Seri kedua Kau Curi Suamiku, Kucuri Suamimu. (Hans-Niken)
(Cerita Dewa & Fitri)
Masih ada secuil tentang Hans-Niken, ya? Juga Ratu anak kedua Hans.
Pernikahan yang tak diharapkan itu terjadi, karena sebuah kecelakaan kecil yang membuat warga di kampung Fitri salah mengartikan. Hingga membuat Fitri dan Dewa dipaksa menikah karena dituduh melakukan tindak asusila di sebuah pekarangan dekat rumah Fitri.
Fitri berusaha mati-matian supaya Dewa, suaminya bisa mencintainya. Namun sayangnya cinta Dewa sudah habis untuk Niken, yang tak lain istri dari Papanya. Dewa mengalah untuk kebahagiaan Papanya dan adik-adiknya, tapi bukan berarti dia berhenti mencintai Niken. Bagi Dewa, cinta tak harus memiliki, dan dia siap mencintai Niken sampai mati.
Sayangnya Fitri terus berusaha membuat Dewa jatuh cintai padanya, meski Dewa acuh, Fitri tidak peduli.
"Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, Tuan!"
"Silakan saja! Cinta tidak bisa dipaksakan, Nona! Camkan itu!"
Apakah Fitri bisa menaklukkan hati Dewa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 - Kamu Tidak Masak?
Fitri tidak peduli ucapan Dewa, dia lebih baik masuk ke kamarnya, merebahkan tubuhnya yang sudah lelah dari tadi pagi karena pekerjaan hari ini cukup melelahkan, ditambah adanya insiden dengan Bapaknya tadi siang. Dirasa lelahnya sudah sedikit hilang, Fitri pergi membersihkan tubuhnya.
Sedangkan di luar, Dewa masih duduk terpaku mengingat ucapannya tadi. Dewa merasa ada yang aneh pada dirinya, entah kenapa bisa semarah itu saat tadi sepupunya mengantar pulang Fitri. Apalagi sampai meminta izin padanya untuk mengajak Fitri makan malam.
Sejak Hans terus menasihatinya, Dewa semakin menyadari kalau dirinya terlalu egois mencintai Niken. Perasaannya sudah melampaui batas, hingga Niken pun kadang tidak mau keluar kamar saat Dewa ada di rumahnya.
Dewa melihat Fitri keluar dari kamarnya, dan langsung mendudukan dirinya di sofa depan televisi, lalu menyalakan televisi. Dewa kira Fitri akan ke dapur untuk memasak menu makan malam, ternyata malah duduk santai di sofa sambil menonton acara di televisi.
“Kamu tumben tidak masak? Kamu belum makan malam, kan?” tanya Dewa yang melihat Fitri sedang santai menonton televisi, tidak peduli dengan adanya Dewa di rumah.
“Capek, Wa!” jawab Fitri acuh.
“Kamu belum makan malam, kan?”
“Udah pesan tadi, paling sebentar lagi datang. Lagian kalau masak untuk seorang diri sayang tenaganya, mending beli,” jawab Fitri.
“Biasanya kamu masak kalau aku di rumah?”
“Iya itu kebiasaan lama, sekarang tidak lagi, karena aku pikir mubazir sih, sudah masak capek-capek, malah dibuang saja makanannya,” ucap Fitri. “Sudah tuh kayaknya makananku sudah datang, aku mau makan, lapar!”
Fitri ke depan, karena mendengar bel rumahnya berbunyi. Pesanan makanannya sudah datang. Fitri langsung menerima pesanannya, dan dia duduk di ruang tamu sambil menikmati pesanan makanannya. Dewa yang penasaran Fitri tidak masuk ke dalam, lalu menyiapkan makanan yang dipesannya akhirnya dia pun keluar, menghampiri Fitri di ruang tamu.
“Kamu pesan untuk kamu sendiri?” tanya Dewa.
“Iyalah, untuk aku sendiri, memang untuk siapa lagi?” jawab Fitri sambil menikmati nasi pecel lele yang ia pesan, dengan segelas es teh tawar.
