Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Suasana di studio syuting pagi itu penuh dengan energi kreatif yang tertata rapi. Lampu-lampu sorot besar telah dipasang, menciptakan pencahayaan artifisial yang sempurna untuk adegan "dreamscape" yang diinginkan sutradara. Latar belakang green screen yang sangat besar terbentang, siap diisi dengan efek digital nantinya.
Di suduh ruangan, tim Arya Nata sudah sibuk sejak tiba. Koko, asisten pribadinya yang selalu tampak efisien, dengan cermat mengatur beberapa set pakaian yang akan digunakan Arya di rak gantung portabel. Setiap pakaian—mulai dari kaus distro yang sobek strategis hingga kemeja linen yang mahal—dibungkus dengan plastik pelindung dan diberi label adegan.
Tak jauh dari sana, Jessy sudah duduk di kursi rias. Kursi itu nyaman, menghadap ke cermin besar yang dikelilingi bola lampu. Seorang makeup artist bernama Sisi—perempuan paruh baya dengan tangan yang sangat terampil—sedang serius memoles wajah Jessy. Kuas-kuas halus menari di kulitnya, menciptakan ilusi kecantikan alami yang flawless untuk kamera.
"Dipertebal sedikit contouring di tulang pipi, biar dimensinya keluar di kamera," bisik Sisi pada asistennya sambil terus bekerja.
Jessy menatap bayangannya sendiri di cermin. Dia terpesona oleh transformasi yang terjadi. Wajahnya yang sudah cantik kini disempurnakan, membuatnya terlihat seperti benar-benar makhluk dari mimpi—sempurna, namun tidak nyata. Dia bisa merasakan debu foundation dan bedak yang menempel di pori-porinya, sebuah sensasi asing yang mengingatkannya bahwa ini bukan dunia nyata.
"Oke, kita mulai dengan adegan pertama! Adegan perpustakaan!" teriak Bagus, sang sutradara, melalui pengeras suara.
Syuting pun dimulai. Arya Nata langsung berubah total begitu mendengar kata "action". Ekspresinya yang ramah dan hangat tadi berubah menjadi tatapan penuh kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Dia berjalan di antara rak-rak buku palsu, matanya mencari-cari sesuatu.
Jessy, yang harus muncul dari balik rak buku dan menatapnya selama beberapa detik sebelum menghilang, merasa gugup. Saat kamera utama (yang besar dan intimidatif) berputar ke arahnya, dan lampu sorot yang panas menyinarinya langsung, dia merasa lidahnya kaku.
"Cut!" teriak Bagus. "Jessy, tatapanmu kosong. Bukan takut. Ini longing, kerinduan! Seperti kamu melihat sesuatu yang sangat kamu cintai tapi tahu itu tidak nyata. Oke, ulang!"
Jessy mengangguk, menelan ludah. Dia mencuri pandang ke Arya, yang hanya memberikan senyum kecil yang menenangkan. "Santai aja, kamu pasti bisa," bisiknya sebelum kembali ke posisi.
Pengambilan kedua. Jessy mencoba lebih fokus. Tapi saat dia harus berjalan menghilang di balik rak buku, langkahnya terasa kaku dan tidak natural.
"Cut! Jessy, jalanmu kayak robot! Lebih flowy, lebih ringan! Seperti hantu! Oke, ulang!"
Kali ketiga. Jessy mulai merasa berkeringat dingin. Tekanan untuk tampil sempurna di depan kru profesional dan seorang superstar mulai membebani. Dia salah langkah dan hampir tersandung kabel lampu.
"Cut!" Bagus terdengar sedikit frustrasi. "Istirahat dulu 5 menit! Jessy, tarik napas dalem-dalem!"
Jessy merasa wajahnya memerah karena malu. Dia berjalan ke pinggir set, merasa ingin menyembunyikan diri.
