Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
“Gimana hubungan kamu dengan Lingga?” tanya Harris sambil menatap putrinya penuh selidik.
Malam itu, seperti rutinitas setiap akhir pekan, Diandra pulang ke rumah keluarganya. Kebiasaan itu tak pernah ia lewatkan, sebuah kesepakatan yang dulu menjadi syarat agar ia diizinkan tinggal sendiri dan memilih jurusan kuliah yang berbeda dari keinginan sang papa.
Baginya, kunjungan itu bukan sekadar kewajiban. Setidaknya dengan begitu, ia masih bisa merasakan sedikit kedamaian di tengah keluarganya. Persaingan memang belum sepenuhnya hilang, tetapi kini hubungannya dengan sang kakak jauh lebih baik. Ada ruang untuk bernapas, ada jarak yang membuat luka lama perlahan mereda.
“Baik kok, Pah,” jawab Diandra seadanya. Ia tersenyum tipis sambil menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Harris mengangguk pelan, lalu mencondongkan tubuhnya. “Kemarin Anton bilang, kamu investasi ke perusahaannya?”
Sekejap mata Diandra membesar. Ia buru-buru menggeleng cepat. “Bukan aku, Pah. Itu Lingga.”
“Sudah Papa duga.” Harris menyipitkan mata, jelas rasa penasarannya tumbuh. “Tapi kenapa dia pakai nama kamu?”
“Papa bisa tanya langsung ke orangnya. Diandra nggak tahu,” jawabnya jujur, meski hatinya sendiri dipenuhi tanda tanya yang sama.
“Dia nggak diskusi dulu sama kamu?”
Diandra menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Papa juga tahu, Lingga itu susah ditebak,” ucapnya ringan, meski jauh di dalam hati ia sadar: tiga hari bersama pria itu jelas belum cukup untuk benar-benar memahami pola pikirnya.
Harris hanya mengangguk paham.
Namun, Diandra tiba-tiba mengangkat wajahnya. Sorot matanya tajam, penuh rasa ingin tahu yang tak bisa ia bendung. “Pah… sebenarnya Lingga ngancem apa sama Papa, sampai Papa rela kasih restu?” tanyanya.
Harris terdiam beberapa detik, lalu tersenyum tipis, seperti sedang mengingat sesuatu. “Nggak ada ancaman. Dia cuma bilang begini—” suara Harris menurun, menirukan ekspresi datar dan dingin Lingga, “Jangan membuat saya melakukan hal nekat untuk mendapatkan putri Anda.”
Diandra terperanjat. “Itu sama aja ngancem nggak sih, Pah?” tanyanya dengan nada meninggi, menatap ayahnya tak percaya. “Terus… Papa langsung kasih restu gitu aja?”
Harris balik menatap putrinya, pandangannya dalam dan penuh pertimbangan. “Seperti yang kamu bilang tadi, Lingga itu sulit ditebak. Dia bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan yang dia mau. Tapi…” Harris terhenti, menarik napas panjang seakan menimbang kata-kata. “…ada satu alasan lain yang bikin Papa setuju. Alasan yang Papa yakin cuma Lingga yang punya.”
Kening Diandra berkerut tajam. “Alasan apa, Pah?”
Alih-alih menjawab, Harris justru tersenyum samar, misterius, seolah sengaja menambah rasa penasaran anaknya. “Itu sesuatu yang harus kamu dengar langsung dari suamimu.”
Diandra tercekat, dadanya berdegup kencang. Ia tahu, Papa bukan tipe yang bicara sembarangan. Jika sampai Harris percaya pada Lingga, berarti ada sesuatu yang besar—sesuatu yang belum ia ketahui.
“Mana mau dia, Pa,” ucap Diandra akhirnya, pasrah. Nada suaranya getir, seolah seluruh keyakinannya runtuh.
Harris menatap putrinya dalam-dalam. Ada kekhawatiran yang tak pernah benar-benar padam di sorot matanya. “Mungkin tidak sekarang. Tapi suatu saat… bisa saja. Karena itu, kamu tetap harus hati-hati dengan keluarga Wijaya.”
Ucapan itu menggantung di udara, bagai peringatan yang sulit diabaikan. Harris tahu betul, dendam antara keluarganya dan keluarga Wijaya tidak akan pernah benar-benar padam. Pernikahan Diandra dengan Lingga memang mengikat dua nama besar itu, tapi bukan berarti menyatukan hati. Bahkan, kabarnya, keluarga besar Wijaya sendiri tidak merestui pernikahan tersebut. Dan justru itulah yang paling membuat Harris resah.
Karena alasan itu pula, meski Diandra sudah menikah, Harris tetap mewajibkan putrinya pulang ke rumah setiap akhir pekan. Baginya, itu cara paling sederhana sekaligus paling kuat untuk menjaga dan melindungi Diandra. Untung saja, Lingga tidak pernah keberatan.
