dapur untuk menyiapkan piring, sendok dan gelas.
Seperti biasa, Kagendra duduk di tempat biasanya. Sadiyah mengambil piring Kagendra dan mengisinya dengan nasi dari magic com, lalu ia menyendokkan sayur sop ke dalam mangkuk. Sadiyah sudah paham kebiasaan Kagendra yang jika makan dengan sayur sop, maka nasi dan sopnya harus terpisah, tidak boleh disatukan.
Mereka makan dalam hening. Tidak ada seorangpun yang mencoba untuk memulai percakapan.
Ada satu kata yang ingin diucapkan oleh bibir Kagendra, tapi satu kata itu menyangkut di tenggorokannya terhalang oleh rasa gengsinya yang tinggi. Satu kata itu, “Maaf”. Kagendra ingin meminta maaf pada Sadiyah karena ia tidak memperlakukan Sadiyah dengan baik saat sebelum ia pergi ke Lombok. Malam yang panas, dimana malam itu Kagendra memaksakan kehendaknya pada Sadiyah.
“Dua hari lagi, kita pindah ke rumah baru!” tiba-tiba Kagendra mengucapkan kalimat yang sukses membuat Sadiyah terkejut.
“Rumah baru? Rumah siapa, A?” tanya Sadiyah terheran-heran.
“Rumah kita.” jawab Kagendra singkat.
Sadiyah merasa hatinya terbang ke atas awan mendengar kata-kata Kagendra yang menyebutkan rumah barunya sebagai rumah kita.
“Rumah kita?” ulang Sadiyah. Ia takut jika ucapan Kagendra tadi hanya halusinasinya saja.
“Tidak banyak yang kita bawa dari apartemen ini. Cuma pakaian dan peralatan dapur saja. Ah, tidak usah bawa peralatan dapur. Nanti saya suruh orang untuk membeli peralatan dapur yang baru buat di rumah. Bawa pakaian saja.” ralat Kagendra.
“Baik, A.” Sadiyah tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
Kagendra beranjak dari kursinya menuju ke ruang tivi.
“Aki, Abah dan Ibu sudah diberi tahu?” tanya Sadiyah teringat dengan Aki Musa dan mertuanya.
“Belum. Nanti saja kalau kita sudah disana.” jawab Kagendra malas.
************
semangat