"Hey," suara Arya yang dalam membuatnya menoleh. "Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Ini hari pertama kamu. Aku aja dulu pertama kali syuting, satu adegan bisa sampai 20 kali ulang," ujarnya dengan santai, sambil menyerahkan botol air mineral padanya. "Yang penting relax dan nikmati prosesnya."
Kata-kata Arya yang tidak menyalahkan justru membuat Jessy merasa lebih tenang. "Terima kasih, Mas Arya."
Setelah istirahat singkat, syuting dilanjutkan. Dengan perasaan yang lebih rileks, Jessy akhirnya berhasil melewati adegan perpustakaan itu dengan baik. Bahkan Bagus memujinya, "Nah, gitu dong! Bagus, Jessy!"
Saat waktu istirahat makan siang tiba, Jessy merasa perlu menghirup udara segar dan mendengar suara Rayyan. Dia mencari tempat yang sepi dan akhirnya menemukan area parkir mobil di belakang studio. Dia berdiri di antara barisan mobil, mencari spot yang tidak terlalu mencolok.
Tepat saat dia akan menekan nomor Rayyan, telinganya menangkap suara yang dikenalnya. Suara itu kasar, marah, dan sama sekali berbeda dengan suara lembut Arya di set tadi. Sumber suara itu tepat di balik sebuah mobil sedan hitam yang terparkir.
"Kapan lo balik, Vay?!" bentak Arya dalam panggilan telepon. Suaranya mengandung amarah yang meledak-ledak. "Gue nggak mau tau! Pokoknya pas gue balik, lo harus udah ada di rumah!"
Jessy membeku. Dia bisa mendengar suara perempuan dari speaker telepon yang membalas dengan nada sama tingginya, meski kata-katanya tak jelas. Arya tampak semakin murka.
"Vay! Avaya!" teriaknya, suaranya pecah oleh emosi sebelum panggilan itu sepertinya diputus dari pihak lain.
Dengan gerakan kasar, Arya melemparkan ponselnya ke jok mobil. "Punya istri satu aja susah banget diatur!" gerutunya kesal, suaranya rendah namun masih cukup jelas terdengar oleh Jessy yang bersembunyi.
Istri?
Kata itu seperti petir di siang bolong. Jessy buru-buru merunduk dan bersembunyi di balik sebuah mobil SUV besar yang terparkir beberapa meter jauhnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena informasi mengejutkan yang baru saja dia dengar. Avaya? Siapa itu? Bukannya Arya belum menikah? Bukannya pacarnya Sherlin?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Dia mencoba mengingat-ingat semua berita dan gosip yang pernah dia baca. Tidak ada satu pun yang menyebutkan nama Avaya. Semua media menyoroti hubungan Arya dengan Sherlin.
Setelah beberapa saat mengumpulkan amarahnya, Arya akhirnya meninggalkan area parkir dengan langkah cepat dan tegas, wajahnya masih berkerut.
Jessy keluar dari persembunyiannya, perasaan campur aduk. Dia baru saja menyentuh sisi gelap dari dunia gemerlap yang selama ini dia kagumi.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia akhirnya menekan nomor Rayyan.
"Udah selesai syutingnya?" tanya Rayyan, suaranya hangat dan akrab, seperti penawar bagi kegelisahannya.
"Belum. Masih ada beberapa kali pengambilan gambar. Soalnya tadi aku sempet salah beberapa kali," jelas Jessy, berusaha terdengar normal.
"Maaf ya aku nggak bisa nemenin kamu," ujar Rayyan, suaranya mengandung rasa bersalah.
"Nggak papa, sayang. Kamu cepet selesaiin deh skripsi kamu biar kita bisa cepet jalan berdua lagi," keluh Jessy, merindukan kencan sederhana mereka di pasar malam.
"Iya, sayang. Minggu depan aku udah sidang kok," jelas Rayyan.
"Nanti pas kamu sidang, aku mau temenin ya," pinta Jessy, ingin ada di sana untuk momen penting Rayyan.
"Iya... Iya..." kekeh Rayyan, dan Jessy bisa membayangkan senyum kecil di wajahnya.