“Sepertinya Lingga nggak akan melibatkan aku dalam urusan keluarganya, Pa,” ucap Diandra pelan. Sepanjang yang ia tahu, sejak awal Lingga hanya menginginkan dirinya sebagai istri, tidak lebih.
Harris menghela napas panjang, lalu menepuk lembut punggung tangan putrinya. “Belum, Ra. Pernikahan kamu dengan Lingga baru seumur jagung. Waktu yang akan membuktikan… apakah kamu bisa tetap berada di luar pusaran itu, atau justru ikut terseret masuk.”
___
Setelah makan malam, Diandra kembali ke kamarnya. Ruangan yang hanya ia tempati setiap kali pulang ke rumah orang tuanya.
Kamar bernuansa pastel itu masih sama seperti tujuh tahun lalu, sejak ia memutuskan hidup mandiri dan menarik diri dari segala urusan keluarga. Bukan karena ia tidak peduli, justru karena ia terlalu peduli pada orang-orang terdekatnya, hingga memilih menjaga jarak agar tidak ikut terjebak dalam pusaran konflik keluarga.
Dan kini, ia justru menikah dengan putra dari rival bisnis ayahnya. Ironis, bukan? Hidup memang penuh kejutan. Kita tidak pernah tahu apa yang menunggu di depan. Yang bisa dilakukan hanyalah menjalani, sambil bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk pernikahan yang datang tiba-tiba ini.
Ceklek.
Suara pintu terbuka membuat Diandra menoleh. Lingga baru saja masuk, masih dengan setelan kerjanya yang rapi.
“Aku kira kamu pulang ke rumahmu,” ucap Diandra, bergeser duduk di ranjang untuk menatapnya.
“Istri saya ada di sini,” jawab Lingga santai. Ia berjalan ke meja rias, meletakkan kunci mobil, dompet, lalu melepas jam tangan mahalnya.
Diandra hanya menatap dalam diam. Rasanya masih sulit percaya semua ini nyata. Tapi semuanya sudah terjadi. Menyesal pun tak ada gunanya, dan hanya perlu menjalaninya saja.
“Saya mandi dulu,” ucap Lingga sebelum masuk kamar mandi, seolah ruangan ini memang sudah jadi miliknya sejak lama.
Diandra tertegun. Bukankah ini pertama kalinya Lingga masuk ke kamarnya? Namun pria itu tampak begitu biasa saja, seakan ruangan ini sudah familiar baginya. Ia menepis rasa heran, kembali merebahkan diri sambil menggulir media sosial di ponselnya, bahkan tak benar-benar memperhatikan apa yang ia lihat.
Tanpa ia sadari, Lingga sudah selesai mandi dan kini berbaring di sisi lain ranjang. Suasana kamar dipenuhi keheningan. Wajar saja, mereka memang jarang mengobrol; setiap percakapan hampir selalu berujung pada perdebatan yang melelahkan.
Diandra berguling pelan, lalu menatap Lingga dengan sorot mata serius. Helaan napasnya terdengar jelas, seolah ia sedang mengumpulkan keberanian.
“Kamu punya kenalan pengacara yang bagus nggak?” tanyanya tiba-tiba, penuh tekad sekaligus gugup.
Kening Lingga berkerut tajam. Ia menoleh, menatap wajah istrinya lekat-lekat. “Buat apa?”
“Aku punya pasien.… dia korban KDRT. Anaknya juga mengalami kekerasan. Tapi karena suaminya punya pengaruh besar, dia nggak berani melapor,” jelas Diandra. Wajahnya serius, suaranya terdengar berat. Ia sedang memikirkan Kanaya, ibu muda yang ia temui beberapa hari lalu.
“KDRT?” ulang Lingga, nadanya datar tapi sarat ketidakpercayaan.
Diandra mengangguk. “Anaknya udah dua hari ini dirawat di rumah sakit. Besok kemungkinan boleh pulang. Tapi aku khawatir…” Tanpa sadar, untuk pertama kalinya ia menceritakan pekerjaannya pada Lingga, lebih dalam dari biasanya.
“Aku udah coba cari bantuan, nanya ke beberapa teman. Tapi mereka belum bisa dalam waktu dekat ini,” lanjutnya.
Lingga hanya terdiam. Matanya menatap langit-langit kamar, ekspresinya datar namun tegang, seolah memikirkan sesuatu yang berat.
“Lingga?” panggil Diandra pelan.
Diandra melihat sorot matanya berubah menjadi dingin, tajam, tapi sekaligus menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Ada amarah, ada luka. Diandra membeku, ia tahu itu bukan sekadar reaksi biasa. Itu triggered response. Tubuh Lingga seperti menyimpan ingatan buruk yang enggan keluar ke permukaan
Lingga menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Saya akan mencarikan mereka pengacara."