NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / CEO / Romansa
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33

Langit mulai menguning. Sinar matahari sore memantul di permukaan danau yang tenang, menciptakan kilau lembut yang menampar pelan wajah Nathan. Ia masih di sana, di tempat yang sama sejak pagi, tubuh bersandar pada batang pohon besar, pandangan kosong menatap air yang nyaris tak beriak.

Udara mulai dingin, namun ia tak bergeming. Jasnya telah kotor oleh tanah lembap, sementara jari-jari tangannya menggenggam kerikil kecil yang ia lemparkan ke danau, hanya untuk melihat riaknya menghilang dalam hitungan detik. Begitulah rasanya hatinya sekarang. Bergetar sebentar, lalu kembali sunyi, seolah permukaan tenang itu menutupi luka yang dalam.

Nathan menarik napas panjang. Suara alam di sekitarnya terdengar sayup, seolah dunia sengaja menurunkan volume agar ia bisa mendengar pikirannya sendiri. Dan suara itu justru yang paling menyakitkan.

"Siapa yang kasih tahu kamu, Kay…" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tangannya meraih ponsel, tapi berhenti di tombol daya. Ada rasa takut yang aneh, takut begitu layar menyala, semuanya akan terasa terlalu nyata. Perpisahan, kehilangan, dan semua yang tak sempat ia benarkan. Namun akhirnya, ia menekan tombol itu.

Cahaya layar menerpa wajahnya. Notifikasi masuk bertubi-tubi, berisik dan tak beraturan, tapi hanya satu nama yang ia cari. Kayla.

Tidak ada.

Nathan menatap layar itu lama, sampai cahaya sore memudar, digantikan bayangan senja. Ia tertawa pendek, getir. Jemarinya turun perlahan, napas terdengar berat. Di titik itu, ia sadar, penyesalan bisa terasa jauh lebih sunyi daripada kesepian itu sendiri.

***

Tiga hari berlalu sejak kepergian Nathan, dan ia kembali bekerja seperti biasa, menyibukkan diri agar tidak terlalu memikirkan.

Namun setiap kali menatap layar komputer, ada jeda kecil, hening yang menyesakkan di antara detak waktu dan kenangan yang belum sepenuhnya hilang. Ia sudah berhenti menunggu notifikasi dari Nathan. Bukan karena hatinya benar-benar ikhlas, tapi karena menunggu hanya akan membuatnya terus berharap.

Sore itu, Kayla duduk di meja cafe sambil menatap brosur properti di layar ponsel. Ia baru saja memutuskan untuk menjual unit apartemennya. Bukan karena tidak betah, melainkan karena setiap sudut ruangan itu menyimpan bayangan Nathan dan ia ingin memutus semua jalur yang bisa membawanya kembali.

Ia masih mencintainya, tentu saja. Tapi cinta saja tidak cukup jika selalu membuatnya kalah.

Tepat ketika ia menutup layar ponselnya, sebuah suara lembut terdengar di belakangnya.

"Masih sibuk, Kay?"

Kayla menoleh, sedikit terkejut. Davin berdiri di sana, senyum tenang yang tak berubah sejak terakhir kali mereka bicara. Sopan, ramah, tapi tetap menimbulkan rasa waspada.

"Davin? Kok bisa di sini?"

"Aku cuma kebetulan lewat. Lagi ada urusan dekat sini, terus lihat kamu…" Ia menunjuk kursi di depannya. "Boleh duduk?"

Kayla mengangguk ragu. Davin duduk, memesan kopi, lalu menatap Kayla dengan cara yang tenang namun penuh perhatian.

"Kamu kelihatan lelah," katanya pelan.

"Cuma sibuk," jawab Kayla, menahan sesak di dadanya.

"Kalau cuma sibuk, mata kamu nggak akan sesuram itu," ucap Davin, nadanya lembut tapi menusuk. Kayla menarik napas, menatap cangkir di depannya, tak tahu harus membenarkan atau menyangkal.

Davin mencondongkan tubuh sedikit, seakan membaca setiap garis di wajah Kayla.

"Ada yang bikin pikiranmu nggak tenang?" tanyanya, lembut tapi tajam.

Kayla menelan, kaget dengan ketajaman pengamatan itu. Ia menggeleng ringan, mencoba tersenyum tipis.

"Ah, nggak kok. Hanya… capek aja."