Saat menutup telepon, Jessy menatap gedung studio yang megah. Di balik dindingnya yang kokoh, tersimpan rahasia dan drama yang tak terhitung. Dan dia, tanpa sengaja, baru saja mengintip salah satunya.
***
Mata Maryam yang penuh perhatian tak lepas mengamati perubahan halus pada putra semata wayangnya. Selama beberapa hari terakhir, ada cahaya berbeda di wajah Rayyan yang biasanya dingin dan serius. Dia lebih sering terlihat melamun, sesekali senyum tipis mengembang di bibirnya saat menatap layar ponsel, jempolnya bergerak lincah mengetik balasan.
Suatu sore, di ruang tamu kecil mereka yang sederhana, Maryam mendekati Rayyan yang sedang duduk di sofa. "Nak, kayaknya lagi seneng banget," ujarnya, suara lembut penuh keibuan, sambil duduk di sampingnya.
Rayyan terkejut. Dengan refleks cepat, dia menutup aplikasi chat yang sedang terbuka, menutupi foto Jessy yang tersenyum cerah di layar ponselnya. Ada rasa bersalah yang menyergap, seperti anak kecil yang ketahuan menyimpan rahasia.
"Iya, Bu, seneng aja bentar lagi skripsi Rayyan selesai," jawabnya, berusaha terdengar natural sambil mencondongkan tubuh menjauh sedikit. Itu bukan kebohongan penuh, tapi jelas bukan sumber kebahagiaannya yang sesungguhnya.
Maryam mengamati wajahnya yang berusaha netral. Sebagai seorang ibu, dia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi dia hanya tersenyum, menepuk paha Rayyan. "Syukur deh. Ibu ikut seneng." Namun, ada kecurigaan kecil di matanya yang tajam. Kebahagiaan Rayyan belakangan ini terasa berbeda, lebih personal, seperti miliknya sendiri.
Dia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Yan, kalau nanti udah selesai kerjaannya, temenin ibu ke rumah Bu Yayah, ya," pinta Maryam. "Mau antar pesenan roti untuk arisan besok."
"Iya, Bu," jawab Rayyan lembut, merasa lega dengan perubahan topik. Dia tidak menangkap nada harapan terselubung dalam suara ibunya.
Malam itu, pukul setengah tujuh, mereka sampai di sebuah rumah sederhana namun terawat rapi di lingkungan yang sama. Begitu pintu terbuka, seorang gadis berkerudung berdiri di baliknya. Dia cantik dengan caranya sendiri—wajahnya oval, kulitnya kuning langsat, dan matanya besar dan jernih. Senyumnya lembut dan sopan.
"Eh, Asya. Tambah cantik aja," puji Maryam, wajahnya langsung berseri. Dia masuk sambil menepuk pundak gadis itu dengan akrab. "Ini Asya, Yan, anaknya Bu Yayah," perkenalannya kepada Rayyan mengandung sedikit kebanggan, seolah memperlihatkan sebuah permata berharga.
Rayyan mengangguk sopan. "Rayyan," ucapnya singkat.
Asya membalas dengan senyum malu-malu, tangannya yang ramai menyalami Maryam. "Sehat, Bu Maryam? Mari masuk." Tatapannya sesekali melirik Rayyan, lalu cepat-cepat menunduk, pipinya memerah.
Mereka dipersilakan masuk ke ruang tamu yang sederhana. Bu Yayah, wanita setengah baya dengan wajah yang mirip Asya, menyambut mereka dengan hangat. Maryam langsung menyerahkan kotak berisi roti pesanan.
"Sengaja saya bawa Rayyan, biar kenal sama tetangga," ujar Maryam pada Bu Yayah, sambil melirik ke arah Rayyan dan Asya yang duduk berhadapan dengan agak kikuk.
"Wah, anak Ibu sudah gede dan ganteng ya," puji Bu Yayah, matanya berbinar melihat Rayyan. "Asya juga, lho, baru kuliah S1 Pendidikan, sekarang ngajar di TPQ. Anaknya pendiam tapi baik hati kok."
