Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Punya Teman, Rasanya Menyenangkan
Kalau saja Harry Subrata tahu bahwa Shinta Bagaskara hanya butuh waktu kurang dari seminggu untuk meraup hampir dua ratus miliar rupiah, mungkin pria itu sudah pingsan saking kagetnya.
Tangannya bergetar saat menyentuh layar ponsel. Ia butuh waktu lama hanya untuk mengetik beberapa kata:
“Ti… tidak usah, sudah cukup.”
Shinta membalas cepat:
“Oke. Ambil dulu gaji 1 atau 2 miliar sebagai uang muka. Lunasi semua utangmu. Setelah itu, pakai dana perusahaan untuk beli mobil. Anggap saja fasilitas dari kantor.”
Tenggat pembayaran utang sudah hampir tiba. Harry tak tahu lagi harus pinjam ke siapa. Rumah dan mobilnya sudah disita bank, dan ia bahkan sempat berpikir untuk menjual perhiasan peninggalan istrinya.
Tapi ternyata, Shinta sudah lebih dulu memikirkan semuanya untuknya.
Mata Harry memerah, dadanya sesak oleh rasa haru. Dalam benaknya, wajah Shinta tampak seperti secercah cahaya di ujung lorong panjang yang gelap. Ia masih tak percaya, gadis muda yang dulu ia pandang sebelah mata kini justru menjadi penyelamat hidupnya.
Bukan hanya Shinta yang untung besar. Lelaki yang dulu sempat ikut-ikutan beli saham atas saran Shinta, kini juga kecipratan rezeki.
Modalnya hanya delapan juta, tapi harga saham yang ia beli melonjak delapan belas kali lipat. Sekarang nilainya lebih dari seratus empat puluh juta!
Begitu harga mulai melambat, ia langsung menjual semuanya. Baginya, uang tunai jauh lebih menenangkan.
Hanya dalam tiga hari, ia sudah meraup untung lebih dari seratus juta. Hal yang bahkan tak pernah terlintas dalam pikirannya sebelumnya.
Ia benar-benar bersyukur karena dulu sempat “nekat” mengikuti saran seorang gadis muda.
“Gadis itu benar-benar jenius,” gumamnya kagum.
Tentu, tidak semua orang seberuntung dia. Banyak investor kecil lain yang hanya bisa menyesal.
“Siapa suruh buru-buru jual? Sekarang malah nyesel, cuma bisa lihat harga saham terus naik!”
Beberapa orang bahkan teringat lagi pada wajah cantik Shinta. Waktu itu gadis itu berkata dengan yakin:
“Saham ini akan naik.”
Tapi mereka tidak percaya. Mereka malah menertawakannya, menganggap Shinta hanya gadis manja yang sok tahu. Kini, mereka malah seperti menyumbangkan uang gratis untuk orang lain.
Andai waktu bisa diulang, mereka pasti akan membabi buta mengikuti langkah gadis itu. Tapi nasi sudah jadi bubur.
Sejak saat itu, setiap kali para investor datang ke bursa, mereka tanpa sadar menoleh ke sekeliling, mencari sosok gadis yang dulu sempat mereka remehkan. Beberapa bahkan masih membawa catatan kecil, berisi kode saham yang pernah disebut Shinta, seolah berharap gadis itu akan muncul lagi dan memberi petunjuk baru.
Namun, sia-sia. Mereka takkan pernah menemukannya lagi.
Kini, semua transaksi Shinta dilakukan lewat komputer pribadinya. Setiap malam, cahaya layar memantul di wajahnya yang tenang, sementara jari-jarinya menari cepat di atas keyboard—dingin, presisi, dan penuh perhitungan.
---
Masalah dana sudah beres, dan urusan pendirian perusahaan pun ia serahkan sepenuhnya kepada Harry.
Shinta sendiri berhenti menerima pesanan online.
Langkah berikutnya: merekrut talenta. Tapi ia tidak terburu-buru.
Setelah akhir pekan berlalu, tibalah hari Senin—waktu untuk kembali ke sekolah.
