(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(POV Hendra) Menutupi Kebohongan
Aku tahu apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Berselingkuh padahal tahu aku punya istri yang luar biasa. Tapi, mau bagaimana lagi. Hati sama sekali tidak bisa dibohongi. Aku sudah terlanjur jatuh hati pada Dewi.
Bersama Dewi terasa menyenangkan. Tidak ada beban, setiap hari hanya diisi canda dan tawa. Dia tidak menuntut uang bulanan seperti Inara, tidak juga selalu minta diperhatikan. Dia tahu harus memosisikan dirinya bagaimana karena dia tahu---dia adalah wanita kedua.
Aku pun menjadi semakin terlena. Tidak khawatir harus memerankan peran sebagai suami yang baik disaat kenyataannya aku punya wanita lain. Karena saat aku pulang pada istriku, Dewi sama sekali tidak mengganggu. Dia tidak mengirim pesan maupun telepon, benar-benar memberiku waktu untuk berpura-pura di depan istriku.
Tapi... tak elak kadang rasa bersalah menggelayut dihati saat melihat istri dan anak-anak.
Apa aku sudah sangat kelewatan, ya?
Ah, sudahlah. Lagipula aku tidak benar-benar melupakan mereka. Aku hanya sedikit bersenang-senang diluar saja. Itu wajar untuk laki-laki, kan?
Sejak saat itu pula, aku dan teman-temanku yang biasanya memesan room karaoke tanpa LC, mulai menyewa LC. Berkali-kali mereka menyewa perempuan-perempuan itu, berganti-ganti juga orang yang datang. Memang pada dasarnya laki-laki itu begitu---ingin bersenang-senang selagi punya uang. Tapi, aku tidak. Cukup Dewi saja yang menemani aku. Tidak perlu yang lainnya.
"Lagi?"
Dewi tersenyum manis sambil menawarkan segelas alkohol ditangannya. Malam ini kami memang bersenang-senang di room karaoke lagi. Teman-temanku berdiri dan bernyanyi dengan ditemani oleh para perempuan itu, sedang aku hanya duduk di sofa bersama Dewi.
Ya, beginilah yang aku mau. Kalau mau minum, ya minum. Jangan dilarang-larang. Tapi Inara berbeda. Kalau aku minum, dia langsung marah. Kurayu pun tidak mempan. Padahal aku hanya minum alkohol saja, bukannya KDRT padanya. Itulah yang kadang membuatku malas.
Aku tersenyum pada Dewi dan mengambil segelas alkohol ditangannya.
"Tentu." kataku.
Kami pun minum bersama.
Inilah senangnya bersama Dewi. Dia tidak mengatur, tidak melarang, bahkan ikutan. Kurasa aku semakin jatuh cinta padanya.
Karena sudah terlalu malam dan aku pun habis minum alkohol, akhirnya aku tidak pulang ke rumah. Ku kirim saja pesan ke nomor Inara untuk memberitahunya bahwa aku harus menginap di luar karena lama mengantri solar. Bohong, memang. Tapi Inara tidak akan curiga. Dia terlalu percaya padaku soalnya.
"Mas mau pulang ke rumahku?"
Dewi tersenyum malu-malu saat melihat pesan yang kukirimkan pada istriku.
Aku tersenyum dan mengusap kepalanya dengan lembut.
"Boleh, kan, Mas nginap di rumah kamu?" tanyaku.
Dewi terkekeh pelan. Aku tahu dia tidak akan menolak. Dia, kan, pacarku.
"Tentulah boleh. Setiap malam pun boleh." katanya.
Aku jadi ikut terkekeh.
Malam itu, aku pulang ke rumahnya. Dan lagi, kami bercinta untuk kesekian kalinya.
***
"Mas, baju aku bagus, enggak? Aku baru beli, loh."
Inara tersenyum di depanku sembari memamerkan pakaian dinasnya yang katanya baru dia beli. Warnanya ungu dengan bahan mengkilap dan licin, dengan desain jaring di bagian dada.
Aku tersenyum tipis, entah mengapa merasa tidak tertarik meski dia sudah setengah telanj*ng begitu dihadapanku.
"Hm, bagus." kataku.
Inara merasa senang mendengar pujianku.
"Benar bagus, kan? Mas enggak cuma sekedar mau menyenangkan aku?" tanyanya.
Aku lagi-lagi hanya tersenyum tipis saja.
