SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Han Teupu Haroh Peugah Peu
Han Teupu Haroh Peugah Peu
(Tak tahu harus bilang apa -bahasa Aceh-)
***
Jakarta
Tama
Ia mengusap punggung Kinan yang masih terisak. Namun pendengarannya justru terfokus pada obrolan di dapur.
"Tinggal dua?" Itu suara Om Raka.
Namun tak ada jawaban. Bisa dipastikan Pocut hanya mengangguk tanpa suara.
"Bisa dong, buat saya satu."
"Saya tanya ke Anjani dulu, Pak."
"Lho, urusan perut saya kenapa mesti nanya ke Anja?" Om Raka tertawa.
"Ini nasi tim untuk bu Niar, Pak," jelas Pocut. "Kalau Pak Raka mau, saya buatkan lagi yang baru. Tapi ... mungkin agak lama."
Ia mendengus mendengar kalimat yang diucapkan Pocut. Sementara Kinan masih belum menyelesaikan isakannya.
"Wah, nggak usah deh. Kamunya jadi repot."
"Saya makan makanan yang di depan saja," tukas Om Raka penuh pengertian. Membuatnya sedikit bernapas lega.
"Oya, sampai kapan di sini? Nanti pulangnya biar diantar sama saya."
Ia kembali mendengus mendengar ucapan modus Om Raka. Hampir saja meneriakkan kalimat penolakan. Untungnya keburu menyadari jika Kinan masih berada dalam pelukan.
"Reka ikut?" Ia berusaha memusatkan konsentrasi pada Kinan. Namun gagal total. Sebab pikirannya tetap tertuju ke tempat lain, yaitu dapur.
Kinan mengangguk dengan air mata berlinang.
"Ayo masuk ...." Ia memutuskan untuk membimbing bahu Kinan meninggalkan halaman belakang. Terpaksa mengabaikan obrolan menggelisahkan antara Pocut dan Om Raka.
Begitu sampai di ruang tengah, ia melihat Reka sedang berdiri mematung dengan wajah bingung. Membuatnya berinisiatif untuk melepas pelukan di tubuh Kinan. Lalu beralih meraih bahu Reka.
"Sampai juga di Jakarta," gumamnya lega. Karena Reka tak menolak rangkulannya.
Reka hanya tersenyum canggung dengan kepala tertunduk.
Kinan ingin bertemu dengan mama. Tapi saat ia menengok ke kamar, ternyata mama masih terlelap. Begitupun Sada. Adiknya itu turut tertidur pulas di samping mama.
"Mau ke makam dulu?" tawarnya. Sebelum sore hingga malam nanti, ia kembali disibukkan dengan kehadiran para tamu yang hendak mengikuti acara doa bersama.
Kinan mengangguk setuju.
Dan sepanjang perjalanan dari rumah menuju ke makam, mereka lalui dalam kesunyian. Tak seorangpun berminat untuk membuka pembicaraan.
Namun meski begitu, ia merasa cukup senang. Karena ini menjadi kali pertama, mereka bertiga berlaku seperti layaknya satu keluarga yang utuh.
Ia kembali merangkul bahu Reka saat berjalan dari tempat parkir menuju ke makam. Ia bahkan duduk berdua dengan Reka selama Kinan termenung di depan pusara.
"Lama di Jakarta?" Gumamnya membuka pembicaraan. "Nggak lagi ujian kan?"
Reka menggeleng.
"Nanti tidur di rumah dinas Ayah," lanjutnya memberi penawaran.
Reka hanya diam menunduk. Sama sekali tak menjawab.
Tapi ia mendadak teringat sesuatu. "Selamat ya, kemarin juara lagi."
"Keren!" Kali ini sambil meninju lengan Reka.
Namun Reka tetap menunduk tak bereaksi.
----------
"Rencana berapa lama di sini?" Tanyanya ke arah Kinan. Saat perjalanan pulang dari makam menuju ke rumah. Setelah dari pantulan rear vission mirror, melihat Reka memasang headsetnya.
"Aku cuti tiga hari."
"Reka tinggal aja seminggu," ujarnya kembali memberi penawaran. "Nggak lagi ujian kan? Nanti pulangnya aku antar."
