Salah Kamar

Ronal mengepalkan tangan, matanya penuh amarah begitu melihat adiknya pulang dengan keadaan mabuk. Rasanya ia ingin langsung menghajar Sky tanpa ampun.

“Bos Sky mabuk, Pak,” lapor Tom pelan sambil menyerahkan tubuh Sky yang hampir tak mampu berdiri tegak.

Tom sendiri masih belum bisa percaya dengan kabar yang ia dengar dari Ronal—pernikahan Sky dan Lilia resmi batal. Ia bahkan rela memotong urusannya di luar kota dan pulang mendadak demi menyusul Sky, yang tengah kalut mencari Anne.

Sebagai seorang asisten, Tom terbiasa mengurus segala hal untuk Sky: pekerjaan, jadwal pribadi, hingga urusan sepele. Tapi kali ini, ia ikut dibuat kebingungan. Ia menemani Sky yang kehilangan jejak Anne, namun tidak tahu harus memulai pencarian dari mana.

Tom hanya bisa menatap Ronal, berharap ada jawaban. Sementara Ronal menatap adiknya dengan sorot kecewa dan geram, antara iba dan muak bercampur jadi satu.

“Anak ini…” Ronal mendecakkan lidah, menatap adiknya dengan penuh jijik sekaligus kecewa. “Bukannya berpikir dengan kepala dingin, malah mabuk. Dengan begini mau dapatkan Anne? Mimpi saja.”

Ia menggelengkan kepala, napasnya terhembus berat. Mata Ronal menyipit, menahan amarah yang hampir meledak. “Sky… kau memang tidak pernah belajar dari kesalahanmu sendiri.”

Tom hanya bisa terdiam, menunduk. Ia tahu ucapan Ronal ada benarnya. Namun, dalam hati kecilnya, ia juga kasihan melihat Sky yang benar-benar hancur karena kehilangan Anne.

Tom memilih tenggelam dalam pekerjaannya daripada menyaksikan pernikahan Sky dengan Lilia. Itu caranya menunjukkan penolakan—diam-diam ia tidak pernah setuju dengan keputusan sang bos. Dan ternyata, takdir sendiri yang menggagalkan pernikahan itu. Mungkin memang masih ada jalan untuk menyelamatkan hidup bosnya, pikir Tom dalam hati.

“Kira-kira, kemana perginya Nona Anne, Pak?” tanya Tom pelan pada Ronal. Seperti biasa, ia menyapa kakak Sky dengan sebutan formal.

Ronal menghela napas panjang, tatapannya sinis. “Yang aku tahu, mereka ke Amerika. Tapi detailnya aku tidak tahu. Aku punya urusan lain yang lebih penting.” Ia menoleh sebentar ke arah Sky yang terkulai lemas. “Bosmu itu memang payah. Dari dulu, satu hal yang tak pernah bisa dia kendalikan adalah wanita.”

Tanpa menunggu tanggapan, Ronal menyeret tubuh Sky, lalu membawanya ke kamar. Tom hanya bisa menatap punggung keduanya menghilang.

“Astaga, Ronal. Sky kenapa?” Indira yang baru saja keluar dari dapur dengan gelas di tangannya terbelalak melihat Ronal merangkul Sky yang terhuyung.

“Patah hati. Wanita incarannya pergi dengan pria lain,” jawab Ronal datar, seolah hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan.

“Ya Tuhan... kenapa bisa begitu?” Indira menahan napas, sulit percaya dengan apa yang baru didengarnya.

Ronal mendengus, nadanya penuh sindiran. “Jelas saja bisa, Ma. Wanita mana yang mau ditawari jadi istri kedua? Apalagi setelah dikirimi undangan pernikahan oleh anak ini. Bungsu Mama ini memang otaknya konslet.”

Indira terdiam, jantungnya terasa sesak. Ia tahu Sky kerap membuat keputusan gegabah, tapi tidak pernah membayangkan akibatnya akan separah ini.