Begitu melangkah ke gerbang, Shinta langsung merasakan suasana yang berbeda. Banyak siswa dengan sengaja menghindarinya. Saat berbicara pun, beberapa orang melirik diam-diam.
Jelas, gosip tentang dirinya sudah menyebar.
Shinta mengerutkan kening, tapi tidak menanggapinya.
Begitu masuk kelas, ruangan yang tadinya riuh langsung senyap. Semua siswa menunduk cepat-cepat saat tatapan Shinta menyapu mereka.
Ia duduk tenang, menaruh tas di meja. Salsa Namira, yang awalnya ikut-ikutan pura-pura diam seperti yang lain, terlihat gelisah. Sesekali, ia melirik Shinta dengan ragu.
Tatapan itu terlalu kentara, sampai Shinta tidak bisa pura-pura tidak melihat.
Akhirnya, Shinta menutup bukunya dan menatap sahabatnya itu.
“Bicara saja. Ada apa?”
Begitu diberi kesempatan, Salsa langsung seperti membuka bendungan. Kata-katanya keluar mengalir deras:
“Shinta, kamu tahu nggak gosip di sekolah? Mereka bilang kamu itu anak desa tapi bisa pakai baju-baju mahal. Katanya kamu dipelihara sama pria tua! Bahkan ada yang bilang mereka lihat kamu jalan berdua sama om-om itu, masuk-keluar hotel segala…”
Nada suaranya penuh amarah. Di matanya, Shinta jelas bukan orang seperti itu.
“Pria tua katanya? Hah! Omong kosong!”
Salsa khawatir gosip itu akan membuat Shinta sedih, jadi ia buru-buru menambahkan:
“Aku percaya sama kamu, Shinta. Dengan wajah secantik kamu, mau cari cowok anak konglomerat juga gampang. Masa iya harus sama om-om?”
Pipi Salsa yang chubby tampak makin menggemaskan saat ia bicara. Shinta sampai geli mendengarnya.
Ia tersenyum kecil, menaikkan alis.
“Maksudmu aku disponsori anak konglomerat?”
“Bukan, bukan! Maksudku—ya ampun—aku cuma kasih contoh!” Salsa panik, mengibaskan tangan cepat-cepat, takut disalahpahami.
Dari belakang, Raka Birawa ikut menimpali sambil menepuk kepala Salsa.
“Kamu ini, Salsa, bodoh banget.”
Barusan, Raka masih menahan diri. Ia tahu, Shinta bukan orang sembarangan—dan tangannya yang pernah dipatahkan dulu masih jadi trauma tersendiri.
Tapi setelah Salsa berani buka suara, Raka langsung ikut nimbrung, berusaha cari muka.
“Bos Shinta, aku juga percaya kok. Tadi ada dua cowok yang ngomongin kamu jelek-jelek, langsung aku hajar.”
Raka bukan tipe tukang berantem, tapi dua cowok itu menurutnya sudah terlalu kelewatan.
Kebetulan, kelas belum mulai, jadi obrolan mereka terdengar jelas oleh semua siswa.
Beberapa teman lain langsung ikut bicara:
“Bos Shinta, kami juga percaya sama kamu!”
“Kamu nggak mungkin kayak gitu!”
“Semangat ya, Shinta!”
Anak-anak kelas D sudah lama nge-fans dengan Shinta. Mereka tahu, gadis itu kuat dan tidak mungkin terlibat hal kotor seperti yang digosipkan.
Raka melotot kesal pada teman-temannya.
“Hei! Gue lagi cari muka, jangan rebutan!”
Tapi anak-anak itu hanya nyengir. Raka akhirnya manyun, merasa kalah pamor.
Shinta menatap mereka satu per satu, lalu tersenyum lembut. Melihat semua orang begitu tulus membelanya, hatinya hangat.
Punya teman… rasanya menyenangkan.
Di kehidupan sebelumnya, ia selalu sendiri. Gara-gara ulah Dira Bagaskara, reputasinya hancur dan semua orang menjauh darinya.
Tapi kini, segalanya berbeda. Untuk pertama kalinya, Shinta merasakan seperti apa dicintai dan dipercaya.