Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Begitu panggilan dari rumah sakit berakhir, Ara masih terpaku ruang tamu, memandangi ponselnya yang kini sudah padam.
Hatinya terasa hangat, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada harapan baru. Ia bisa melanjutkan terapi tanpa harus memikirkan biaya, tanpa perlu meminta pada siapa pun, termasuk Edward.
Namun, rasa bahagia itu seketika memudar ketika suara pintu depan berderit pelan. Suara langkah sepatu kulit terdengar jelas, berat, berwibawa. Ara menegakkan tubuhnya, jantungnya berdebar tak menentu.
Edward muncul dari balik pintu dengan jas hitam yang masih terpasang sempurna di tubuhnya. Wajahnya seperti biasa, dingin dan tak terbaca, namun sorot matanya tajam mengarah pada Ara.
“Ara.” Suaranya rendah tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. “Kau tampak senang. Senyum-senyum sendiri, ada apa?”
Ara terkejut. Ia tidak sadar kalau dari tadi bibirnya masih menahan senyum kecil. Dengan cepat ia menggeleng, mencoba menyembunyikan rasa gugup.
“Tidak ada apa-apa, Ed. Aku hanya... sedang memikirkan sesuatu.”
Edward melangkah mendekat, setiap langkahnya membuat jantung Ara semakin cepat berdetak.
“Memikirkan sesuatu?” ulangnya pelan. “Atau seseorang?”
Ara menelan ludah, berusaha menahan diri agar ekspresinya tetap tenang.
“Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya senang karena—” Ia berhenti sejenak, mencari alasan yang terdengar masuk akal. “karena lukaku sudah agak membaik. Itu saja.”
Edward menatapnya lama, seolah mencoba membaca pikiran wanita itu. “Lukamu membaik?” tanyanya pelan, namun masih nampak curiga. “Aneh sekali. Terakhir kulihat kau nyaris tak bisa berjalan karena pingsan. Sekarang tiba-tiba tersenyum seperti orang yang baru dapat kabar baik.”
Ara berusaha menahan gugupnya. Ia tahu Edward tidak mudah percaya pada apa pun, bahkan pada istrinya sendiri.
“Mungkin karena aku beristirahat cukup,” jawabnya pelan. “Dan aku bersyukur, itu saja.”
Edward menyipitkan mata. “Kau ke rumah sakit hari ini?”
Pertanyaan itu membuat tubuh Ara menegang. Sekilas, bayangan Daniel melintas di benaknya, senyum hangat pria itu, tatapan matanya yang penuh perhatian. Ia buru-buru menggeleng.
“Tidak, aku hanya keluar sebentar untuk jalan-jalan di taman. Aku bosan di kamar terus.”
Edward berjalan mengitari meja kecil di ruang tamu, lalu berhenti tepat di hadapannya. Tangannya menyentuh dagu Ara, mengangkatnya perlahan agar ia menatap langsung ke matanya.
“Jangan berbohong padaku, Ara.” Suaranya lembut tapi tajam. “Aku tahu setiap gerakanmu, setiap nafasmu. Jadi, katakan yang sebenarnya. Kau bertemu seseorang?”
Ara menatap suaminya dengan mata bergetar, mencoba menahan rasa takut.
“Tidak, Edward. Aku tidak bertemu siapa pun.”
Beberapa detik hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Tatapan Edward begitu dalam, seperti hendak menembus isi kepalanya.
Dan akhirnya pria itu melepaskan dagunya dan berbalik, berjalan menuju rak minuman di sudut ruangan.
“Baiklah,” ucapnya datar sambil menuangkan whisky ke dalam gelas. “Kau boleh bilang tidak. Tapi aku punya cara sendiri untuk memastikan kebenarannya.”
Ara menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Ia tahu Edward tidak pernah sekadar bicara setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu berarti sesuatu.
Ara takut kalau Edward benar-benar menyelidikinya, lalu menemukan bahwa tadi siang ia memang ke rumah sakit.
Edward meneguk minumannya perlahan, lalu berkata tanpa menoleh. “Kau tahu, Ara, aku tidak suka rahasia. Setiap rahasia berakhir dengan luka. Dan aku benci luka.”
Kata-kata itu seperti pisau tajam yang menyayat halus. Ara menarik napas pelan, menatap punggung suaminya yang tegap namun terasa begitu jauh.
“Tidak ada yang kusembunyikan, Ed,” ucapnya lirih.
Edward menoleh sedikit, menatap wajah Ara yang tampak pucat.
“Kalau begitu, pastikan kau tetap seperti itu. Jangan buat aku kehilangan kepercayaan padamu,” katanya dingin sebelum beranjak naik ke lantai atas.
Begitu langkah kaki Edward menghilang di balik tangga, Ara akhirnya menarik napas panjang. Tubuhnya sedikit gemetar. Ia menatap gelas di meja, melihat pantulan wajahnya sendiri.
Kini mata yang terlihat lelah tapi menyimpan secercah harapan. Ara mengusap pipinya, berusaha menenangkan diri.
“Aku tidak berbohong untuk hal jahat,” bisiknya pelan. “Aku hanya ingin sembuh, aku hanya ingin bisa berjalan di sisinya lagi, tanpa rasa sakit.”
Jauh di dalam hati, ada sesuatu yang bergetar. Perasaan aneh yang muncul saat ia mengingat suara Daniel, tatapan lembut pria itu, dan bagaimana hatinya hangat ketika mendengar kabar tentang terapi gratis.
Ara tahu, ia harus berhati-hati.
Jika Edward tahu yang sebenarnya maka bukan hanya hatinya yang akan terluka, tapi mungkin seluruh hidupnya akan runtuh.
Di lantai atas, Edward berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar. Matanya gelap, pikirannya berputar.
“Berani sekali dia membohongiku!” gumamnya pelan.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul