NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 — Pengakuan Ayah

Rendra meletakkan Dimas di Balai Desa yang kini sudah setengah dibersihkan oleh penduduk. Anak itu diselimuti kain tebal, pulih dari kerasukan yang mengerikan. Tubuh Nyai Melati juga diletakkan dengan hormat di samping Dimas, ditaburi bunga melati yang dibawa oleh para wanita desa.

Penduduk desa yang menyesal tidak lagi melihat Rendra sebagai ancaman. Mereka melihatnya sebagai pahlawan yang membawa kebenaran dan memulihkan air murni.

“Kami akan mengurus semuanya, Nak Rendra,” kata seorang tetua desa, matanya penuh penyesalan. “Kami akan mengubur Nyai Melati dengan hormat, dan kami akan menjaga anak ini. Terima kasih. Kau telah membayar hutang kami.”

Rendra mengangguk. Ia tahu, pengakuan mereka adalah hasil dari pengorbanan Nyai Melati dan keberaniannya sendiri. Kutukan kolektif telah dicabut, tetapi harga pribadinya belum lunas.

Ia melihat ke Lapangan Desa. Sumur Tua, yang telah menelan tubuh Laras dan menjebak Hardi, kini tampak tenang. Air di permukaannya hening dan gelap.

Rendra harus kembali. Ia harus menyelamatkan Rani. Ia harus menepati janjinya.

Ia berjalan sendiri menuju Sumur Tua. Sisa-sisa hujan murni membasahi Lapangan Desa, memberikan nuansa damai yang kontras dengan teror yang baru saja mereka alami.

Rendra duduk di tepi Sumur Tua, menatap ke dalam lubang gelap itu. Ia merasakan dingin, tetapi tidak lagi merasakan daya tarik yang mematikan. Yang Basah kini tenang, tetapi Rani masih terperangkap di dalamnya.

Ia menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam.

“Rani,” bisiknya. “Aku datang untukmu.”

Rendra membiarkan dirinya jatuh, sekali lagi, ke dalam lubang Sumur Tua yang dingin dan dalam.

Rendra tersentak bangun, seperti sebelumnya, tidak merasakan benturan. Ia kembali ke dunia bawah air, di mana air hitam setinggi pinggang menyelimuti segalanya, dan hujan jatuh dari tanah ke langit.

Ia berdiri di tengah Lapangan Desa versi dunia bawah. Nisan-nisan yang ia lihat di Kuburan Air sudah tidak ada, tetapi ia merasakan kehadiran ratusan arwah di sekitarnya. Arwah-arwah itu bergerak di dalam air, tidak lagi mengancam, melainkan menonton.

Rendra berjalan menuju rumah Laras, tempat ia meninggalkan Rani/Laras.

Saat ia berjalan, ia mendengar suara. Bukan suara Laras. Bukan suara Dimas.

Suara yang akrab, suara yang Rendra rindukan, tetapi juga suara yang ia benci.

Suara Ayahnya.

Suara itu terdengar seperti gema yang terjebak di air, suara manusia yang disaring oleh ribuan meter air dingin.

“Aku tahu kau akan kembali, Nak. Aku tahu kau sekeras kepala ibumu.”

Rendra berhenti. Ia melihat ke sekelilingnya, air beriak di setiap langkahnya.

“Ayah! Kau ada di mana?” seru Rendra.

Gema itu terdengar lagi, lebih dekat, seolah berasal dari air di bawah kakinya.

“Aku tidak di mana-mana, Nak. Aku hanya gema. Aku hanya penyesalan yang tertinggal di air ini. Air adalah memori, Nak. Dan aku adalah salah satu memori yang paling kotor.”

Rendra berlutut, menatap air di sekelilingnya.

“Kenapa kau tidak memberitahuku, Ayah? Kenapa kau lari dengan film itu? Kenapa kau biarkan kami hidup dalam kebohongan?”

Gema Ayahnya terdengar sedih, suara yang patah.

