Kiandra Pravira, baru saja kembali ke Jakarta dengan hati yang hancur setelah dikhianati mantan kekasihnya yang menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Saat berusaha bangkit dan mencari pekerjaan, takdir membawanya bertemu dengan Axton Velasco, CEO tampan dari Velasco Group. Alih-alih menjadi sekretaris seperti yang ia lamar, Kiandra justru ditawari pekerjaan sebagai babysitter untuk putra Axton, Kenric, seorang bocah enam tahun yang keras kepala, nakal, dan penuh amarah karena kehilangan Ibunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Axton bergegas ke rumah sakit begitu mendengar kabar bahwa Kiandra dan Kenric mengalami kecelakaan. Syukurlah, Kenric baik-baik saja, hanya luka dan memar di beberapa bagian tubuhnya. Namun, Kiandra masih berada di ruang gawat darurat. Serpihan kaca menusuk pinggangnya, dan kepalanya terbentur keras.
Pria itu segera menuju kamar rawat inap putranya.
“Nak, ada yang sakit?” Axton duduk di kursi dekat tempat tidur Kenric.
“M-maafkan aku, Daddy. Kalau aku mendengarkan Kiandra jelek, semua ini tidak akan terjadi. Ini salahku…” Mata bocah itu mulai berkaca-kaca.
Axton menghela napas, lalu mengusap rambut anaknya lembut. “Jangan salahkan dirimu sendiri. Ini murni kecelakaan. Tidak ada yang salah di sini.”
“T-tapi dia mengejarku.Kiandra melarangku ikut menemuimu, makanya aku lari dari rumah. Aku tahu Daddy dan Kiandra lagi tidak akur… makanya Daddy tidak pernah pulang.” Suara Kenric bergetar, namun ucapannya begitu dewasa untuk anak seusianya.
Axton menunduk, rasa bersalah menyelimutinya. Dia memang sengaja menghindari rumah, tapi Kiandra juga tidak pernah menghubunginya. “Maafkan Daddy. Tapi tetap saja salah kalau kamu marah dan lari begitu. Jangan lakukan itu lagi, ya. Kamu juga terluka, jadi jangan salahkan dirimu sendiri. Kiandra pasti akan baik-baik saja.” Axton menyeka air mata di pipi putranya.
Sudah berjam-jam Axton menunggu ketika akhirnya seorang perawat memanggilnya. Kiandra berhasil melewati masa kritis. Gadis itu kehilangan banyak darah, tapi transfusi berhasil menyelamatkannya. Untung stok darah di rumah sakit sesuai dengan golongan darah Kiandra.
Setelah memastikan Kenric tertidur, Axton berpindah ke kamar Kiandra.
Rasa rindu menyeruak begitu melihat gadis itu. Sebenarnya, dia tidak benar-benar marah dengan kejadian minggu lalu. Hanya… tersinggung, dan mungkin terlalu berlebihan sampai membuat Kiandra tidak nyaman.
“Tadi siang kamu masih sempat memarahiku,” bisik Axton sambil mendekat. “Aku tidak keberatan, marahin aku lagi. Aku janji tidak akan marah.” Dia menggenggam tangan Kiandra erat. “Kenric merasa semua ini salahnya. Tolong, nanti kamu jelaskan padanya, ya. Wajahmu terluka, tapi tetap saja cantik… Cepat sembuh, Kiandra. Aku ingin kita kembali seperti dulu.” Axton mengecup keningnya pelan sebelum keluar ruangan.
**
Hari-hari terakhir ini begitu melelahkan baginya. Perusahaan, rapat, hingga perjalanan bisnis menumpuk. Namun sebelum pergi, dia harus memastikan Kiandra dan Kenric pulih agar bisa pulang bersama.
Saat perutnya mulai lapar, Axton mengirim pesan pada Pak Herman untuk membelikan makanan.
“Tuan Axton?” Sebuah suara membuatnya menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di hadapannya.
“O-oh, Pak… Ayahnya Kiandra, kan?” Axton sempat terkejut. Pria itu mengangguk.
“Masih ingat saya rupanya. Bagaimana kabar anak saya di tempat kerja? Maaf juga soal pertemuan terakhir kita.”
Axton tersenyum sopan. “Dia bekerja dengan baik, Pak. Jangan khawatir.”
“Syukurlah. Tolong sampaikan padanya, jaga kesehatan. Jangan sampai telat makan. Dia tidak pernah membalas pesan saya.”
Axton hanya mengangguk, menahan banyak hal yang ingin dia katakan.
“Yah! Ternyata ayah di sini. Ibu mencarimu,” seru seorang gadis yang tiba-tiba datang. Axton menoleh. Itu adik Kiandra, gadis yang dipilih mantan pacar Kiandra untuk menggantikan kakaknya.
“Baiklah, nak. Pemeriksaan anak saya sudah selesai. Sampai jumpa, Tuan Axton,” pamit ayah Kiandra. Tatapan adik Kiandra sempat menelusuri Axton, aneh dan sulit ditebak.
Axton mengenali gadis itu. Dia pernah melihatnya di taman ketika Kiandra mencoba mengalihkan perhatiannya. Sejak awal, Axton memang tahu banyak tentang keluarga Kiandra, dia sengaja memeriksa latar belakangnya demi keamanan Kenric. Maka, cerita Kiandra soal mantan pacarnya tidak mengejutkan. Tapi ternyata, masih banyak rahasia lain yang belum dia tahu… termasuk hubungannya dengan sang ibu.
Axton sadar, jika Kiandra tahu, gadis itu pasti akan marah. Tapi dia tidak peduli. Selama demi keamanan anaknya, dia akan melakukan apa pun. Dia hanya tidak ingin Kiandra semakin menderita. Dia menyukai gadis itu dan bertekad tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.
Dia ingin Kiandra bahagia, dan membangun kenangan baru bersama mereka. Berkali-kali Axton bertanya pada dirinya sendiri, kenapa Kiandra menolak jadi kekasihnya? Axton tahu Kiandra takut dijadikan pelampiasan, tapi dia yakin ada alasan lain di balik itu.
“Tuan, ini makanan yang Anda pesan. Saya juga akan mengirimkan barang-barang Anda dan Kiandra,” kata Pak Herman sambil menyerahkan kantong makanan.
“Terima kasih.” Axton menerima dan mengangguk.
Setelah memastikan semuanya beres, Axton kembali ke kamar Kenric. Bocah itu masih tertidur, jadi Axton tidak ingin mengganggunya. Dia hanya duduk di sofa, membuka laptop, dan mulai bekerja sambil makan.
Minggu depan jadwalnya padat: Jepang, Brasil, lalu Thailand. Menjadi CEO tidaklah mudah. Selain waktunya terkuras, dia jarang bertemu dengan orang-orang yang berarti dalam hidupnya.
Baru saja Kenric mulai mempercayainya, dan Axton tidak ingin mengecewakan putranya.
Beberapa jam kemudian, Axton menutup laptopnya. Kepalanya terasa berat, terlalu banyak beban pekerjaan. Dia memijat pelipis, berusaha mengurangi sakit. Meski kaya dan berkuasa, waktunya bukan miliknya sendiri.
Namun dalam hati, Axton berjanji: ketika waktunya tiba, dia akan memanfaatkan setiap detik untuk bersama Kiandra dan Kenric. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Hanya membayangkan kebersamaan mereka saja, senyum tipis terukir di wajahnya.