NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Ajakan yang Tidak Memaksa"

Beberapa hari berlalu dengan ritme yang tenang.

Tidak ada perubahan mencolok, tapi Alya merasakannya—cara Zavian memandangnya kini lebih sering berhenti lebih lama. Bukan tatapan yang menekan, melainkan seolah sedang menimbang sesuatu dengan sangat hati-hati.

Malam itu, hujan turun pelan. Tidak deras, hanya cukup untuk membuat dunia di luar jendela terasa lebih jauh.

Alya sudah bersiap tidur ketika Zavian masuk kamar. Ia menutup pintu perlahan, lalu berdiri sejenak, seolah memastikan suasana. Alya duduk di ranjang, memeluk bantal, menoleh padanya.

“Pak belum mau tidur?” tanyanya.

Zavian mengangguk kecil. Ia mendekat, lalu duduk di sisi ranjang—tidak langsung berbaring. Ada jeda yang disengaja.

“Alya,” katanya pelan. “Aku mau bicara. Dan kalau kamu tidak nyaman, kamu boleh bilang kapan saja.”

Nada itu membuat Alya menegakkan punggungnya. “Tentang apa?”

Zavian menatapnya, serius tapi lembut. “Tentang kita. Tentang langkah berikutnya.”

Jantung Alya berdetak sedikit lebih cepat, tapi tidak ada rasa takut. Hanya gugup yang jujur.

“Aku tidak akan melakukan apa pun tanpa persetujuanmu,” lanjut Zavian. “Dan aku tidak sedang memaksa. Aku hanya ingin jujur.”

Alya mengangguk. “Jujur soal apa?”

Zavian menarik napas. “Aku ingin dekat denganmu… lebih dekat. Bukan karena kewajiban. Tapi karena perasaan.”

Ia berhenti, memberi ruang. “Tapi aku hanya akan melangkah kalau kamu menginginkannya juga. Kalau kamu ragu, takut, atau belum siap—kita berhenti di sini.”

Alya menunduk, jari-jarinya meremas ujung selimut. Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya kembali terlintas, tapi kali ini tidak terasa menakutkan.

"Tapi pelan-pelan ya...". ucap Alya lirih.

Zavian tersenyum. "I will be gentle, love".

Malam itu untuk pertama kalinya Zavian menyentuh Alya secara dekat dan hormat. Alya yang masih polos dan kecil hanya menurut pada Zavian.

Zavian dengan lembut membimbing Alya untuk berbaring, mencium keningnya dan perlahan mulai turun, tangannya bergerak untuk mengusap sisi tubuh Alya. Melepaskan baju Alya.

Semua aman terkendali, Zavian sudah memposisikan diri. "Jangan tegang, sayang". Mengusap bagian dalam paha Alya.

"Gimana?...a-aku takut". Ujar alya menatap Zavian.

"It's okay, jangan tegang nanti sakit". Zavian menenangkan.

Alya mengatur nafasnya, mencengkram lengan Zavian.

"Siap sayang?". Alya hanya mengangguk.

Untuk pertama kalinya Zavian mendorong masuk, saat awal masuk Alya berteriak keras. "Aaahhh!!!...sakit...aaahhhh". Karena baru pertama kalinya.

Zavian berusaha selembut mungkin. "Iya sayang..tahan, aku akan perlahan".

Alya mencengkram punggung Zavian. "Aahh...aah....pak..aahh sakit..ahh".

Zavian berusaha mendorong dengan perlahan. "ah....tahan... sedikit lagi".

Malam itu adalah malam bergairah, setiap gerakan, desahan, tangisan bercampur dikamar itu, apalagi saat Zavian merobek selaput darah Alya. Kini Alya sepenuhnya milik Zavian.

Keesokan harinya, Zavian terbangun karena mendengar suara isakan, ia langsung terbangun dan mendapati Alya terduduk dilantai sampai ranjang. Zavian berlutut dihadapan Alya.

"Kenapa sayang? ada apa?". ujarnya panik.

Alya terisak. "Perih...aku mau kekamar mandi tapi...perih dibawah".

Zavian tersenyum kecil. "Perih ya, kamu mau pipis?"

Alya mengangguk.

"Ayo, aku bantu". Zavian menggendong Alya dan membantu nya kekamar mandi.

Alya duduk di toilet. "aku mau pipis... pak keluar dulu". sedikit malu

Zavian tersenyum. "Kenapa? aku sudah lihat semuanya sayang".

Hari-hari setelah itu berjalan dengan ritme yang berbeda.

Bukan karena ada perubahan besar yang terlihat dari luar, melainkan karena sesuatu di antara Alya dan Zavian mulai menemukan bentuknya sendiri. Tidak lagi canggung seperti awal pernikahan, tapi juga belum sepenuhnya mapan. Mereka sedang belajar.

