Falling In Love Again: First Love, First Hurt

Mereka bertiga berjalan menuju ruang keluarga.

“Selamat malam, Mama, Papa,” sapa Ethan datar.

Sean menatap Ethan dengan pandangan berwibawa, khas seorang pemimpin yang berkuasa.

“Kau pulang larut, Son. Ada masalah?”

Ethan menggeleng. “Tidak, Pa. Hanya menyelesaikan laporan kecil.”

Ariana bangkit dari lengan Sean lalu menghampiri Ethan. Ia mengelus pipinya sebelum menerima kecupan lembut di kening dari putranya.

“Biar Mama hangatkan makan malammu,” katanya.

“Aku saja, Tante!” Celine menyahut cepat.

Ariana tersenyum lembut. “Tentu, Sayang. Kalian memang perlu waktu berdua. Dan Ethan…” Tatapannya menjadi sedikit menekan. “Jangan terlalu sibuk. Dua hari lagi kalian akan menikah.”

Ethan mengangguk sopan. “Akan kuusahakan.”

Celine menarik Ethan menuju meja makan dengan langkah ringan. Sementara Serena memilih untuk kembali ke kamarnya.

Celine meletakkan makanan yang sudah dihangatkan di hadapan Ethan.

“Terimakasih,”

Pria itu makan dalam diam, rapi, teratur, sama seperti segala hal lain dalam hidupnya.

“Sama-sama, Ethan.”

Celine menyandarkan dagu pada punggung tangannya. Matanya mengikuti setiap gerakan Ethan; garis rahangnya yang tegas, cara ia mengangkat sendok, bahkan helaan napasnya yang nyaris tak terdengar.

Tatapannya kemudian jatuh pada cincin di jari manisnya. Senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Masa depan yang indah melintas dalam pikirannya: ia, Ethan, dan kebahagiaan yang ia yakini mutlak.

“Aku akan mengantarkanmu pulang,” kata Ethan begitu piringnya kosong.

Celine menggeleng cepat. “Tidak perlu, Ethan. Aku pulang sendiri saja. Aku tidak mau calon suamiku berubah jadi zombie karena tidak cukup tidur.”

Gadis itu mengucapkannya dengan serius, seolah benar-benar membayangkan Ethan dengan lingkar mata ungu yang menyeramkan dan tangan terentang.

Ethan mengusap bibirnya dengan serbet, lalu tanpa peringatan mencondongkan tubuh dan mengerang kuat di depan wajah Celine seperti zombie yang sempat dibayangkan wanita itu.

“Aaaaa!” Celine memekik, hampir terjungkal dari kursi.

Ethan tertawa lepas, begitu tidak biasa hingga tampak asing bahkan bagi dirinya sendiri.

Celine memelototinya sambil menepuk dadanya sendiri. “Ethan jahat…” gumamnya, pipinya menggembung imut.

Ethan mengacak rambutnya gemas, entah bagaimana lelah di pundaknya luntur begitu saja.

Celine menatapnya lekat, “Jangan tertawa begitu pada wanita lain, Ethan. Aku tidak ingin mereka jatuh cinta padamu.”

Kalimat itu sederhana, tetapi nadanya begitu tulus hingga menusuk sesuatu di dalam diri Ethan.

------

Ariana meraih lengan Sean, matanya bersinar menang. Tawa lepas Ethan menggema hingga ruang keluarga.

“Kau dengar itu? Bagaimana bisa kau meragukan Ethan mencintai Celine? Anak itu tidak pernah tertawa seperti itu bersama orang lain.”

Sean mengembuskan napas berat, menyerah pada kenyataan yang tidak bisa ia bantah.

“Baiklah… kau menang, Sayang.”

Ariana mengangkat dagu angkuh. “Bagus kalau kau mengakui kekalahan. Artinya tidak ada jatah malam ini, Papa.”

“Apa?” Sean langsung menoleh tidak percaya.

Ariana berjalan pergi tanpa menoleh, vonis sudah diputuskan tanpa bisa diintervensi.

“Ariana sayang, tunggu… kau tidak bisa memutuskannya begitu saja.”

Sean langsung menyusul di belakang, tanpa peduli lagi pada elegansi seorang pria kepala keluarga.

-----

“Tidak perlu. Aku akan mengantarkannya sendiri,” ujar Ethan datar.

Jerry menunduk hormat, menyerahkan kunci mobil tanpa bantahan. Ethan berjalan memutari mobil dan membuka pintu untuk Celine terlebih dahulu.

“Selamat malam, Paman.” ucap Celine lembut sebelum masuk mobil.

“Selamat malam, Nona Muda.”

