Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Sorot mata Deva terlihat lelah, kehampaan yang terpancar darinya membuat Haikal terdiam.
"Sampai kapan kalian mau menyakitiku?!"
"Sampai kamu membayar semuanya! Kamu kira gampang besarin anak nggak berguna kayak kamu?!" sahut Dion tajam.
Deva tersenyum hambar. "Apa aku pernah minta kamu besarin aku, hah? Pernah nggak aku ngemis buat jadi bagian keluarga ini?"
Dion tercekat, lidahnya kelu. Seperti biasa, ia tak mampu menjawab ketika berhadapan dengan Deva.
Detik itu Deva akhirnya paham. Ia mengerti mengapa Jiwa Claudia dulu memilih menjadi antagonis, membuang sisi lembutnya, dan berubah jadi sosok kejam. Karena sejak awal, mereka memang dibiarkan sendirian.
"Apa kalian sadar? Aku selalu dijadikan samsak! Tempat melampiaskan amarah kalian! Tidakkah pernah ada rasa iba sedikit saja di hati kalian?" Tanya Deva parau.
Deva menegakkan tubuhnya. Sorot matanya menusuk ayah dan kedua kakaknya. Aura dingin menyelimuti ruang tamu, membuat napas semua orang tercekat.
"Aku juga manusia," ucap Deva dengan suara berat. " Aku punya perasaan… sama seperti kalian."
Bulir kristal jatuh di pipinya, tapi segera ia hapus dengan kasar. Tatapannya berubah keras, menusuk, dan penuh kebencian.
Sementara ayah dan kakaknya tetap diam tak berkutik, mereka hanya memperhatikan Deva dengan raut wajah yang berbeda-beda.
"Tapi kenapa… kenapa cuma aku yang jadi pelaku? Kenapa cuma aku yang selalu salah?!" teriaknya, suaranya menggema. Udara di ruangan bergetar, kaca di jendela berderik seakan merespons amarahnya.
Ayahnya menegang. Kedua kakaknya ikut merinding. Untuk pertama kalinya, mereka merasakan aura mengerikan dari Deva.
"Dad… aku nggak pernah bisa memilih dari rahim siapa aku lahir. Aku juga nggak pernah minta kalian untuk menyayangiku," lanjut Deva dengan senyum kecut. " Kalau tahu aku lahir hanya untuk dihancurkan seperti ini… lebih baik aku nggak pernah ada."
Kata-katanya bagai belati. Ayah dan kedua kakaknya semakin terdiam, wajah mereka pucat.
Deva berbalik. Ia meninggalkan ruangan itu dengan langkah pasti, tanpa menoleh lagi. Tatapan dinginnya adalah peringatan bahwa gadis lemah yang dulu mereka hina sudah mati.
Di kamarnya, Deva menutup pintu keras-keras. Tubuhnya merosot, bersandar pada daun pintu bercat hitam. Napasnya terengah, matanya merah, namun senyuman tipis terukir di bibirnya.
"Jadi ini, ya... Ini yang lo sebut kejam, Clau?" bisiknya. " Lo bener. Nggak ada gunanya jadi baik kalau cuma dimanfaatin."
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar. Deva mengangkatnya, sambungan video terbuka. Wajah Jack langsung terlihat di layar ponsel itu.
"Deva…" panggilnya lembut.
Deva mengusap wajah dengan kasar. "Ngapain lo telepon gue pagi-pagi?"
Jack tak menjawab, hanya menatap intens. "Wajah lo kenapa?"
"Jatuh. Udah, gue matiin. Mau mandi." Tanpa menunggu jawaban, Deva menutup panggilan itu.
Ia beranjak menuju ranjang, lalu terdiam di atas ranjang cukup lama. Ingatan masa lalu Claudia berputar di kepalanya, penuh kepedihan, tanpa satu pun kebahagiaan.
"Jadi begini rasanya jadi Claudia… sakit tapi nggak berdarah," gumamnya lirih, sebelum menenggelamkan wajah di bawah selimut tebal.
Di dalam kegelapan, sorot mata Deva menyala. Ia tak ingin lagi menjadi gadis rapuh. Ia adalah villainess yang lahir dari luka dan kali ini, tak ada yang bisa menghentikannya.
***
Deva baru saja tiba di halaman kampusnya. Ia memarkirkan motor sport hitam miliknya di parkiran, langsung menyita perhatian mahasiswa yang berada di sana.
Penampilannya berubah drastis. Tak ada lagi pakaian feminin yang pernah ia kenakan. Kini ia tampil serba hitam, dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Saat hendak melangkah menuju kelas, suara dari belakang membuat langkahnya terhenti.
Deva menoleh. Seorang pemuda berlari kecil menghampirinya, lalu berhenti tepat di depannya dengan senyum tipis.
"Lo baru sampai, Dev?" tanya Jack.