Dewa hanya berdehem lalu dia duduk di sebelah Fitri yang sedang makan. Fitri tidak peduli, toh biasanya seperti ini, meski di rumah bersama saling acuh, tidak saling menyapa, paling hanya kalau ada penting saja Dewa bicara dengan dirinya.
“Kamu gak menawariku, Fit?” tanya Dewa.
“Enggak. Memang harus ya menawari?” jawab Fitri.
“Kamu kenapa sih, Fit?”
“Aku lapar, Dewa!” jawabnya.
“Aku juga lapar, belum makan,” ucap Dewa.
“Lalu apa urusanku? Kalau mau makan, kamu bisa pesan sendiri, kan? Nih aku kasih kontaknya Kang Pecel Lele yang ada di perempatan sana! Enak kok, tiap malam aku sudah langganan. Lagian kamu sudah biasa apa-apa sendiri, kan? Gak melulu tergantung sama aku?” ucapnya tanpa melihat Dewa. Fitri malah fokus menikmati makanannya.
Sumpah demi apa, Dewa semakin kesal dengan sikap Fitri malam ini. Memang semua berawal dari dirinya, selama tiga tahun dia tidak memedulikan Fitri. Jarang pulang ke rumahnya, dia lebih memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya.
“Kamu gak pulang?” tanya Fitri.
“Pulang ke mana maksud kamu, Fit? Ini rumahku, kan?”
“Iya ini rumahmu, aku di sini numpang, aku di sini Cuma jadi penjaga rumah yang digaji cukup banyak. Ya biasanya kamu tidak pernah selama ini di rumah ini, kamu lebih memilih pulang ke tempat ternyamanmu, bersama bayang-bayang Mama Niken.”
“Aku mau di sini, memang tidak boleh?” ucap Dewa.
“Boleh silakan. Ini rumahmu kok. Ya sudah aku mau ke kamar, sudah kenyang!”
Fitri masuk ke dalam, ia ke dapur untuk cuci tangan dan membuang kertas nasi bekas tadi ia makan. Dewa benar-benar dibuat sewot dengan sikap Fitri sekarang, dari siang dia sudah bilang minta cerai, lalu mengulangi lagi saat di rumah, ditambah Fitri makan sendiri, tidak peduli dirinya juga belum makan. Padahal kalau dirinya pulang, Fitri langsung membuatkan makanan kesukaannya, tapi tidak pernah disentuhnya sama sekali.
“Ini salahku, aku harus perbaiki semuanya. Aku salah, benar kata Papa, aku harus memperbaikinya, Fitri gadis yang baik, selama ini sudah aku sia-siakan hanya karena perasaanku saja yang masih mencintai Niken. Tiga tahun Dewa, kamu tega sekali bersikap seperti itu pada Fitri? Cukup Dewa! Niken Istri Papamu!” batin Dewa merutuki dirinya sendiri.
Dewa mendengar bel pintu berbunyi. Entah siapa yang datang, atau Fitri memesan makanan lagi, atau mungkin Fitri memesankan makanan untuk dirinya? Dewa bergegas membukakan pintu, untuk melihat siapa yang datang.
“Kamu? Ngapain kamu ke sini?” tanya Dewa dengan tatapan yang sinis pada tamu yang baru saja datang.
“Gak boleh aku ke sini? Aku biasa ke sini kok? Kamu saja gak pernah tahu. Oh iya kamu kan jarang di rumah?” ucapnya. “Fitri di mana?”
“Gak ada! Sudah tidur!”
“Bohong, baru saja aku telefon katanya dia belum tidur?”
Orang itu langsung merogoh kantong celananya, lalu kembali menelefon Fitri, dan memberitahukan kalau dirinya sudah datang.
“Aku di depan, Fit. Sama orang nyebelin, yang larang aku ketemu kamu,” ucapnya lalu menutup sambungan teleponnya.
“Gak sopan sekali kamu, Tama! Untuk apa malam-malam kamu menemui Fitri? Apa ini sudah kebiasaan kamu begini?” kesal Dewa.
“Kalau iya kenapa?”
“Gak baik malam-malam menemui istri orang!”