Inara kemudian mendekat. Dia mencoba merayuku dengan pakaiannya itu sambil bergelayut di lenganku. Lagipula, ini memang malam Jumat.
"Mas..."
Dia berbisik pelan di dekatku. Biasanya aku akan merasa tergoda, namun sekarang---entahlah. Sepertinya aku malah semakin malas berdekatan dengannya. Aku sama sekali tidak membual, tapi... dia benar-benar tidak terlihat menarik lagi di mataku.
Bahkan si Joni pun tidak terbangun sama sekali melihat pemandangan itu.
Tunggu, apakah ini efek samping karena kemarin malam aku sudah diperas habis oleh Dewi?
"Dik---"
Aku menahannya agar dia tidak semakin mendekat.
Inara menatapku, bingung.
"Kenapa, Mas?" tanyanya.
Aku ingin sekali menurutinya saja agar semuanya lekas selesai dan dia pun tidak curiga. Tapi, aku tidak bisa. Bagaimana aku melakukannya jika nafsu untuk bersama dengannya saja tidak ada?
"Dik, jangan sekarang, ya? Mas capek." kataku.
Inara terlihat kecewa. Kami memang jarang melakukannya, paling hanya seminggu sekali. Dan sekarang aku malah menolaknya. Wajar jika dia begitu.
"Yaudah kalau Mas capek, istirahat aja." katanya.
Aku menghela napas lega tanpa sadar. Untung saja istriku itu tidak penasaran.
"Hm, kamu benar. Makasih banyak udah mau mengerti, Dik." kataku.
Kami pun kembali rebahan diatas ranjang. Aku masih bisa melihatnya yang kecewa karena malam ini kami tidak jadi melakukan apa-apa padahal dia sudah persiapan begitu, tapi... ah, biarlah. Inara pasti mengerti.
Kami akhirnya benar-benar tidur. Murni tidur tanpa melakukan apapun, meski ini adalah malam Jum'at---malam yang seharusnya menjadi waktu kami melakukan sunnah rasul.
Untuk membuatnya tak curiga sekaligus menyenangkan hatinya, beberapa hari kemudian aku mengajak Inara dan putri kami Gita untuk malam mingguan. Gita jelas kesenangan, begitupun dengan Inara.
Kami pergi ke sebuah taman bermain yang hanya buka saat malam. Disana ada banyak wahana permainan dan pedagang makanan. Selama menunggu Gita bermain di rumah balon, aku pun duduk-duduk bersama istriku sambil menikmati makanan yang kami beli barusan.
Kami membicarakan banyak hal--- meskipun sebenarnya itu tidak penting, menunggu anak sel selesai bermain. Tapi, kenapa rasanya aku benar-benar kehilangan minat untuk melakukan hal ini dengannya, ya? Bahkan saat melihat wajahnya saat ini pun, yang kubayangkan justru Dewi yang berada di hadapanku ini.
Gita selesai bermain satu jam kemudian. Bosan bermain di taman, kami pun memutuskan pergi ke sebuah kafe. Sengaja aku memesankan banyak menu. Inara dan Gita pun semakin senang melihat itu.
"Ayah lagi banyak uang, Bunda? Tidak biasanya kita ditraktir banyak." kata Gita.
Aku tertawa pelan.
Memang benar, biasanya aku agak perhitungan kalau masalah uang. Tapi sekarang... tidak apa-apa, lah. Lebih baik aku keluar uang agak banyak, daripada hubunganku dan Dewi ketahuan.
"Iya, Git. Makanya Gita do'akan ayah supaya makin lancar rezekinya, ya. Biar kita bisa main-main kayak gini terus dan makan banyak makanan yang kita mau sepuasnya." kataku.
"Aamiin. Semoga dikabulkan, Ya Allah." kata putriku.
Aku pun terkekeh pelan. Tanganku mengacak-acak rambutnya, membuat dia berteriak kesal. Putriku sangat menggemaskan.
Pesanan kami datang beberapa menit kemudian. Gita memakan kentang goreng kesukaannya sembari berceloteh dengan ibunya, sementara aku menyesap kopi yang ku pesan.
Bagus, mereka tidak boleh sampai tahu hubunganku dengan Dewi.
***
Cerita ini bakal up dua hari sekali, ya.
Tapiii... pantengin terus cerita ini, supaya enggak ketinggalan lanjutannya 😘
Jangan lupa like, komen, dan subscribe juga. Vote dan gift kalau enggak keberatan, author gak nolak hahaha 🙈
See you tomorrow~