Jerry tersenyum tipis, matanya mengikuti mobil hitam itu sampai lenyap melewati gerbang besi. Dalam hati ia berdoa agar cinta Celine yang begitu setia menemukan rumahnya di hati tuannya. Ia telah menyaksikan terlalu banyak perjuangan dalam hidup Ethan dan terlalu banyak ketulusan dalam diri Celine.

Beberapa menit setelah mobil melaju, ponsel Ethan bergetar keras di atas dashboard. Celine meraihnya, melihat nama yang muncul di layar dengan kening mengernyit.

“Dari Sambo,” katanya.

“Angkat.”

Celine menekan tombol loudspeaker.

“Bos,” suara Sambo terdengar serak dan terburu-buru. “Kontainer Black Crate Series-47 kita tertahan di pelabuhan utara. Pintu nomor Delta-3. Mereka mengalihkan jalur GPS dan mematikan sistem pemantauan. Aku curiga ini bukan inspeksi acak.”

Black Crate Series-47, senjata custom yang dirancang oleh Amox dan diproduksi langsung oleh Redmark Arsenal di Italia.

Ethan tidak mengubah ekspresi. “Jalan ke lokasi. Aku menyusul.” katanya dingin.

“Baik, Bos.”

Sambungan terputus dengan cepat. Ethan menoleh, Celine hanya mengangguk tenang seolah panggilan itu sama normalnya dengan rencana makan malam.

Ethan menatap lurus ke depan, lalu menekan gas kuat. Mesin meraung, tenaga mobil meningkat tajam. Dalam hitungan detik, mobil meluncur seperti anak panah yang dilepas dari busurnya.

Celine membuka laci mobil, mengambil rompi anti-peluru khusus seri Specter-F tipis berwarna hitam. Dengan gerakan anggun namun terlatih ia mengenakan sendiri, lalu mencondongkan tubuh untuk memakaikan milik Ethan tanpa mengurangi kecepatan. Ia memasang kancing rompi, mengencangkan strap di bahu Ethan. Sentuhannya cekatan tapi penuh perhatian.

Gadis itu kemudian mengeluarkan ponselnya, perangkat hitam yang hanya dimiliki anggota inti Amox. Sidik jarinya menyentuh layar, dan sistem membuka peta taktis internal. Ia memperbesar area pelabuhan. Titik merah berkedip pelan di gerbang Delta-3, lokasi terakhir Black Crate Series-47 terdeteksi sebelum sinyalnya digunting paksa.

“Ambil jalur belakang,” ucapnya tanpa menoleh, jari telunjuknya lincah menggeser peta. “Gerbang utama dimatikan manual. Aku pikir dia cukup berpengalaman.”

Ethan melirik, mengikutinya dengan mata gelap. Tak ada satu pun otot wajahnya yang bergerak.

“Kau mengenalnya?” tanya Celine.

Ethan menggeleng perlahan. “Amox tidak bentrok dengan siapa pun dalam beberapa bulan terakhir.”

Celine mengangguk pelan, matanya kembali ke layar. Ia membuka fitur khusus Vault-Link, sistem yang menghubungkan langsung ke unit lapangan. Hanya lima orang yang punya akses: Ethan, Celine, Sambo, Rega dan Raga. Ia menyambungkan posisi mereka dan unit lain yang tersebar. Pada kolom enkripsi, ia mengetik satu kode untuk mengambil alih seluruh kamera pelabuhan dan memaksa rekaman real-time masuk ke jaringan Amox. Amox tidak pernah mengizinkan sedikit pun celah untuk meninggalkan jejak.

Cahaya pelabuhan mulai terlihat, lampu-lampu memancar di sekitar pantai. Celine menarik napas panjang, lalu mengenakan sarung tangan hitam yang pas mengikuti bentuk jemarinya. Tanpa ragu, ia meraih ujung gaunnya dan menariknya dengan satu gerakan cepat. Kain sutra itu terbelah bersih hingga sebatas lutut, menciptakan gaun yang jauh lebih mudah untuk bergerak.

Tatapannya berubah dingin dan fokus, seperti seorang putri bangsawan yang turun ke medan perang. Ia melihat kakinya sendiri dengan pandangan kasihan, kulitnya terlalu halus untuk dunia seperti ini.

“Aku tidak suka tangan atau kakiku tergores,” gumamnya, tonenya manja tapi berbahaya.

Ethan menoleh sekilas, pandangan yang tidak bisa dibaca.

Celine lahir untuk ruangan ballroom, bukan pelabuhan penuh darah. Namun apa pun yang terjadi, ia tetap ada di sini, bukan untuk dirinya melainkan untuk membersamai Ethan.