“Tadi kamu bilang apa? Coba ulangi lagi?” tanya Tama.
“Gak baik malam-malam menemui istri orang!”
“Istri? Tumben anggap Fitri istri?”
Tak lama kemudian Fitri keluar dari kamarnnya. Padahal Fitri tidak tahu menahu soal Tama yang akan ke sini. Tapi memang biasanya Tama ke rumah Fitri, hanya untuk sekedar mengantarkan makanan atau cemilan untuk Fitri, atau kadang mengajak Fitri nonton, karena dia tahu Fitri pasti kesepian di rumahnya. Kecuali kalau ada adik-adiknya Dewa menginap di rumahnya. Kadang mereka menginap di rumah Fitri, sebab itu Dewa pun terpaksa pulang kalau adik-adiknya menginap di rumahnya.
“Ada apa, Tam?” tanya Fitri yang terlihat sudah memakai baju tidur.
“Jenuh di rumah sendirian, jalan yuk? Nonton atau ke mana?” ajak Tama.
“Sinting ya kamu! Ngajakin jalan bini orang!” umpat Dewa.
“Kamu yang sinting, punya istri gak dianggap! Ya sudah aku bisa bahagiain Fitri! Ayo Fit jalan.”
“Tam, aku ngantuk, lain kali saja, ya? Ini udah jam sembilan, mau pulang jam berapa nantinya?”
“Kayak gak biasanya kamu Fit. Apa karena ada Dewa di rumah?”
“Enggak, gak masalah ada atau tidak adanya Dewa di rumah. Masalahnya aku ngantuk, Tam.”
“Ya udah nih aku bawain martabak kesukaan kamu.”
“Kamu telat, aku sudah makan, tuh kasih ke Dewa saja, dia belum makan, aku gak masak, tadi pesan makanan satu, lupa kalau Dewa di rumah, lama gak di rumah kan aku lupa, jadi pesan satu makanan saja. Barangkali Dewa lapar, biar dimakan saja. Aku ke kamar, Tam. Ngantuk mau tidur.”
“Oke.”
Tama tidak memaksa Fitri. Melihat Fitri yang sekarang sudah mulai berani begitu saja Tama sudah senang lihatnya. Dia sudah tidak menye-menye lagi, dan sudah tidak diperbudak rasa cintanya pada Dewa. Biasanya kalau Dewa di rumah dia benar-benar merajakan Dewa. Memasak untuk Dewa, membuatkan kopi atau teh, pokoknya Fitri menjadi istri yang baik di depan Dewa.
Namun malam ini Tama melihat Fitri sudah berani cuek dengan Dewa. Ada rasa bahagia melihat Fitri begitu sikapnya pada Dewa.
“Nih makan! Kasihan belum makan. Makanya punya istri dihargai. Ini baru awal kalau Fitri bersikap gini sama kamu. Semoga esok dan seterusnya Fitri terus begini lah! Aku pulang, tuh martabak dimakan sana!”
“Tunggu, Tam!”
“Apalagi sih, De!”
“Kamu pasti yang menyuruh Fitri minta cerai sama aku, kan?”
“Kalau iya kenapa? Kalau dia berusaha membuatmu jatuh cinta, salahkah aku yang sedang berusaha membuat dia jatuh cinta padaku, dan melupakan kamu yang acuh?” jawab Tama.
“Gak usah macam-macam, Tam!”
“Tiga tahun kamu ke mana saja kamu, Dewa! Kamu gak tahu bagaimana perasaan Fitri. Aku rasa dia sudah sadar sekarang, lihat saja sikapnya begitu sama kamu? Sudah ah, malah ngomong sama batu macam kamu!”
Tidak peduli Dewa yang sedang marah dengan dirinya, Tama langsung pergi dan tersenyum dengan penuh kemenangan karena dia melihat Fitri yang akhirnya berani bersikap acuh pada Dewa.
Gak sabar lihat respon papa dewa dan mama niken 😂
1 nya berusaha mencintai 1 nya lagi mlh berusaha meminta restu 🤣🤣🤣
kann tau to rasane coba aja klo bener2 di diemin ma fitri apa g kebakaran jengot