Alya bangun setiap pagi dengan perasaan campur aduk. Ada hangat, ada ragu, ada lelah, dan ada rasa ingin tahu tentang hari yang akan datang. Zavian selalu bangun lebih dulu. Ia tidak banyak bicara di pagi hari, tapi selalu memastikan satu hal: Alya baik-baik saja.

“Ada yang kamu butuhkan?” tanyanya suatu pagi sambil meletakkan segelas air hangat di meja kecil dekat ranjang.

Alya menggeleng pelan. “Aku cuma… masih agak kagok.”

Zavian mengangguk, seolah itu jawaban yang sudah ia perkirakan. “Tidak apa-apa. Kita tidak sedang lomba.”

Kalimat itu membuat Alya sedikit lega.

Mereka mulai membangun kebiasaan kecil. Sarapan bersama, meski kadang hanya roti dan teh. Zavian tidak pernah memaksa Alya untuk selalu duduk manis di meja makan. Kalau Alya ingin makan sambil membaca atau duduk diam menatap jendela, Zavian membiarkannya.

Ia belajar bahwa cinta tidak selalu berarti mendekat—kadang justru memberi jarak yang aman.

Alya juga mulai berani mengamati Zavian dari sudut yang berbeda. Bukan lagi hanya sebagai sosok yang “harus ia patuhi”, tapi sebagai manusia dengan rutinitas, kelelahan, dan kebiasaan aneh. Ia memperhatikan cara Zavian mengernyit saat berpikir, atau bagaimana ia selalu berhenti sejenak sebelum berbicara jika topiknya serius.

Suatu sore, hujan kembali turun. Alya duduk di sofa, memeluk lutut, menatap halaman yang basah. Zavian pulang lebih awal hari itu.

“Kamu kelihatan capek,” kata Zavian sambil melepas jam tangannya.

“Aku cuma… banyak mikir,” jawab Alya jujur.

Zavian tidak langsung bertanya. Ia duduk tidak terlalu dekat, cukup untuk menunjukkan kehadiran tanpa menekan. “Tentang kita?”

Alya mengangguk.

“Aku takut salah,” katanya lirih. “Takut jadi istri yang nggak tahu apa-apa.”

Zavian menoleh, kali ini menatap Alya dengan serius. “Menjadi pasangan itu bukan soal tahu segalanya. Tapi mau belajar, dan mau jujur kalau belum siap.”

Ia berhenti sejenak. “Dan tugasku bukan menuntutmu sempurna. Tugasku menjaga supaya kamu aman untuk bertumbuh.”

Kata-kata itu perlahan mengendap di pikiran Alya.

Malam-malam mereka kini lebih tenang. Tidak selalu diisi percakapan panjang. Kadang hanya duduk berdampingan, menonton acara yang sama tanpa benar-benar memperhatikan layar. Alya mulai terbiasa dengan kehadiran Zavian yang tidak menguasai, tapi juga tidak menjauh.

Ia belajar bahwa menjadi pasangan bukan berarti kehilangan diri sendiri.

Zavian pun berubah, meski tidak selalu ia sadari. Ia menjadi lebih berhati-hati dengan nada suara, lebih sering bertanya daripada menyimpulkan. Ia menahan dorongan untuk “mengatur”, dan mulai menggantinya dengan mendengarkan.

Suatu hari, Alya memberanikan diri berkata, “Aku mau coba lebih mandiri. Boleh?”

Zavian tersenyum kecil. “Aku tidak menikahimu untuk mengurungmu.”

Jawaban itu membuat Alya tersenyum untuk pertama kalinya tanpa beban.

Mereka mulai berjalan berdampingan—ke pasar kecil, ke taman, ke tempat-tempat sederhana. Tidak ada pamer kemesraan. Yang ada hanya tangan yang saling tahu kapan harus dekat, dan kapan harus dilepas.

Orang-orang mungkin melihat mereka seperti pasangan biasa. Tapi bagi Alya, ini adalah proses besar: belajar percaya tanpa takut, belajar dekat tanpa merasa terancam.

Dan bagi Zavian, ini adalah ujian yang tidak mudah: mencintai tanpa memiliki secara berlebihan.

Di suatu malam yang hening, Alya berkata pelan, “Aku masih belajar jadi istrimu.”

Zavian menjawab dengan nada yang sama tenangnya, “Dan aku masih belajar jadi suamimu.”

Tidak ada janji besar. Tidak ada kata-kata dramatis. Tapi di sanalah mereka—dua orang yang memilih untuk tumbuh bersama, pelan-pelan, dengan kesadaran bahwa cinta yang sehat bukan tentang seberapa cepat melangkah, melainkan seberapa aman perjalanan itu dirasakan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!