Kinan menoleh ke arahnya, "Kalau anaknya mau."
"Mau kalau kamu yang nyuruh," gumamnya yakin.
Selang beberapa menit kemudian Kinan baru menjawab, "Tapi nggak janji anaknya mau."
Ia mengangguk setuju, "Deal."
Begitu sampai di rumah, ia langsung mengantar Kinan dan Reka menemui mama di dalam kamar.
Mama sedang menyantap nasi tim dengan dikelilingi oleh Anja, Dara, juga ambu (ibunya Dara).
"Reka?" Mata mama berkaca-kaca saat melihat Reka masuk ke dalam kamar.
Mama bahkan langsung mengulurkan kedua tangan hendak meraih Reka ke dalam pelukan.
Dan ia hanya bisa mengusap tengkuk dengan canggung. Karena mama kembali berlinangan air mata saat memeluk Reka. Membuat ingatannya melayang pada keinginan papa. Yang bahkan tak terpenuhi hingga akhir hayat. Yaitu bertemu dengan Reka di rumah ini.
"Wah, Reka udah gede," gumam Anja takjub. Sambil menepuk bahu Reka yang tengah dipeluk oleh mama.
"Udah bujang ya Reka," Dara ikut mengomentari perubahan fisik Reka yang hampir matang.
"Reka sudah ketemu sama akung?" Tanya mama seraya mengusap pipi Reka.
Reka mengangguk, "Udah."
Mama mencoba tersenyum namun gagal, "Doakan akung ya Reka. Biar tenang di sananya."
"Iya, Uti," jawab Reka dengan kepala tertunduk.
Setelah itu barulah mama memeluk Kinan. Lagi-lagi dihiasi oleh linangan air mata. Membuat Dara turut menenangkan, dengan cara mengusap-usap punggung mama secara perlahan.
"Maafkan Kinan, Ma. Datang terlambat ...."
"Enggak apa-apa," bisik mama hampir tak terdengar. "Tolong doakan papa. Biar dimudahkan di sananya ...."
Kinan mengangguk, "Pasti didoakan, Ma. Pasti."
Karena tak ingin larut dalam kesedihan, ia memutuskan untuk beranjak keluar. Tapi telinganya masih bisa mendengar mama berucap,
"Reka lama di Jakarta? Temani Uti ya ...."
Suasana di luar masih saja ramai. Para kerabat berusia senja terlihat sedang berbincang di ruang tengah. Membicarakan banyak hal memanfaatkan momen kebersamaan. Sayup-sayup telinganya sempat menangkap ucapan salah satu paklek (om).
"Eling po gak pas awak dewe moleh omah karo nangis gara gara di palak karo arek kampung sebelah (ingat nggak waktu aku pulang ke rumah nangis gara-gara dipalak anak kampung sebelah)?"
"Mas Setyo takon, ndi areke, kene ayo di ajar (Mas Setyo nanya, mana anaknya kita buat perhitungan)."
"Gak wedi awak dewe kene marani kampung sebelah. Critane ate balas dendam, gibeng gibengan. Eeeeeh ... adhakno (dengan gagah berani kita berdua datang ke kampung sebelah. Ceritanya mau menuntut balas. Eh, nggak tahunya) ...."
"Awak dewe moleh karo nangis, ajur sak awak di antemi arek kampung sebelah (kita berdua pulang sambil nangis karena babak belur jadi bulan-bulanan anak kampung sebelah)."
Semua yang duduk di ruang tengah tertawa.
Sementara kerabat yang berusia lebih muda, terlihat berkumpul di halaman samping. Menemani para tamu yang masih terus berdatangan mengucapkan bela sungkawa.
Tapi ia tak bergabung dengan salah satu di antara mereka. Ia justru mengedarkan pandangan menyapu keseluruhan ruangan dengan kening mengerut.
"Udah pulang barusan," desis Sada yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
Ia hanya mendengus. Bahkan dalam suasana seperti ini, Sada masih bisa menebak isi hatinya dengan benar.
"Sama Om Raka?" Tanyanya sekedar ingin memastikan.
"Siapa lagi," Sada menyeringai.
