Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan yang tidak terduga
Tiba di apartemen baik Dinda maupun Tristan berpisah di depan ruang tamu. Mereka menuju ke kamarnya masing-masing dan kembali saling menyapa sekedar mengucapkan selamat malam sebelum menutup pintu.
"Selamat istrahat, Tristan."
"Selamat mimpi indah, Dinda."
Tristan tersenyum dengan apa yang baru dia katakan pada Dinda, dan sebaliknya Dinda justru termenung.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, heels yang dia gunakan entah terlempar ke arah mana. Ucapan Tristan selama di perjalanan membuatnya gila.
"Mengapa aku harus bertemu dengan bos yang sedikit sengklek seperti ini? Bagaimana bisa dia dengan mudahnya membuatku terpesona."
Dinda meraba dadanya, terpejam mengenang tariannya di pesta dansa. Terkenang bagaimana bosnya bersikap pada Nana.
Sikap manis bosnya benar-benar membuat terlena.
Dert ....
Ponsel Dinda berdering, mengacaukan lamunan nya.
Gadis itu mengecek panggilan masuk dan rupanya itu dari Daren.
[Halo, Pak?] Dinda melihat jam di dinding. Mengeluh karena Daren seolah tak mengerti akan waktu.
[Lu udah di apartemen?]
[Bapak kok tahu?] Dinda bangkit dan menutup tirai kamarnya.
[Bego lu, tahu lah kan udah tengah malam.]
Dinda memutar bola mata, jengah sendiri mendengar ucapan lelaki itu.
[Dinda, kapan kalian pulang?]
[Nggak tahu, tergantung bos sih.]
[Oh, baguslah. Kabarin gua kalau kalian udah rencana mau pulang.]
[Kok bagus sih?] Dinda memijit betisnya yang lelah menari di pesta.
[Iya bagus, ngomong-ngomong rumor kalian berpacaran udah menyebar sampai ke telinga Tuan Bagaskara.]
[Apa?] Dinda terkejut dan segera berdiri.
[Foto kalian ramai di bahas di grup bisnis.]
[Grup? Kalian punya grup gosip semacam itu?]
[Tentu saja, memangnya lu ngga tahu? Tristan ngga kasih tahu?]
Dinda menggelengkan kepala. Dia lupa jika Daren tidak bisa melihat itu.
[Bokapnya Tristan sekarang mencari tahu asal usul keluarga lu.]
[Jangan! Bapak jelasin dong, kalau aku itu hanya sekertaris. Hanya seorang asisten nggak lebih.]
[Asisten yang kek gimana menari dengan mesra di acara besar, Dinda? Tristan bahkan memeluk pinggang lu, sesuatu yang tak pernah terjadi. Asal lu tahu, Tristan memang pernah patah hati, tapi dia ngga pernah pegang cewek, atau posesif sama cewek, sama kayak tatapannya ke elu.]
Dinda tak mengerti.
[Pak, tolong jangan ngadi-ngadi ya, jangan buat saya ngga bisa tidur.]
[Gua kirimin lu fotonya, Din. Pokoknya sekarang Tuan Bagaskara seneng banget karena menganggap dia akan segera mendapatkan calon mantu. Ini gua sampe di suruh buat nyiapin barang hantaran.]
Dinda terduduk kembali di ranjang.
[Pak, yang bener aja. Astaga.] Dinda frustasi.
[Tenang dulu Dinda.]
[Gimana saya bisa tenang? Aduh Pak gini aja deh, bapak kan tahu semuanya. Saya selalu laporan sama bapak, tolong bantu saya, Pak. Jelasin pelan-pelan ke Tuan Bagaskara. Ini ngga bener. Hubungan itu bohong. Jangan pernah mendekati keluarga saya, saya nggak suka.]
[Gua coba bantu deh, Din. Selebihnya mohon maaf.]
Tut.
"Mohon maaf? Apa maksudnya?" Dinda sangat kesal, dia meletakkan ponselnya dan benda itu kembali berdenting.
Foto-foto baru saja masuk dan gadis itu terperangah melihat hasilnya.
Kapan Tristan merengkuh pinggangnya semesra itu?
Ada dimana Dinda berdansa dengan El, dan tatapan Tristan terus mengawasi mereka.
Dinda menikmati kue dan Tristan menatapnya intens.
Semua foto menunjukkan bagaimana Tristan tertarik pada Dinda.
"Ya Tuhan, pantes aja Tuan Bagaskara salah paham."
Dinda tak bisa membiarkan ini terjadi, dia keluar dan segera mengetuk pintu kamar bosnya.
"Tristan, kamu belum tidur kan?"
Tok tok tok!!
"Tristan! Buka pintunya."
Dinda menunggu.
"Masa dia tidur secepat ini sih?"
Gadis itu memberanikan diri untuk memeriksa ke dalam, pintu kamar Tristan tidak terkunci dan ruangan itu rapi tak ada siapapun.
"Loh, kemana orangnya?"
Dinda melihat ke sekeliling. Ruangan itu bersih tak ada satupun foto terpajang di sana seperti kamar Tristan di Jakarta.
"Tristan, apa kamu di dalam?"
Dert!!
Ponsel di atas meja berdering. Dinda ragu melewati batas dan masuk ke dalam tapi di sisi lain, dia juga penasaran
"Apa Tristan juga punya grup bisnis itu ya?" Pikirnya.
Ponsel tak berhenti berdering, Dinda masuk dan melihat notif terpampang di layar.
[Pacar Tuan Tristan sangat cantik, mereka menari sangat indah.]
[Mereka terlihat cocok, sangat serasi.]
[Mereka pacaran atau hanya rekan kerja?]