Rayyan hanya tersenyum tipis, rasa tidak nyaman mulai menggelayuti. Dia bisa merasakan arah pembicaraan ini. Ibunya dan Bu Yayah seperti dua sutradara yang sedang mempertemukan dua pemain utama dalam sebuah sandiwara penjodohan.
"Rayyan juga, Bu, anaknya soleh dan pintar. Sekarang lagi selesai skripsi, udah diterima kerja di perusahaan bonafit," balas Maryam, tak kalah bersemangat.
Asya semakin malu, jarinya memainkan ujung kerudungnya. Tapi matanya, sesekali menatap Rayyan, memancarkan ketertarikan yang tak bisa disangkal. Siapa yang tidak tertarik pada Rayyan? Pria tampan dengan aura kecerdasan dan ketenangan yang memikat.
Rayyan merasa terjebak. Dia ingin bersikap jujur, mengatakan bahwa hatinya sudah terisi. Tapi dia tidak tega. Melihat harapan di mata ibunya, melihat rasa malu dan polos di wajah Asya, dan menghormati keramahan Bu Yayah, dia memilih untuk bersikap baik dan sopan. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan ringan dengan ramah, tersenyum, dan menjaga percakapan tetap mengalir.
Namun, sikapnya yang baik itu disalahtafsirkan. Bagi Maryam, itu adalah tanda bahwa Rayyan tidak menolak. Bagi Bu Yayah, itu adalah sinyal positif. Dan bagi Asya, senyum dan perhatian Rayyan yang sopan itu dianggap sebagai bentuk ketertarikan. Hatinya berbunga-bunga, membayangkan masa depan dengan pria tampan dan berprestasi di depannya.
"Rayyan, lain kali main-main ke sini, ya. Asya masaknya enak," ajak Bu Yayah.
"Iya, Yan, Asya jago masak tradisional," tambah Maryam dengan bangga.
Rayyan hanya mengangguk, senyumnya terasa kaku. "Siap, Bu. Terima kasih." Di dalam hatinya, konflik berkecamuk. Dia terjepit antara keinginan untuk membuat ibunya bahagia dan kesetiaannya pada Jessy. Setiap senyuman yang dia berikan pada Asya terasa seperti pengkhianatan, setiap kata ramahnya seperti membangun harapan palsu.
Saat mereka akhirnya berpamitan, Maryam memandangnya dengan mata berbinar. "Asya cantik dan baik ya, Nak?" bisiknya di perjalanan pulang.
Rayyan hanya menghela napas, menatap jalanan yang gelap di depan. "Iya, Bu," gumannya, hampa. Dia tahu, sandiwara ini harus segera berakhir, sebelum semakin banyak hati yang terluka. Tapi bagaimana caranya melukai perasaan ibunya yang sudah berkorban segalanya untuknya? Dilema itu membebani pundaknya, lebih berat dari oven mana pun yang pernah dia angkat.
***
Udara malam yang lembap menyelinap melalui jendela kamar kos Rayyan yang sedikit terbuka, namun tidak mampu mendinginkan kegelisahan yang membara di dalam dadanya. Dengan tubuh lelah, ia merebahkan diri di atas kasur single yang keras, mata tertuju pada langit-langit kamar yang kosong dan berdebu.
Dengan gerakan lamban, jari-jarinya yang panjang membuka ponselnya. Layar menyala, memancarkan cahaya yang menerangi kegelapan dan wajahnya yang tampan namun penuh beban. Di sana, tersimpan foto Jessy—diambil diam-diam saat gadis itu sedang asyik memilih buah di pasar tradisional, senyum lepasnya merekah, matanya berbinar seperti dua permata hazel yang menangkap cahaya mentari. Kecantikannya begitu alami, begitu hidup, begitu kontras dengan kesederhanaan kamar ini.
