"KENAPA HARUS AKU SATU-SATUNYA YANG TERLUKA?" teriak Soo, menatap wajah ibunya yang berdiri di hadapannya.
*********************
Dua saudara kembar. Dunia dunia yang bertolak belakang.
Satu terlahir untuk menyembuhkan.
Satu dibentuk untuk membunuh.
*********************
Soo dan Joon adalah saudara kembar yang dipisahkan sejak bayi.
Soo diculik oleh boss mafia Korea bernama Kim.
***********************
Kim membesarkan Soo dengan kekerasan. Membentuknya menjadi seorang yang keras. Menjadikannya peluru hidup. Untuk melakukan pekerjaan kotornya dan membalaskan dendamnya pada Detektif Jang dan Li ayah mereka.
Sementara Joon tumbuh dengan baik, kedua orangtuanya begitu mencintainya.
Bagaimanakah ceritanya? Berhasilkah Soo diterima kembali di keluarga yang selama ini dia rindukan?
***********************
"PELURU" adalah kisah tentang nasib yang kejam, cinta dan balas dendam yang tak pernah benar benar membawa kemenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KEZHIA ZHOU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KECELAKAAN
Park masih menatap Soo dengan sorot mata yang tajam, seperti pisau yang siap menghujam. Napasnya memburu, seolah amarah di dadanya menyalakan bara yang sulit padam.
“KETIKA AKU MENASEHATIMU, JAWAB!! APA KAMU BISU?” teriak Park, nadanya bergetar menahan emosi.
Soo mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya, mencoba mengendalikan dirinya sendiri.
“Ini adalah rumahku. Aku mempunyai hak untuk memasukkan siapapun yang kuinginkan. Bahkan aku bisa saja menyuruhmu keluar dari rumah ini. Kau seharusnya tau itu!!” kata Soo, suaranya tegas, meski tatapannya tak sekuat biasanya.
“Apa??? Dasar pria bodoh!!” maki Park, wajahnya memerah menahan kesal.
Tanpa menunggu balasan apa pun, Park melangkah kasar, menghentakkan kakinya menuju kamar. Pintu kamar terbuka dengan keras sebelum menutup kembali di belakangnya.
Soo hanya terdiam mematung, tubuhnya masih di balik meja. Sorot matanya mengikuti punggung Park hingga menghilang.
“Ada apa dengannya..?” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Dia tidak mengerti mengapa pria paruh baya itu tiba tiba marah.
Ruangan kembali sunyi. Soo berdiri tanpa bergerak, mencoba memahami alasan Park tiba-tiba meledak sedemikian hebat. Namun di balik pintu kamar, Park sudah mengambil ponselnya dengan tangan bergetar gelisah, mencoba menghubungi seseorang yang hanya dia percayai.
Tak lama kemudian, sambungan telepon terangkat.
“Halo Tuan Kim… barusaja Detektif Jang datang ke rumah dan menemui Soo. Mereka sempat berbicara berdua entah sudah berapa lama,” lapor Park cepat, seperti seseorang yang baru saja melihat badai datang.
“Baiklah, Tuan,” ucap Park lagi setelah mendengar jawaban di seberang. Kemudian sambungan terputus, menyisakan dengusan napas berat darinya.
Park duduk di tepi ranjang, menatap lantai kosong.
Dia tau betul siapa Detektif Jang—dan itu membuat dadanya semakin gelisah.
“Dia pasti tau bahwa Soo adalah kembaran dari—” ucapannya terhenti, seolah takut melanjutkan kata-katanya sendiri.
Sementara itu, jauh dari rumah tersebut, Kim sedang duduk tenang di balik meja besar yang dipenuhi tumpukan dokumen. Senyum tipis muncul di wajahnya saat mendengarkan laporan Park.
Berbeda dengan Park yang dihantui kecemasan, Kim menikmati situasi itu seperti seseorang yang sedang menonton permainan favoritnya.
“Ini akan menjadi sangat menarik,” kata Kim lirih, bibirnya terangkat membentuk senyum penuh arti.
...****************...
Sepanjang perjalanan, Detektif Jang tak berhenti memikirkan pria bernama Soo itu. Tatapannya kosong menembus jalanan, namun pikirannya berputar tak karuan.
“Wajahnya benar-benar sama persis dengan Joon. Bagaimana mungkin? Kalau dia adalah kembaran Joon, lalu siapa bayi yang dibawa Li untuk dimakamkan waktu itu?” gumam Jang dalam hatinya, dadanya sesak oleh pertanyaan yang tak terjawab.
Ia menekan pedal gas lebih dalam, bertekad segera kembali ke kantor—dia harus bertemu Li malam itu juga. Namun ketika mobilnya memasuki persimpangan, sebuah truk tiba-tiba melaju kencang dari sisi kanan.
Tanpa sempat bereaksi—
Braaaakkk…!!!!!!!