“Ayo cepat antarkan ke kamar. Biar dia istirahat dulu. Lalu kamu ceritakan pada Mama apa yang sebenarnya terjadi. Tidak mungkin Sky begitu saja menawari anak orang jadi istri kedua,” ujar Indira sambil sigap membukakan pintu kamar Sky.

“Mungkin ingin mencontoh Papa,” seloroh Ronal asal, nada suaranya ringan tapi menusuk.

Pukkk!

Indira langsung menepuk pundak Ronal cukup keras dengan wajah sebal. “Asal bicara kamu ya!”

Ronal hanya terkekeh singkat, lalu meletakkan tubuh Sky di ranjang. “Ck… Mama kalau mau tahu besok saja. Tunggu Sky bangun dan interogasi sendiri. Aku tidak akan menjelaskan apa-apa, karena ini bukan ranahku bicara.”

Indira mendengus, menatap anak sulungnya dengan pandangan penuh protes. Tapi ia memilih diam, hanya duduk di tepi ranjang menatap wajah Sky yang tertidur pulas dalam mabuknya.

“Anak ini… selalu bikin Mama pusing,” lirihnya.

“Tante Sania dan Lilia tidak kamu beri makan?” tanya Indira setelah mereka keluar dari kamar Sky, suaranya penuh khawatir.

“Sudah, sepiring berdua. Romantis kan?” jawab Ronal malas, jelas tidak minat membahas mereka.

Indira melotot. “Memang itu tidak keterlaluan?”

Ronal mendengus, melipat tangan di dada. “Lebih keterlaluan mereka, Ma. Sudah menghancurkan hati Sky dan masa depannya. Masih mending aku kasih makan. Kalau tidak, sudah aku biarkan kelaparan sampai Sky sadar dan lihat sendiri kelakuan mereka.”

Indira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Kamu ini, Ronal… kalau marah suka kelewatan. Tapi Mama mengerti maksudmu.”

Ronal menoleh sebentar, nada dinginnya tetap menusuk. “Aku hanya tidak mau orang-orang itu lagi-lagi merusak adikku, Ma. Cukup sekali. Kalau bukan karena hal yang terjadi kemarin, mungkin Sky sudah terikat dengan pernikahan yang salah.”

Indira terdiam, hatinya ikut terasa sesak. “Tapi, Ronal… apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Sky bisa batal menikah? Mama butuh penjelasan.”

Ronal menggeleng cepat. “Sudah aku katakan, itu bukan ranahku untuk cerita, Ma. Besok saja, tunggu Sky bangun. Biar dia sendiri yang jelaskan.”

Sedangkan di gudang, Sania dan Lilia tengah berebut makanan seadanya.

“Ibu, berikan telur itu untukku. Aku sangat lapar, dari pagi belum makan,” rengek Lilia sambil mencoba menarik piring kecil dari tangan ibunya.

Sania menepis tangan putrinya dengan kasar. “Telur ini untuk ibu, Lilia! Kamu masih muda, masih kuat meski makan sedikit. Ibu sudah lelah sekali, apa kamu tidak bisa mengerti?”

“Tidak adil! Kenapa aku yang harus mengalah terus?” Lilia mendengus, wajahnya memerah karena kesal.

“Diam! Jangan keras-keras, nanti Ronal dengar. Bisa-bisa kita tidak diberi makan sama sekali,” tegur Sania dengan suara tajam. “Kamu pikir mudah jadi ibu? Semua ini gara-gara kamu juga, Lilia. Kalau saja kamu tidak gagal mendapatkan Sky, kita tidak akan diperlakukan begini!”

Lilia terdiam, terisak menahan marah. “Aku yang salah? Ibu yang memaksa aku menikahinya! Aku tidak pernah benar-benar mau jadi istri Sky!”

“Bodoh! Kalau kamu berhasil jadi istri Sky, kita sudah hidup enak sekarang. Kamu terlalu lemah, tidak bisa menahan laki-laki itu tetap di sisimu!” Sania menatap tajam anaknya, seakan semua kesalahan memang ada di pundak Lilia.

"Tenang Lilia, Sky pasti akan kembali memihak kita."