"Aku harus gimana, Jes?" gumamnya, suara serak berbisik ke dalam kesunyian. Kata-kata itu menggantung, tak terjawab, seperti debu yang menari di bawah sinar bulan yang menyelinap masuk.
Pikirannya berputar liar, menyusuri lorong-lorong kenangan dan penyesalan. "Aku salah ya, udah jatuh cinta sama kamu?" desisnya, seolah mencoba mencari pembenaran atas gejolak di hatinya. "Harusnya dari awal aku mundur dan tetap benci sama kamu." Bayangan insiden di kedai roti ibunya, tatapan merendahkan Jessy, dan uang yang beterbangan seperti sampah, kembali menghantuinya. Itu adalah alasan yang kuat, tembok kokoh yang seharusnya melindunginya.
Tapi kenapa tembok itu kini runtuh berantakan? "Kenapa sekarang aku malah benar-benar cinta sama kamu?" Suaranya pecah, penuh dengan rasa putus asa yang dalam. Cinta itu telah tumbuh, liar dan tak terbendung, seperti akar yang merambat di sela-sela batu karang, menghancurkan segala prinsip dan kebencian lama.
Pandangannya beralih dari layar ponsel ke pintu kamarnya yang sederhana. Seolah-olah pandangannya bisa menembus kayu yang padat, melintasi ruang tamu yang sempit, dan sampai ke kamar ibu di seberang. Dia membayangkan wajah Maryam yang lelah namun selalu lembut, wanita yang telah mengorbankan segalanya untuknya.
"Bu," bisiknya, suara bergetar penuh kesedihan yang tertahan, seolah ibunya bisa mendengarnya. "Rayyan cinta sama Jessy." Pengakuan itu terasa pahit di lidahnya, sebuah kebenaran yang harus disembunyikan.
Dia memejamkan mata, membayangkan reaksi ibunya. Wajah yang biasanya penuh kasih sayang, berubah menjadi kecewa, terluka, mungkin bahkan marah. "Rayyan tau ibu benci Jessy." Kenangan itu seperti pisau yang mengoyak-oyak hatinya. Dia tahu, betapa dalam luka yang ditinggalkan Jessy di hati Maryam. Tapi... "Tapi Rayyan..." ucapnya, suaranya terputus, tak mampu melanjutkan. Ada begitu banyak yang ingin dia katakan—tentang Jessy yang telah berubah, tentang cinta yang tulus yang dia rasakan, tentang kebahagiaan yang ditemukannya.
Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya, terperangkap oleh rasa bersalah dan pengabdian pada wanita yang telah membesarkannya seorang diri. Rasanya seperti dia terjepit di antara dua tebing, keduanya sama-sama penting, sama-sama mencintainya, namun tak mungkin disatukan.
Dengan putus asa, Rayyan mendekap erat ponselnya ke dadanya. Layarnya yang masih menyala, dengan foto Jessy yang tersenyum, terhimpit di antara dinding dadanya yang keras dan telapak tangannya yang berkeringat. Seakan-akan dengan memeluk erat gambar itu, dia bisa memeluk Jessy sendiri, menemukan kekuatan dari cinta mereka yang terlarang.
Dia memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha menahan air mata yang mengancam akan tumpah. Dalam kegelapan di balik kelopak matanya, dia berharap, dengan segenap jiwa dan raganya, bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Bahwa ketika dia membuka mata esok pagi, segalanya akan berubah. Jessy dan ibunya sudah berbaikan, tertawa bersama di teras kedai roti, menerima kehadiran masing-masing dengan lapang dada.
Tapi ketika dia membuka matanya, yang ada hanyalah kegelapan kamar kosnya yang sunyi, dan beban berat di pundaknya yang tak kunjung hilang. Dilema itu tetap ada, menggerogoti, menunggu untuk dihadapi—sebuah pilihan yang, bagaimanapun juga, akan melukai salah satu wanita yang paling dia cintai dalam hidupnya.
kudu di pites ini si ibu Maryam