Benturan keras menghantam tubuh mobil Jang. Segalanya terasa seperti terputus dalam sekejap.
Thin… thin… thinnn…
Klakson mobilnya terus berbunyi, macet akibat benturan. Kepala Jang terkulai di atas setir, berlumuran darah, napasnya tersengal. Mobilnya hancur di bagian depan, menabrak dinding pembatas jalan dengan keras. Suara orang-orang berteriak mulai terdengar samar di kejauhan.
...****************...
Di saat bersamaan, Li sedang duduk santai di ruangannya, mengetik laporan terkait penangkapan beberapa mafia ketika ia bertugas di Busan malam itu. Matanya fokus pada layar, jarinya menari cepat di atas keyboard.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka keras. Seorang lelaki masuk dengan wajah panik, napas terengah seolah baru saja berlari.
“Pak… pak… gawat..” katanya terbata-bata.
Li menoleh perlahan, tetap mengetik tanpa menunjukkan kepanikan sedikit pun.
“Ada apa? Katakan perlahan. Tenanglah…” ucap Li, masih menatap layar.
Namun pria itu menggeleng putus asa. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba menjelaskan lagi.
“Pak Jang.. dia… kecelakaan, pak.”
Tangan Li berhenti di udara. Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap pria itu dengan mata membesar tak percaya.
“Apa maksudmu? Detektif Jang kenapa? Coba ulangi sekali lagi,” kata Li memastikan, suaranya tegang.
Pria itu mengangguk cepat, tatapannya penuh takut.
“Iya pak. Detektif Jang mengalami kecelakaan, ada truk yang menabraknya dari arah samping,” jelasnya.
Li langsung merogoh sakunya, mengambil ponsel. Rupanya beberapa menit sebelumnya Jang sempat mengirim pesan.
Isi pesannya singkat, tetapi jelas mendesak:
[ Dimana posisi mu sekarang? Kita harus membicarakan hal yang sangat penting. Segeralah hubungi aku ]
Dada Li terasa mengencang. Ada sesuatu yang besar yang ingin Jang sampaikan… dan kini pria itu justru terbaring entah dalam kondisi seperti apa.
“Sekarang detektif Jang dibawa ke rumah sakit mana?” tanya Li dengan nada cemas.
“Polisi lalu lintas membawa detektif Jang ke Rumah Sakit Songyang, pak,” jawabnya.
Li tak menunggu satu detik pun. Ia meraih jaketnya dan langsung berlari keluar ruangan.
Seketika Li bergegas pergi meninggalkan ruangannya. Langkahnya cepat dan tergesa, hampir berlari kecil menuju parkiran. Ia langsung naik ke motornya, menyalakannya tanpa pikir panjang, lalu melaju menuju Rumah Sakit Songyang secepat mungkin. Angin malam menampar wajahnya, namun kepalanya hanya dipenuhi satu hal—kondisi sahabatnya.
Setibanya di area parkir rumah sakit, Li memarkir motornya sembarangan karena terlalu panik. Ia langsung berlari masuk ke dalam gedung, matanya mencari petunjuk arah, berusaha menemukan ruang perawatan tempat Jang dibawa.
“Pak Li..” panggil seorang pria berseragam polisi yang berdiri di dekat lorong.
Li menghentikan langkahnya dan segera mendekati lelaki itu dengan napas terengah.
“Detektif Jang sedang ditangani,” katanya.
Li menoleh ke pintu ruang operasi yang lampunya masih menyala terang. Cahaya merah kecil di atasnya membuat jantung Li semakin gelisah. Masih ada tindakan di dalam…
“Bagaimana kejadiannya?” tanya Li, suaranya tegang dan berat.
Pria berseragam itu menarik napas panjang lalu mulai menjelaskan kronologi kejadian dengan suara serius.
Ketika detektif Jang sedang melajukan mobilnya, tiba-tiba dari arah kanan muncul sebuah truk barang yang melaju dengan kecepatan tinggi dan langsung menghantam mobil Jang dari sisi kanan.
“Kami sedang membawa sopir truk ke kantor untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Yang baru kami dapatkan dari pengecekan truk adalah adanya rem blong. Sehingga sopir truk tidak bisa menghentikan truknya dengan benar. Namun kami masih menunggu update informasi dari kantor pak,” kata pria itu mencoba menjelaskan.
Li mengangguk pelan, meski wajahnya terlihat semakin tegang. Ia memandang pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat, seolah berharap seseorang keluar membawa kabar baik.
Beberapa menit kemudian, lampu ruang operasi tiba-tiba padam. Li langsung berdiri tegak. Itu artinya tindakan sudah selesai.
Benar saja—pintu terbuka, dan seorang dokter keluar bersama beberapa perawat yang mendorong peralatan medis. Tanpa menunggu, Li segera maju menghampiri mereka.
“Bagaimana dokter?” tanyanya, suaranya kaku menahan cemas.