NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:537
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

Nathan berdiri di depan cermin, menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan. Kemeja hitamnya sudah rapi, celana bahan gelap menjuntai pas, dan rambutnya disisir asal. Gaya andalan yang terlihat santai tapi tetap enak dipandang. Di meja rias, ponselnya disandarkan pada botol parfum, memperlihatkan wajah Kayla di layar yang sedang duduk di ranjang dengan rambut diikat asal dan ekspresi mengantuk.

"Jadi ini kamu siap-siap buat... dinner romantis?" tanya Kayla setengah mengejek, menguap sambil menyandarkan dagu ke lutut.

"Ngledek aja terus. Pesta lajang mana ada romantis?"

"Pesta lajang pasti yang ada joget-joget norak itu," kata Kayla dengan mata tuduhan.

Nathan tertawa pelan. "Tenang, bukan yang gitu. Ini cuman makan-makan di lounge biasa. Temen aku ini anaknya kalem, Sayang. Nggak usah Khawatir. Aku udah nggak pernah kembali ke kebiasaan aku dulu kok."

Kayla hanya mendengus kecil, "Kalau nanti kita nikah, aku juga mau deh bikin pesta lajang. Tapi versiku ya. Yang ada karaokean, nyebur kolam, lempar-lempar bantal…"

Nathan menghentikan gerakannya sejenak. Ada jeda beberapa detik sebelum ia bicara lagi. Suara Kayla memang terdengar santai, tapi di telinganya ada sesuatu yang menancap. Kata 'nikah' itu. Seolah mengingatkannya bahwa meski saling mencintai, jalan mereka belum bisa segera menyatu. Bukan karena tidak mau, tapi kesiapan diri dan juga keadaan belum mendukung hal besar itu terjadi dalam waktu dekat.

"Kamu udah siap nikah? Nikah itu nggak cuman aku kerja dan kamu di rumah. Banyak yang harus disiapkan, Sayang. Mungkin secara finansial kita berdua sama-sama siap, tapi kesiapan mental juga sama pentingnya."

Kayla tidak langsung menjawab. Matanya menatap layar, memperhatikan wajah Nathan yang kini duduk di tepi ranjang sambil memasang kaus kaki.

"Hm, aku paham," Kayla mengangguk pelan. "Sebenarnya aku udah merasa siap. Tapi kayaknya, yang belum siap itu kamu. Nggak apa-apa. Aku bisa nunggu. Aku tahu kamu lagi berproses untuk sampai ke titik itu."

Nathan tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke arah kamera. "Makasih ya, Sayang. Buat pengertian kamu, buat kesabaran kamu, buat semuanya. Aku nggak tahu di luar sana ada perempuan yang lebih baik atau nggak, tapi yang jelas... buat aku, kamu perempuan terbaik setelah Mama."

Ia menarik napas, lalu melanjutkan pelan. "Dan aku bersyukur, karena yang nemenin aku sekarang adalah kamu."

Kayla hanya tersenyum kecil. "Iya, aku juga bersyukur sampai di titik ini sama kamu. Yaa, walaupun jalannya nggak mudah. Banyak hal dari diri kita yang harus diperbaiki demi kebersamaan kita di hari-hari berikutnya."

Nathan mengangguk setuju. Lalu suara notifikasi terdengar dari ponsel Nathan.

[Buruan!]

Nathan melirik layar dan menghela napas. "Davin udah chat terus, Sayang. Aku berangkat dulu, ya."

"Jangan pulang malem-malem. Dan jangan mabuk." Kayla menunjuk layar dengan ekspresi pura-pura galak.

"Siap, komandan,”"sahut Nathan sambil memberi hormat bercanda, lalu mencium ujung jarinya dan mengarahkannya ke layar. "Love you."

"Love you too. Hati-hati di jalan, ya."

***

Lounge tempat acara diadakan berada di rooftop sebuah hotel butik di pusat kota. Pencahayaan hangat, musik akustik ringan, dan angin malam yang berembus lembut membuat suasana terasa nyaman. Tamu-tamu datang dengan dress code semi-formal, sebagian besar adalah teman-teman lama dari masa kuliah si calon pengantin pria, Reno.

Davin sedang berdiri di dekat minibar, menyesap mocktail sambil mengamati keramaian. Saat melihat Nathan datang, ia langsung mengangkat gelasnya dan menghampiri.

"Bro, akhirnya nongol juga!" Davin menyambut dengan tos cepat. "Gue kira lo bakalan ngaret kayak biasanya."

"nggak lah, CEO kok ngaret," Nathan berseloroh sambil melirik sekeliling. "Mana si Reno?"

"Di sana, tuh." Davin menunjuk ke arah seorang pria dengan jas biru muda, yang sedang tertawa bersama beberapa temannya. Wajahnya sumringah, tapi dari sorot matanya terlihat jelas, campuran bahagia dan gugup.

