Namanya Diandra Ayu Lestari, seorang perempuan yang begitu mencintai dan mempercayai suaminya sepenuh hati. Baginya, cinta adalah pondasi rumah tangga, dan persahabatan adalah keluarga kedua. Ia memiliki seorang sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tempat berbagi rahasia, tawa, dan air mata. Namun, sebaik apa pun ia menjaga, kenyataannya tetap sama, orang lain bukanlah darah daging.
Hidupnya runtuh ketika ia dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai, suaminya, dan sahabat yang selama ini ia anggap saudara.
Di tengah keterpurukannya ia bertemu ayah tunggal yang mampu membuatnya bangkit perlahan-lahan.
Apakah Diandra siap membuka lembaran baru, atau masa lalunya akan terus menghantui langkahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Urusan pekerjaan atau hati?
Jantung Diandra berdetak sangat cepat, tetapannya tidak lepas dari pria yang kini menindih tubuhnya dengan ringisan di wajah. Ia tidak bisa membayangkan seberap parah luka yang ia dapatkan kalau saja pria itu tidak datang dan memeluknya.
"Kamu baik-baik saja?" suara itu sangat lirih dan ada lolongan kesakitan di setiap nadanya.
Diandra hanya mampu menganggukkan kepalanya.
"Syukurlah saya datang tepat waktu," lanjut sang pria. "Maaf karena menelepon di waktu sibuk dan mengakibatkan kamu nggak fokus," ujar Gerald
Pria itu bangun lebih dulu seolah tidak merasakan sakit di tubuhnya. Mengulurkan tangan pada Diandra yang sepertinya masih syok.
"Tangan pak Gerald terluka." Diandra enggang meraih uluran tangan itu sebab melihat ada beberapa luka di lengan. Ada batu-batu kecil yang menempel di sana bersama darah, mungkin karena menahan bobot tubuhnya saat terjatuh bersama.
"Hanya sedikit."
"Saya bantu obati."
"Nggak perlu Bu, saya datang ingin membahas pekerjaan saja."
"Tetap saja harus diobati!"
Diandra melepas helm kerja di kepalanya dan menarik Gerald keluar dari lingkungan proyek menuju mobil.
"Masuk Pak, biar saya yang menyetir."
"Saya benar nggak apa-apa bu Diandra."
"Pak Gerald!" Diandra memelototkan matanya, alhasil Gerald mengalah. Masuk ke mobil Diandra dan duduk dengan tenang, membiarkan sang pemilik mengemudikan.
Sebenarnya Gerald tidak takut dengan pelototan mata wanita di sampingnya, hanya saja ia tidak mau melihat wajah mengemaskan itu berakhir tertawa.
Gerald bersandar sangat pelan pada jok mobil. Rasa sakitnya semakin menjalar di sekitar punggung. Bahkan perih ketika bersentuhan langsung dengan kemeja yang ia kenakan.
Saat Diandra menoleh ke arahnya, Gerald langsung tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.
"Apa kita ke rumah sakit saja? Wajah pak Gerald mulai pucat."
"Ke rumah saja, rumah saya lebih dekat."
"Ya sudah saya beli obat ...."
"Di rumah lengkap."
"Maaf karena membuat pak Gerald terluka. Seharusnya tadi di dorong saja, bukan dipeluk."
"Kamu marah saya peluk?"
"Bukan begitu."
"Artinya suka saya peluk?"
"Nggak, maksud saya."
"Saya hanya bercanda." Gerald mengulum senyum melihat pipi Diandra sedikit memerah. "Kalau di dorong bahaya, banyak pecahan batu tajam yang bisa melukaimu."
"Tapi dengan meluk saya, punggung pak Gerald di hantam batu bata dan lengannya terluka akibat pecahan batu."
"Fokus menyetir Bu, jangan liatin saya terus."
"Iya." Diandra langsung fokus ke depan sehingga tidak melihat senyuman manis Gerald yang terus menatap dari samping.
Pria itu menyingkirkan beberapa batu di lengannya sehingga darah kembali keluar.
***
Kelopak mata Diandra melebar melihat sandaran tempat duduknya ada noda darah. Niatnya pergi pun ia urungkan. Segera turun dari mobil dan belari memasuki rumah Gerald, beruntung pintunya belum di kunci.
Anehnya saat tiba di ruang tamu ia tidak mendapati siapapun. Karena khawatir pada Gerald ia lancang menyusuri rumah sepi itu dan menemukan pemiliknya di dalam kamar. Berusaha melepas kemaja susah payah.
"Lukanya sangat parah tapi pak Gerald menyuruh saya pergi!" omel Diandra dan berjalan mendekat, lupa bahwa ia sudah lancang memasuki kamar seorang pria.
"Hanya luka kecil, kamu bisa pergi. Saya bisa mengobatinya sendiri."
"Bisa mengobati sendiri? Memangnya tangan pak Gerald sampai? Buka kemeja saja leletnya bukan main." Diandra terus mengomel dan membantu Gerald membuka pakaian hingga benar-benar memperlihatkan tubuh bagian atas Gerald yang sangat kekar dan berotot.
"Pak Gerald duduk dulu dan beritahu saya di mana kotak P3Knya."
"Di laci paling bawah dekat tempat tidur."
Diandra pun beralih menuju nakas dan hendak mengambil kotak p3k, tetapi perhatiannya malah teralihkan pada foto tiga anak.