"Nggak. Gue baru bangun," jawab Deva sinis. Ia kembali melangkah, Jack mengekor di sampingnya.
"Pipi lo udah sembuh?" Jack mencondongkan kepala, memperhatikan wajah Deva.
"Udah."
"Dingin banget. Jangan-jangan lo belum mandi, ya?" goda Jack sambil tersenyum jail.
"Kayaknya indra penciuman lo eror. Badan gue yang wangi merasa ternistakan, tahu."
Jack tertawa kecil, melangkah sejajar dengannya. Belum sempat percakapan berlanjut, suara melengking terdengar dari kejauhan.
"Ciee… masih pagi udah pacaran! Pepet terus, Jack, jangan kendor!" seru Reza, pemuda blasteran Indonesia–Australia, sambil mendekat bersama sahabatnya, Galtero Ortega.
"Bener tuh. Jangan sampai lolos," imbuh Galtero si kutu buku.
Deva mengerutkan dahi. Ia baru pertama kali melihat keduanya. Jack buru-buru memperkenalkan.
"Mereka teman gue. Selama ini cuti, makanya lo baru ketemu."
" Gue nggak nanya," sahut Deva acuh, lalu meninggalkan mereka.
Reza dan Galtero langsung tergelak.
"Haha! Seorang Jack dicuekin? Serius?" Reza terpingkal-pingkal.
Jack tersenyum masam, berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Ya, ya… ini baru pemanasan," ujarnya, menggaruk tengkuk.
Namun di dalam hati, ia tak bisa memungkiri rasa tertarik pada gadis dingin itu. Awal pertemuan mereka memang tidak baik, tapi Deva mampu membuatnya merasa penasaran.
"Dia mungkin belum terbiasa sama kita. Lo juga jangan terlalu agresif, Jack," kata Galtero dengan nada menasihati.
Reza masih cekikikan. "Iya, coba lo pendekatannya pake cara halus. Kalo lo nyeruduk kayak singa, yang ada dia kabur."
Jack mendengus, tapi matanya tetap menatap ke arah Deva yang makin menjauh. "Kalo gue santai, bisa-bisa dia diambil orang lain, Rez."
" Lah, bukannya dia masih tunangan sama si Elliot?" celetuk Reza.
" Udah putus," jawab Jack singkat.
"Hah? Serius?! Kok gue nggak tahu?" Reza melotot.
"Lo kudet sih. Main game mulu," sindir Galtero.
Reza langsung manyun. "Eh, emang lo tahu, Gal?"
"Hehe… nggak juga," Galtero tersenyum kikuk.
" Anj***, gue kira lo pinter! Sama aja kudetnya kayak gue," gerutu Reza.
Galtero mendengus tak suka. "Jangan samain gue sama lo! Kita beda level."
"Najis! Siapa juga yang mau samaan sama lo," balas Reza sengit.
Jack akhirnya menegur tegas, "Diam!"
Keduanya langsung bungkam, lalu suasana kembali cair. Mereka bertiga melangkah bersama menuju kelas.
Tanpa Deva sadari, ternyata mereka satu jurusan. Jack dan kedua sahabatnya duduk tepat di belakangnya, hanya terpisah satu baris.
Sesekali Jack mencuri pandang ke arahnya. Deva tampak sibuk dengan ponselnya, acuh pada sekitar.
"Eh, Jack! Jangan bilang lo jatuh cinta sama dia?" goda Reza sambil menaik-turunkan alis.
Jack terkesiap. "Nggak. Gue cuma penasaran. Dia… menarik, tapi dingin banget."
"Mungkin emang sifat aslinya begitu, beda sama sikap kejamnya selama ini. Cocok kok sama lo yang kadang waras kadang gila," timpal Galtero santai.
"Sialan. Lo udah bosan hidup, Gal?" Jack melirik sinis sahabatnya.
"Belum lah. Gue aja belum nikah," sahut Galtero cepat.
Jack hanya menghela napas panjang.
Bel masuk berbunyi. Meski dosen sudah menjelaskan, perhatian Jack lebih sering teralihkan ke arah Deva. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
‘Kenapa setiap kali gue ketemu dia, rasanya jantung gue mau meledak?’ batinnya gelisah.
jadi agak aneh crita nya
dan juga Daddy nya itu bukan nya sayang sama dia?
kalo memang si deva ini di fitnah dan dihina sedemikian rupa kenapa masih tetap berharap dan bertingkah sama keluarga nya?
katanya dia punya perasaan dan dia juga manusia tapi sikapnya ga sesuai sama apa yang di cerita kan
kesel banget
jdi kesannya kayak si Deva ini lebih menye menye dan agak lain yang didalam tanda kutip karakternya"kelihatan tidak sesuai sama penggambaran karakter awalnya" seolah olah di awal hanya sebatas penggambaran di awal saja
tapi tetap semangat ya authori💪