Mereka berjalan mendekat dan ikut nimbrung dalam obrolan. Setelah beberapa basa-basi dan canda ringan, suasana mulai mencair. Reno akhirnya berdiri dan mengetuk gelas, mencoba menarik perhatian.

"Guys, makasih banget udah dateng malam ini. Gue tahu ini bukan acara yang fancy banget, tapi kehadiran kalian cukup buat bikin gue ngerasa dikuatkan buat masuk ke dunia pernikahan. Jujur, gue deg-degan. Tapi ya, gue yakin. Karena cewek yang bakal gue nikahin itu... satu-satunya orang yang bisa nerima gue seutuhnya."

Tepuk tangan dan sorakan terdengar. Reno mengangkat gelasnya. "Semoga semua dari kita juga bisa nemuin orang yang tepat dan... siap."

Kalimat terakhir itu terasa menggema di kepala Nathan. Ia menatap ke arah gelas di tangannya, lalu beralih ke pemandangan kota malam yang terhampar di hadapannya. Angin malam membelai rambutnya, tapi pikirannya terhenti di wajah Kayla.

Nathan merasa sudah menemukan wanita yang tepat, hanya saja terlalu banyak rintangan untuk mengambil langkah seperti Reno.

"Lo kenapa bengong?" Davin menepuk bahunya ringan.

Nathan mengembuskan napas, lalu memiringkan gelas di tangannya. "Gue bingung, Vin."

"Bingung apaan?"

"Diem-diem bokap bangun bisnis di Kanada. Gue juga nggak tahu mulai pembangunan kapan, karena lu tahu sendiri kan gue dulu kayak gimana? Mana ngurusin gue urusan bokap. Sekarang semuanya udah siap, tinggal nunggu gue buat buka itu tempat bisnis. Tapi waktu gue juga nggak lama."

"Terus yang jadi masalah? Kayla? Dia nggak mau LDR? Emang lo berapa lama di sana?"

"Dua tahun. Justru gue belum bilang ke Kayla. Gue bingung ngomongnya gimana. Gue nggak siap sama jawaban dia, entah mau atau enggak. Nggak tahu kenapa gue kayak nggak siap aja sama jawaban dia. Hubungan gue sama Kayla baru aja baik setelah banyak banget masalah yang mampir di hubungan kita."

Davin tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap ke arah langit kota yang bertabur lampu, seolah memikirkan sesuatu yang dalam. Lalu ia berbicara, pelan dan tanpa tekanan.

"Dua tahun itu... bukan waktu yang sebentar."

Nathan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, pelan.

"Ada orang yang bisa nunggu, ada juga yang... nggak tahu harus gimana saat ditinggal. Nggak semua orang kuat, bukan karena mereka nggak cinta, tapi karena mereka terlalu sayang buat dibiarkan sendiri." Davin menyesap minumannya, tanpa menatap Nathan. "Kadang justru rasa sayang itu bikin mereka lebih cepat... berubah."

Nathan melirik sekilas ke arah temannya. Nada suara itu tidak menyalahkan, tidak juga mengarah ke Kayla secara langsung. Tapi efeknya seperti riak di air. Pelan, tapi mengguncang ke dalam.

"Gue nggak ragu sama Kayla," ucap Nathan cepat. "Dia bukan tipe orang yang gampang goyah."

"Gue percaya itu," jawab Davin, mengangguk pelan. "Gue cuma takut... lo yang nggak siap ngeliat dia berubah. Karena lo tahu sendiri, waktu bisa ngerubah siapa pun. Termasuk lo."

Kalimat itu membuat Nathan terdiam. Ia menunduk, menatap cincin kecil di jari manis kirinya. Bukan cincin resmi, hanya benda kecil yang Kayla berikan waktu ulang tahun, sebagai penanda bahwa mereka dalam perjalanan menuju sesuatu yang lebih.

"Kadang gue mikir, kenapa hidup gue harus muter sejauh ini dulu buat sampai di titik yang sekarang," gumam Nathan.

"Karena lo nggak akan ngerti nilai tenang kalau nggak pernah ngerasain chaos," jawab Davin, setengah bercanda. "Tapi ya... hidup emang gitu. Lo berubah. Dia juga berubah. Pertanyaannya, nanti kalian masih cocok nggak setelah semua itu?"

Nathan kembali diam. Untuk sesaat, suara pesta di sekeliling mereka terasa sayup, tenggelam oleh pertanyaan yang menggema di dalam kepalanya.

"Lo terlalu banyak mikir," ujar Davin akhirnya, memberi senyum ringan sambil menepuk bahu Nathan. "Mungkin lo cuma butuh... yakinin diri lo dulu. Kayla mah akan tetap Kayla, tapi lo siapnya sampai mana?"

Nathan tidak menjawab. Pandangannya kembali mengarah ke kota malam di hadapannya. Di balik gemerlap lampu, pikirannya kini makin berkabut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!