“Aku menyesal, Nak. Tapi waktu itu… kami haus. Kami ingin menyelamatkan desa, bukan membunuh. Kami ingin air. Kami hanya ingin desa ini kembali hidup.”

“Kau tahu penodaan itu terjadi, Ayah! Kau memotretnya! Kau bisa menghentikannya!”

“Aku pengecut, Rendra. Hardi adalah temanku. Dan saat hujan datang… saat darah itu turun… kami semua panik. Aku hanya ingin menyelamatkan diriku, dan film itu. Aku ingin membawa bukti itu ke kota, membuka mata dunia. Tapi aku takut. Aku terlalu takut pada air itu, dan pada kemarahan para tetua.”

Gema Ayahnya terdengar semakin kuat, suara itu memohon.

“Aku tidak membunuh siapa pun, Rendra. Tapi aku bersaksi. Aku berdiri di sana, dan aku tidak melakukan apa-apa. Dosaku adalah keheningan, Nak. Dan aku terjebak di sini, di keheningan air ini, sampai kau datang.”

Rendra merasakan air mata mengalir, bercampur dengan air dingin dunia bawah. Ia akhirnya mendengar pengakuan yang ia butuhkan. Ayahnya tidak sepenuhnya jahat, tetapi ia lemah dan pengecut.

Tiba-tiba, air di sekeliling Rendra bergolak hebat.

Laras muncul.

Ia berdiri di tengah air, menggunakan tubuh Rani. Wajahnya kini kembali tegas, matanya hitam pekat.

Laras (melalui Rani) menatap Rendra, lalu menatap air di bawah Rendra.

“Kau menyelamatkan diri kalian… dengan darahku!”

Laras mengayunkan tangannya, dan gelombang air hitam menerjang Rendra. Rendra terlempar ke dinding rumah terdekat.

Laras berjalan ke arah Rendra. Amarahnya memuncak.

“Kau dan Ayahmu sama! Kau hanya ingin membersihkan namamu! Kau hanya ingin membawa adiknya keluar! Kau tidak ingin menanggung konsekuensinya!”

Gema Ayah Rendra meraung kesakitan dari dalam air, seolah Laras sedang menyiksa memorinya.

Laras menendang Rendra ke air. Cipratan darah kental menyebar di udara terbalik itu.

“Aku adalah kutukan yang lahir dari ketidakadilan! Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Rendra! Kau harus memilih!”

Tiba-tiba, langit di dunia bawah air bereaksi. Hujan yang jatuh ke atas, dari tanah ke langit, mulai berubah warna.

Hujan darah kembali turun.

Air di sekitar mereka mulai memerah, menjadi kental dan hangat. Laras tidak lagi menahan dirinya. Ia marah karena Rendra hanya ingin menyelamatkan yang dicintainya, bukan menanggung dosa kolektif.

Laras (melalui Rani) menatap Rendra, matanya berkilat liar.

“Kau telah mengorbankan Nyai Melati, dan kau telah menjebak Hardi! Tapi itu tidak cukup! Aku masih memiliki Rani! Aku masih memiliki kemarahan Dimas di sini!”

Laras mengangkat tangan Rani, menunjuk ke langit.

“Hujan di atas mulai berubah jadi badai darah! Jika kau tidak memilih, aku akan menenggelamkan desa itu lagi, selamanya!”

Rendra tahu, ia berada di titik puncak. Ia telah membawa kebenaran, tetapi ia harus membayar harga penebusan.

Ia bangkit, menatap adiknya yang kini sepenuhnya dikuasai dendam.

“Apa yang kau inginkan, Laras?” tanya Rendra, suaranya tenang meskipun ia dikelilingi oleh air merah.

Laras tersenyum dingin, sebuah senyum kemenangan yang mengerikan.

“Aku memberimu pilihan, Nak Rendra. Pilihan terakhir sebelum Air dan Darah menjadi satu selamanya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!