Tapi sejurus kemudian Sada menggelengkan kepala dengan ekspresi mengejek, "Gilaaa! Kita ngobrol tanpa harus menyebut nama tapi tepat sasaran."
"Shut up (diam)!" gerutunya sambil lalu.
"Tidor sana ...." Sada kembali menyeringai. "Biar fresh menyusun strategi baru."
Ia tak menghiraukan ejekan Sada. Lebih memilih untuk menaiki tangga dengan langkah cepat. Berniat mengistirahatkan raga barang sejenak. Sebelum petang nanti kembali menyambut para tamu yang menghadiri acara doa bersama untuk papa.
***
Pocut
Sore hari sepulang dari bekerja, dengan diantar oleh Pak Raka, ia kembali berkunjung ke rumah Anjani. Yang suasananya masih ramai dikelilingi para handai taulan.
"Hari ini mama saya baru datang dari Malang," ucap pak Raka saat masih di kantor. "Nanti kita kenalan ya."
Ia mengangguk. Berkenalan dengan orangtua atasan di acara keluarga adalah hal biasa bukan? Tak ada yang perlu dicemaskan.
Tapi sayangnya ia keliru. Sebab kata pertama yang diucapkan oleh ibunda pak Raka begitu mereka bersua adalah,
"Ini yang namanya Pocut?" sambil memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh selidik.
"Iya, Ma. Yang sering Raka cerita."
Ia tersenyum kikuk mendengar penjelasan pak Raka.
"Sudah berapa lama jadi janda?"
Dan ia hanya bisa terpana mendengar pertanyaan tanpa basa-basi yang cukup menohok.
"Janda mati atau cerai?"
"Ma ...." Pak Raka memandangnya dengan ekspresi wajah tak enak. "Kok Mama nanyanya begitu?"
"Iya, Mama cuma ingin tahu."
Ia menelan ludah dengan cepat. Berusaha keras menguapkan rasa gugup yang tiba-tiba melanda.
"Anaknya berapa?"
"Tiga, Bu."
"Banyak juga. Masih kecil-kecil?"
Ia mengangguk, "Paling kecil kelas 1 SD."
"Wah, udah repot ngurus anak sendiri dong?"
"Ma ...." Pak Raka kembali memberinya tatapan penuh penyesalan. "Kita ngobrol yang lain aja."
"Dulu kuliah di mana?" Tapi rupanya ibu pak Raka sedang ingin menuntaskan rasa keingintahuannya.
"Saya tidak pernah kuliah, Bu."
Ibu pak Raka mengernyit, "Lulusan SMA?"
"SMK," ralatnya mulai merasa kurang nyaman.
"Lulusan SMK bisa apa?"
"Mama," pak Raka langsung menengahi obrolan yang menyudutkannya.
"Dulu pernah kerja di mana sebelum ikut sama Raka?" Tapi ibu pak Raka masih ingin bertanya.
Ia menggeleng, "Ini pertama kalinya saya bekerja, Bu."
"Jadi ... selama ini cuma ibu rumah tangga?" Ibu Pak Raka memberinya kerlingan meremehkan.
Ia mengangguk dengan hati berdebar, "Betul, Bu."
"Ma," pak Raka kembali memandangnya dengan tatapan penuh penyesalan. "Kita ketemu sama Tante Niar dulu yuk. Mama belum sempet ketemu kan?"
Sepeninggal pak Raka dan sang ibu, ia mencoba mengabaikan rasa tak percaya diri yang tiba-tiba mengusik. Dengan ikut membantu Bi Enok di dapur.
"Neng, jangan di dapur terus," tegur Bi Enok yang sedang memindahkan sambal goreng hati dari loyang catering ke dalam wadah.
"Neng mah tamu ...." Sambung Bi Enok seraya mengernyit ke arahnya.
"Duduk di depan saja dengan keluarga yang lain. Ngobrol ... nemenin ibu ...." Bi Enok masih mengernyit. "Bukannya ikut riweuh (sibuk) di dapur begini."
Ia tersenyum, "Sama aja, Bi. Saya ke sini kan mau membantu, bukan mau ngobrol."
"Ih, ari Eneng ...." Bi Enok tetap menggeleng tak setuju.
Tapi ia keburu meraih wadah yang telah terisi penuh dengan sambal goreng hati, "Di simpan di mana ini, Bi?"
Bi Enok mengerutkan kening namun tetap menjawab, "Di meja makan, Neng. Hapunten."
Ia tersenyum mengangguk. Menyimpan wadah ke meja makan yang terlihat berantakan. Membuatnya gatal untuk membereskan. Dengan mulai menumpuk sejumlah piring kotor bekas makan. Juga wadah berisi lauk yang sudah kosong.
Ia masih menyatukan sisa-sisa makanan ke dalam satu piring. Ketika seorang bocah laki-laki seusia Icad, tiba-tiba berjalan mendekati meja makan. Menarik kursi di sebelahnya. Lalu mendudukkan diri di sana.
Ia tersenyum, "Mau makan, Kak?"
Bocah laki-laki itu mengangguk.
"Sebentar ya, ambil piringnya dulu."
Ia segera mengangkat tumpukan piring kotor ke dapur.
"Neng, ulah (jangan). Wios ngke ku (biar nanti -dibereskan- sama) Cucun," keluh Bi Enok begitu memergokinya meletakkan setumpuk piring kotor.
"Sekalian, Bi," ia tersenyum. "Kalau piring yang bersih di mana, Bi? Buat di meja makan."
"Biar sama Bibi," Bi Enok membuka pintu lemari yang berada di bagian bawah kitchen set. Kemudian mengambil sejumlah piring juga mangkuk.
"Kalau yang di tenda peralatan dari catering semua kan, Bi?" tanyanya hanya ingin memastikan.
"Muhun (iya), Neng. Yang di luar dari catering semua. Kalau di dalam rumah pakai punya sendiri."
"Sini biar saya saja," ia langsung mengambil alih setumpuk piring dan mangkuk dari tangan Bi Enok. Kemudian membawanya ke meja makan. Di mana bocah laki-laki masih duduk menunggu.
"Saya temani makan ya," ujarnya sambil menyimpan piring ke atas meja.
Bocah laki-laki itu hanya tersenyum tipis, "Makasih, Bu." Kemudian mulai mengisi piring dengan nasi dan lauk.
"Ibu nggak makan?" Bocah laki-laki bertanya dengan heran. Mungkin karena melihatnya hanya duduk diam.
"Sudah makan tadi," jawabnya seraya melempar senyum.
Bocah laki-laki itu mengangguk. Lalu meminum air putih terlebih dahulu sebelum mulai makan.
"Kakak dari mana?" Tanyanya ingin tahu. Karena tak pernah mendapati sosok bocah ini di acara-acara sebelumnya. Meskipun karakter wajah yang dimiliki sekilas mengingatkannya pada seseorang. Menandakan jika bocah ini pastilah kerabat terdekat keluarga pak Setyo.
"Saudara dari akung atau uti?" Tanyanya lagi.
"Dari dua-duanya," jawab bocah itu dengan mulut penuh mengunyah makanan.
Matanya membulat karena terkejut, "Cucunya akung sama uti?" Ia berusaha memastikan. Berarti bocah laki-laki ini adalah ....
"Iya," sambil terus mengunyah makanan, bocah laki-laki di hadapannya kembali mengangguk.
Saat itulah sebuah suara bass yang khas berhasil membuatnya terlonjak, "Makan Reka?"
Ia langsung menelan ludah dengan gugup. Begitu melihat Tama dalam waktu singkat telah mendudukkan diri di kursi sebelah Reka. Tepat di seberangnya.
"Saya juga mau makan," Tama menatapnya sambil menunjuk sesuatu.
Tapi ia yang masih terkejut hanya bisa terpana.
"Piring?" Tama menunjuk tumpukan piring di hadapannya.
"Oh," ia mendesah malu. Segera meraih piring lalu mengulurkannya ke arah Tama.
"Makan yang banyak Reka," ujar Tama yang sedang menyendok nasi.
Tapi jika tak salah lihat, ia justru menangkap ekspresi kurang nyaman di wajah sang bocah. Seperti ingin menjaga jarak dengan Tama.
"Sudah kenalan belum?" Tama kembali menatapnya.
