JEDA

JEDA

1

"Hidupku sempurna. Setidaknya, sampai hari itu datang."

Nathan. 27 tahun, anak tunggal, pewaris tunggal, dan pangeran dari kerajaan bisnis orang tuanya. Setidaknya, begitulah dunia melihatnya. Kenyataannya? Ia lebih sering muncul di pesta-pesta sosialita daripada di ruang rapat perusahaan.

Malam itu, seperti biasa, apartemen mewahnya berubah menjadi tempat pesta. Musik berdentum, minuman beredar, dan tawa berhamburan. Nathan duduk santai di sofa dengan segelas anggur mahal di tangan.

"Bro, liburan ke Eropa minggu depan jadi, kan?" tanya salah satu temannya, Rendy, dengan mata berbinar.

Nathan hanya tertawa kecil. "Lihat nanti, deh. Kalau mood lagi bagus. "

Hidupnya tak pernah sulit. Sejak kecil, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkan. Mobil sport? Tinggal pesan. Jam tangan edisi terbatas? Tinggal telepon. Pekerjaan? Tidak perlu, ayahnya sudah punya segalanya. Ia hanya perlu menikmati hasilnya.

Sebenarnya, kedua orang tua Nathan sudah berulang kali mendorongnya untuk mempelajari bagaimana cara seorang pemilik perusahaan bekerja. Namun, setiap kali topik itu muncul, Nathan selalu punya alasan untuk menghindar. Entah itu alasan sibuk dengan acara sosial, perjalanan liburan yang sudah direncanakan, atau sekedar merasa belum waktunya. Baginya, menghabiskan waktu di ruang rapat jauh lebih membosankan dibandingkan menikmati malam di klub dengan segelas anggur mahal di tangan.

Ia yakin masih punya banyak waktu. Hidupnya sudah nyaman, dan tidak ada alasan untuk terburu-buru mengambil alih tanggung jawab yang tidak diinginkannya. Apalagi menurutnya, usianya masih terlalu muda untuk memimpin sebuah perusahaan.

Namun, di tengah pesta, ponselnya terus bergetar di meja. Ia mengabaikannya. Baru setelah notifikasi bertubi-tubi masuk, ia merasa terganggu dan melirik layar.

[Mas Nathan, tolong segera angkat teleponnya. Ini darurat.]

[Nathan, segera hubungi saya. Ini soal orang tuamu.]

Darahnya langsung berdesir.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol panggil balik. Suara di seberang terdengar berat dan serius.

"Ada apa?"

"Mas Nathan... datang ke lokasi yang saya kirim barusan. Tuan dan Nyonya mengalami kecelakaan."

Gelombang panik dan ketidakpercayaan menghantamnya sekaligus. Tidak. Ini pasti salah.

"Apa?! Itu nggak mungkin! Gimana keadannya sekarang?" suaranya meninggi.

Namun, seberapa keras pun ia berteriak, kenyataan tetap sama. Malam yang dimulai dengan tawa berakhir dengan keheningan yang menyesakkan.

Jantungnya berdebar kencang saat ia berlari ke luar apartemen. Mobil yang dikemudikannya melaju tanpa ia pedulikan kecepatan atau lampu merah. Tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, napasnya memburu. Semua suara pesta tadi, tawa, musik, percakapan kosong, masih terngiang di kepalanya, tapi kini terasa asing, seolah berasal dari kehidupan yang berbeda.

Saat tiba di rumah sakit, ia berharap semua ini hanya kesalahpahaman. Namun, Begitu masuk ke ruang gawat darurat, pandangannya langsung tertuju pada dua tubuh yang tertutup kain putih di atas ranjang dorong. Kakinya terasa lemas. Tidak, ini pasti mimpi.

"Mas Nathan…" suara seorang wanita terdengar pelan, seolah takut menyampaikan kenyataan yang menyakitkan. "Dokter sudah melakukan yang terbaik, tapi—"

"Nggak." Nathan menggeleng keras. "Pasti ada yang bisa dilakukan. Mereka bisa diselamatkan, kan?"

Tidak ada jawaban. Hanya tatapan penuh simpati dari dokter dan perawat di sekitarnya. Wanita yang merangkul bahu Nathan pun hanya bisa terdiam. Ia adalah Rini, wanita yang bekerja sebagai asisten sang ayah.

Nathan merasakan napasnya memburu, dadanya terasa seperti dihantam palu godam. Ia melangkah mendekat, tangannya gemetar saat menarik kain putih itu. Wajah ayah dan ibunya tampak damai, seolah hanya tidur.