Davin mengangguk pelan, matanya tetap menatap. "Capek… atau ada yang bikin hati nggak nyaman? Kadang orang bilang capek, padahal yang sebenarnya berat itu di dalam."

Kayla menatapnya diam, merasa seolah pikirannya terbaca. Napasnya pelan, jari-jari menggenggam cangkir, mencari ketenangan.

Davin menyeruput kopi, lalu menatap Kayla lagi. "Kalau misalnya ada yang mengganggu, kamu bisa cerita. Kadang ngomong ke orang yang bukan bagian dari masalah justru bikin lega. Lagian kita kenal nggak hanya satu dua tahun."

Kayla menelan ludah. "Bukan masalah besar kok… cuma… beberapa hal aja yang bikin pusing."

Davin tersenyum tipis, anggukan kecil seakan mengiyakan, tapi sorot matanya tetap penuh perhitungan. Ia sudah mulai menebak, tanpa pengakuan langsung. Wajah Kayla yang sedikit suram dan tatapannya yang jauh cukup memberinya petunjuk.

"Ngomong-ngomong, Nathan kenapa nggak bisa dihubungi? Kalau nggak aktif ya nggak jawab kalau ditelepon. Dia udah di Kanada?"

Kayla menahan napas, memandang cangkir kopinya yang mulai dingin. Pertanyaan itu terdengar sepele, tapi cara Davin menanyakannya membuatnya sulit berbohong.

"Eh… dia… lagi nggak bisa dihubungi beberapa hari terakhir," jawab Kayla pelan. "Sibuk, mungkin. Atau… ya, aku juga nggak tahu pasti."

"Nggak tahu? Kalian nggak ribut, kan?"

Kayla menunduk sebentar, menatap permukaan kopinya. "Ya… bisa dibilang begitu," jawabnya pelan. "Kami… nggak sedang baik-baik aja beberapa hari ini."

Davin tersenyum tipis, matanya tetap menatap. "Gara-gara kepergian dia ke Kanada? Kamu udah obrolin ini sama Nathan?"

Kayla menunduk, lalu menatap kembali mata Davin. Cara Davin hadir di depannya membuatnya ingin jujur, tapi ada bayangan Nathan yang menahannya.

"Udah. Seperti biasa, jawaban klise. Takut aku nggak siap, takut aku marah, takut kecewa. Justru apa yang dia lakukan bikin aku kecewa banget. Aku merasa nggak cukup buat kenal Nathan. Aku gagal memahami dia, begitu juga sebaliknya."

Davin mencondongkan tubuh sedikit, senyumnya tipis tapi tajam, seolah sedang menyusun kata-kata hati-hati.

"Hmm… iya, aku ngerti maksudmu. Kalau dari sudut pandangku… kesalahannya bukan di kamu. Justru Nathan yang kehilangan kesempatan buat ngerti kamu, bukan sebaliknya. Kamu udah cukup sabar, cukup peduli… lebih dari yang dia mampu hargai. Jadi wajar kalau kamu merasa lelah."

Davin menyeruput kopi. "Aku cuma bilang ini karena… kadang kita butuh orang yang bisa liat nilai kita, tanpa harus terus ngejar orang yang nggak bisa liat itu."

Kayla menunduk, menatap kopi yang kini dingin. Hatinya masih terbelah antara Nathan yang jauh, dan Davin yang ada di depannya, menawarkan pemahaman.

"Jadi… kamu nggak menyesal mendengarkan aku?" tanya Kayla, sedikit menantang dirinya sendiri.

Davin tersenyum lembut. "Aku cuma dengar, Kay. Nggak lebih, nggak kurang. Tapi kadang… dengar itu cukup bikin kita merasa dimengerti, kan?"

Kayla menghela napas panjang, menatap jendela. Cahaya jingga sore menyapu wajahnya, menciptakan bayangan samar di ruangannya. Di satu sisi, hatinya masih terpaut pada Nathan. Di sisi lain, ada Davin yang seolah bisa membaca setiap bagian dirinya tanpa harus menunggu ia membuka mulut. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Kayla merasa… sedikit aman.

Tapi di balik rasa aman itu, ada bayangan Nathan yang belum ia lupakan.

1
Paradina
Lanjut kakak, seru setiap bab
no name: Terima kasih, kak. tiap hari up kok, meskipun cuma 1. hehe.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!