Dinda tak berani membuka pesan itu, dia hanya membaca notif yang sekilas nampak di depan layar.
"Kau sedang memeriksa ponselku?"
Hah?
Dinda terkejut lalu menoleh, Tristan hanya mengenakan handuk, rambut dan juga seluruh tubuhnya basah setelah mandi.
"Aah!!" Teriaknya spontan.
Tristan reflek menutup mulutnya dan mereka seketika jatuh di atas tempat tidur.
Dinda tercekat dengan mulut di bekap oleh sang bos, sorot matanya penuh kewaspadaan dan berusaha bangkit dari sana.
"Kamu ngecek ponsel saya?"
Dinda menggelengkan kepala. Nafasnya memburu dan Tristan merasakan itu di tangannya.
"Lalu, ngapain kamu di kamar saya? Dinda, aku ini lelaki dewasa, kau tidak perlu merayuku jika memang suka."
Bagai di sambar petir di siang bolong. Dinda tak terima dengan tuduhan itu dan berusaha menjauh dari sang bos.
"Aku tidak sengaja, aku sudah mengetuk pintu tapi tidak ada yang menyahut." Dinda menjelaskan berharap Tristan tidak salah paham.
"Aku di kamar mandi, tentu saja aku tidak mendengar suara cemprengmu."
Dinda berdecak.
"Lalu, kenapa kamu masuk kalau tahu aku nggak nyahut?"
Tristan berdiri dan bertolak pinggang, kini roti sobeknya terlihat jelas.
"A-aku, aku penasaran kenapa kamu ngga jawab. Pas pintu udah kebuka, ponsel kamu nyala terus."
Tristan meraih benda pipih itu untuk melihat siapa yang menghubunginya.
Grup bisnis kini tengah heboh, Tristan malas membukanya dan meletakkan kembali ponsel itu.
"Ada urusan apa hingga kau berani melewati pintu kamarku?" Tubuh Tristan condong ke arahnya.
Jarak mereka begitu dekat, dan Dinda dapat melihat dengan jelas wajah sang bos yang begitu rupawan.
Semakin lama, Tristan seolah sengaja menggodanya. Pemuda itu menghapus jarak dan Dinda segera menghindar.
"Aku datang untuk menyampaikan berita penting."
"Penting? Hey, sepenting apa hingga kamu nekat masuk ke kamarku?"
"Ayahmu tahu hubungan pura-pura kita."
Tristan terdiam.
"Pak Daren baru saja menelpon ku, dia juga mengirimkan foto-foto kita yang di terima Tuan Bagaskara. Sekarang ayahnya Pak Bos mengira kita punya hubungan special dan bahkan menyiapkan hantaran."
"Wow, bagus dong." Tristan tertawa. Wajah panik Dinda justru terlihat lucu dimatanya.
"Bos kok ketawa sih?"
"Iya dong, ayah saya itu memang unik Dinda. Jika beliau menyiapkan hantaran, itu artinya beliau suka sama kamu." Tristan bangkit lalu menjauh untuk mengambil kaos.
"Tapi Tristan, ayahmu menyelidiki siapa orangtuaku."
Mendengar itu Tristan terpaku.
"Aku sudah bilang padamu, aku anak hilang. Aku di tinggalkan di wahana bermain. Aku tidak mau siapapun mencari tahu kehidupan pribadiku. Tolong katakan pada ayahmu jika kita hanya sebatas rekan kerja."
Tristan selesai dengan kaosnya. Dia menatap Dinda yang masih memakai gaunnya.
"Maaf Dinda, aku tidak bisa membuat ayahku patah hati."
"Apa maksudmu?"
"Ayahku sudah lama menunggu kabar baik datang dariku."
"Aku tahu, Tristan, tapi hubungan kita hanya pura-pura. Bukan sungguhan."
Tristan membisu. Sikapnya membuat Dinda menatap bingung.
"Ada apa? Kenapa kamu diam saja?"
Tristan tiba-tiba menariknya dan mencium pipinya. Netra Dinda membeliak, dia terkejut dengan perlakuan bosnya yang tidak biasa.
"Apa-apaan ini?" Saat Dinda menguasai diri, dia mendorong tubuh Tristan dan menyentuh pipinya.
"Mari kita mencobanya, aku ingin mengenalmu lebih jauh."
"Apa kau sudah gila? Apa kepalamu membentur sesuatu?"
Tristan kembali menciumnya dan sekarang ciuman itu mendarat di sisi sudut bibir Dinda. Gadis itu menegang, tubuhnya bereaksi.
Tristan tak berani melangkah lebih jauh. Dia mundur untuk menyaksikan bagaimana reaksi Dinda ketika terlena dengan apa yang dia lakukan.
"Aku tidak bermaksud memanfaatkanmu, Dinda." Gadis itu tersadar.
"Aku menyadari bahwa, aku tertarik padamu. Kau bukan hanya sekedar rekan kerja, kau lebih dari itu."
Dinda mematung, dia tak dapat bergerak dan hanya menatap bosnya.
"Apa kau menyukaiku?"
Tristan tak dapat menjawabnya.
"Katakan, apa kau menyukaiku, Tristan?"
"Entahlah, akuu ..."
"Sudah terjawab, kau mungkin hanya penasaran Tuan Tristan. Lelaki memang seperti itu. Tolong aku, aku berharap kamu bisa bijak dan bicara pada ayahmu. Jika tidak."
"Jika tidak, apa?" sahut Tristan menatapnya.
"Aku akan mengundurkan diri dari pekerjaanku."
Setelah mengatakan itu, Dinda keluar dari kamar. Gadis itu langsung mengurung diri di kamarnya.
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,