Jelas anak kecil yang berada di tengah itu adalah dirinya. Dia punya satu, tapi berbeda dengan yang Gerald miliki. Yang ia punya Gerald tampak acuh foto bersama, sedangkan yang ia lihat sekarang malah sebaliknya. Di dalam foto itu, Gerald menatapnya dan tersenyum manis.
"Di laci paling bawah bu Diandra!"
"Ah iya maaf saya hilang fokus."
Diandra buru-buru mengambil kotaknya dan menghampiri Gerald. Duduk di belakang pria itu dan mengobatinya dengan seksama. Sesekali Diandra ikut meringis ketika mendengar rintihan tertahan Gerald.
"Sekali lagi maaf Pak," lirihnya.
"Nanti malam kain kasanya di lepas ya, terus suruh Grace membersihkannya. Atau pak Gerald ke rumah sakit saja, takutnya infeksi."
"Grace tahunya ngomong sama ngabisin uang saja."
"Ya udah ke rumah sakit."
"Takut Bian khawatir kalau tahu saya ke rumah sakit."
Hening, Diandra tidak lagi menyahuti perkataan Gerald, membuat pria itu berbalik demi memastikan sesuatu.
"Bu Diandra?" Gerald sangat terkejut mendapati Diandra meneteskan air mata. "Saya salah bicara?"
"Nggak."
"Lalu kenapa menangis?"
"Saya nggak apa-apa. Tiba-tiba teringat sesuatu saja." Diandra buru-buru menghapus air matanya. "Saya harus pulang. Nanti malam kalau nggak ada yang bisa buka perbannya, pak Gerald bisa telpon saya."
Diandra berdiri dan mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja. Namun, ia tidak kunjung melangkah sebab Gerald menarik tangannya.
"Ada apa Diandra?" Kali ini Gerald tidak lagi memanggil Diandra dengan embel-embel Bu. Ia takut Diandra tersinggung dengan salah satu ucapannya. "Saya nggak akan membiarkan kamu pergi sebelum cerita apa penyebab kamu menangis. Ini rumah saya dan kamu menangis di kawasan saya."
"Saya hanya iri melihat kehidupan pak Gerald." Diandra menjeda kalimatnya. "Saat terluka masih ada yang mengkhawatirkan. Ada Abian yang takut bapak terluka, ada Grace yang selalu menghibur bapak. Sedangkan saya? Saya hidup sendirian, bahkan jika saya mati sekalipun nggak ada yang khawatir," ucapnya dengan air mata terus berjatuhan.
Awalnya Diandra biasa saja, tetapi mendengar Gerald takut Abian khawatir karena tahu dia terluka. Diandra tiba-tiba merindukan orang tuanya. Dia baru sadar benar-benar sendirian di dunia yang kejam ini.
"Ibu nggak sendilian!" pekik anak kecil di ambang pintu. Abian tidak tahu apa yang ayah dan ibu gurunya bicarakan, tetapi mendengar kata sendiri Abian tidak terima.
"Bian bakal nangis kalau ibu mati. Bian sedih kalau ibu telluka," ujarnya setelah memeluk kaki panjang Diandra.
"Dengarkan?" Gerald tersenyum.
"Bukan cuma Bian, aku sama kak Jovin juga akan khawatir dan sedih jika kamu terluka," celetuk Grace menghampiri Diandra.
Dia dan Hansen baru saja pulang jalan-jalan dan menemukan mobil Diandra parkir sembarangan di depan rumah. Alhasil Grace mencari keberadaan keduanya takut terjadi sesuatu.
Tangisan Diandra semakin pecah ketika Grace memeluknya erat. "Jangan pernah anggap dirimu sendiri. Kamu berharga dan banyak yang takut kehilangan kamu," bisiknya.
"Ayah dan ibu kenapa main di kamar, bukan di luar?" tanya Abian yang kini penasaran mengapa ibu guru dan ayahnya bisa ada di kamar.
"Ayah Bian terlu ...."
"Ayah ada urusan penting dengan ibu guru jadinya harus bicara di kamar biar nggak di dengar banyak orang." Gerald buru-buru menyela ucapan Diandra. Abian adalah anak teralai sedunia jika melihat dia terluka. Seolah ini adalah hari terakhirnya di dunia.
"Oh ulusan penting." Abian menganggukkan kepalanya. "Ulusannya sudah selesai Ayah? Bian boleh pinjam ibu?"
"Boleh." Gerald mengangguk, ia baru bergerak setelah Abian dan Diandra keluar dari kamar.
"Kenapa bisa terluka?" tanya Grace.
"Nolongin Diandra saat di lokasi pembangunan."
"Kok kak Jovin bisa ada di sana? Lagi ngintilan calon janda ya?"
"Ngaco kamu!" Gerald menoyor kepala adiknya.
"Lalu apa kak?"
"Urusan pekerjaan." Sahut Gerald sembari memasang bajunya untuk menutupi luka.
"Urusan pekerjaan atau urusan hati?"
"Grace!"
.
.
.
.
.
Ini kira-kira selama ibu bucin hilang, ada yang kangen nggak sih? Kalau iya, maaf ya Ibu bucin tiba-tiba ada kesibukan hehehe
Selamat membaca
sabar pak Gerald mungkin Diandra masih butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sebelum dia jawab iya