Tapi mereka tidak akan bangun lagi.

Pikirannya kosong. Hatinya berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ia ingin menangis, ingin marah, ingin menyangkal kenyataan ini, tapi tubuhnya membeku.

Seseorang menepuk pundaknya dengan lembut. Pak Jatmiko. "Mas Nathan, saya turut berduka cita."

Nathan menelan ludah, mencoba meredam emosi yang bergulung-gulung di dalam dirinya. Tubuhnya terasa dingin, seolah seluruh dunia tiba-tiba kehilangan warna.

Satu jam berlalu tanpa ia sadari. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, menatap kosong ke lantai. Notifikasi di ponselnya terus berdenting, ucapan belasungkawa dari orang-orang yang selama ini hanya mengenalnya sebagai pewaris kaya yang gemar berpesta.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nathan benar-benar sendirian.

***

Tiga Hari Kemudian

Nathan duduk diam di dalam kantor pengacara keluarga. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku tebal, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk memerhatikan. Ia menatap kosong ke depan, tapi yang dilihatnya hanyalah bayangan tiga hari terakhir, tiga hari paling panjang dalam hidupnya.

Sejak kecelakaan itu, ia merasa seperti berjalan dalam kabut tebal. Rumahnya yang dulu terasa hidup kini sunyi, hanya dipenuhi suara langkahnya sendiri yang menggema di lantai marmer. Tak ada lagi suara ayahnya yang membicarakan bisnis, tak ada lagi ibunya yang mengingatkan untuk makan dengan benar. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada mereka, tapi tak ada yang bisa mengembalikan mereka.

Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali tidur nyenyak. Setiap kali menutup mata, bayangan tubuh orang tuanya yang tak bernyawa di rumah sakit kembali menghantamnya. Makanan yang disajikan di meja pun hanya disentuh sekedarnya, lebih karena paksaan daripada keinginan.

Ponselnya penuh dengan pesan dan panggilan yang belum dibuka. Belasungkawa dari teman, kenalan bisnis ayahnya, bahkan orang-orang yang hanya sekedar ingin terlihat peduli. Tapi ia tak punya energi untuk membalas. Dunia terasa berjalan terlalu cepat, sementara ia sendiri masih terjebak dalam kenyataan yang tak bisa ia terima.

Hingga kini, duduk di ruangan ini, ia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, pengacara keluarga yang duduk di seberangnya menatapnya dengan serius, siap membuka dokumen yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Pak Jatmiko, pria paruh baya yang sudah bertahun-tahun menangani urusan hukum keluarganya menarik napas pelan sebelum membuka map di tangannya. Ekspresinya serius, seolah menyadari bahwa apa yang akan ia sampaikan bukanlah sesuatu yang mudah diterima.

"Mas Nathan, berdasarkan wasiat, seluruh aset dan perusahaan sekarang berada di bawah kendalimu."

Kata-kata itu seperti palu godam di kepalanya. "Tunggu… saya?"

"Benar. Mas Nathan adalah pewaris tunggal. Perusahaan ini sekarang milikmu."

Nathan merasa kepalanya berdenyut. Ini pasti mimpi buruk.

"Ada opsi lain?" tanyanya, berharap ada jalan keluar.

Pak Jatmiko menghela napas. "Tentu. Mas Nathan bisa menjual saham atau menyerahkan kendali pada pihak lain. Tapi, jika tidak diurus dengan baik, ada kemungkinan besar perusahaan akan jatuh ke tangan investor asing. Atau lebih buruk… bangkrut."

Bangkrut. Kata itu membuatnya bergidik.

Nathan menelan ludah. Ini bukan sekedar kehilangan uang, ini tentang warisan keluarganya, sesuatu yang dibangun orang tuanya dengan susah payah. Sesuatu yang meski tidak pernah ia pedulikan sebelumnya, tetap berarti.

Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Saya tidak tahu cara menjalankan perusahaan."

"Itu bisa dipelajari," kata Pak Jatmiko. "Mas Nathan hanya perlu… berusaha."

Nathan ingin tertawa miris. Berusaha? Seumur hidupnya, ia tak pernah perlu berusaha untuk apa pun. Semuanya bisa ia dapatkan tanpa usaha, bahkan wanita.

Namun, ketika ia memikirkan apa yang akan terjadi jika ia menyerah, perusahaan hancur, ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, nama keluarganya lenyap, sesuatu dalam dirinya menolak mundur. Ini adalah pertama kalinya Nathan memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.

Ia menarik napas panjang. "Baiklah. Saya akan mencoba."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!