"Kenalan?" Namun ia justru kembali mengulang pertanyaan dengan bo dohnya.
"Ini anak saya satu-satunya," Tama tersenyum. Sambil merangkul bocah laki-laki yang dengan gerakan cepat justru berusaha menghindar.
"Oh," ia mengangguk mengerti. Berhasil memperoleh jawaban dalam waktu singkat. Mengapa garis wajah bocah ini terlihat begitu mirip dengan Tama.
"Namanya Reka," sambung Tama lagi dengan wajah bangga yang tak bisa ditutupi. "Kelas tujuh. Hobinya berenang."
Ia tersenyum mengangguk.
"Reka ... perkenalkan ini ...."
Namun suara Tama tertahan. Karena tiba-tiba seseorang turut bergabung dengan mereka bertiga di meja makan.
"Ternyata pada ngumpul di sini?" suara penuh kelembutan terdengar diucapkan oleh seorang wanita cantik.
Membuatnya semakin merasa gugup dan kikuk. Sebab berada di tempat dan waktu yang tak seharusnya. Terjebak di tengah-tengah reuni keluarga.
Karena sosok yang kini telah duduk di sebelahnya, adalah wanita cantik yang kemarin siang menghambur ke dalam pelukan Tama.
"Tante Pocut ...." Sambung Tama kembali melanjutkan kalimat. Sama sekali tak menghiraukan kegugupannya maupun kehadiran sang wanita cantik.
"Tante Pocut ini ... kakak iparnya Tante Anja ...." Tama masih berupaya menjelaskan silsilahnya.
Tapi kepalanya justru dipenuhi oleh pikiran tentang, bagaimana cara meninggalkan meja makan tanpa menyinggung perasaan orang lain.
"Oya?" Wanita cantik di sebelahnya langsung mengulurkan tangan. "Kita baru pertama ketemu. Perkenalkan ... saya Kinanti."
Ia tersenyum kikuk. Melirik ke arah Tama dengan bingung. Tapi Tama justru tersenyum mengangguk ke arahnya.
Akhirnya dengan penuh keraguan, disambutnya uluran tangan Kinanti.
"Pocut," ucapnya lirih hampir tak terdengar.
"Sendirian?" Kinanti melempar senyum ramah. Seraya meraih piring yang tersimpan di hadapannya. Lalu mengisinya dengan nasi dan lauk.
"Anak-anak di rumah dengan neneknya," jawabnya sambil mencuri-curi pandang ke arah Tama.
Tapi Tama tetap makan dengan lahap. Tama bahkan memasang ekspresi datar seolah tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Padahal ia merasa teramat gugup dan canggung.
"Sebaiknya saya ...." Ia mencoba menyusun kalimat undur diri yang paling sopan. Tapi terpotong karena tiba-tiba Reka bangkit dari duduk.
"Udah selesai?" tanya Kinanti ke arah Reka.
Reka mengangguk. Langsung melesat pergi membawa piring kotor ke dapur.
"Itu tadi anak saya," ucap Kinanti seraya tersenyum ke arahnya.
Ia balas tersenyum dan mengangguk. Merasa semakin canggung berada di antara Kinanti dan Tama.
"Saya ... ke belakang dulu ...." Ia akhirnya menemukan kalimat yang tepat untuk pergi menjauh.
Tapi di luar dugaan, Kinanti justru menahan tangannya agar tak beranjak.
"Tunggu."
Hatinya semakin berdebar tak karuan. Sesuatu yang tak menyenangkan jelas terpampang di pelupuk mata.
Tama yang juga terkejut terlihat langsung menghentikan kunyahan. Memandangi dirinya dan Kinanti secara bergantian.
"Kenapa mesti buru-buru?" Tapi Kinanti tetap memasang wajah ramah terhadapnya.
"Mas Tama belum mengenalkan kita berdua secara resmi."
Ia melirik ke arah Tama dengan cemas. Sementara Tama tetap terdiam tanpa ekspresi.
"Iya, Mas?" Kini Kinanti beralih ke arah Tama. "Apa tebakanku tepat?"
Han teupu haroh peugah peu (tak tahu harus bilang apa).
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