Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Aku merasa ngantuk, dan kejadian ini sama sekali nggak membantu memperbaiki suasana hatiku yang memang sudah jelek sejak tadi. Yang aku inginkan cuma tidur lagi, demi Tuhan. Tapi pas aku pikir situasinya nggak bisa jadi lebih buruk, tiba-tiba musik keras meledak di seluruh unit apartemen ini. Musik pesta yang bising banget, lengkap dengan dentuman bass dan segala macam kebisingan lainnya.
Tiba-tiba, penthouse yang tadinya tenang berubah jadi semacam lantai dansa. Aku jadi makin kesal. Gimana aku bisa tidur dengan suara kayak begini? Aku sampai berbaring tengkurap dan nutupin kepala pakai bantal biar suaranya agak meredam. Tapi tetap aja, nggak berhasil. Suara dari luar terlalu berisik.
Sampai kapan sih mereka bakal kayak gitu? Kenapa si Rayza harus bawa-bawa orang ke sini? Kenapa dia nggak bisa pesta di luar aja, atau lebih bagus lagi, tidur di tempat lain?
Nggak peduli seberapa sering aku guling-guling di kasur, tetep aja nggak bisa tidur. Akhirnya aku duduk, nyampak selimut, dan nyerah. Karena jelas-jelas nggak bisa tidur, ya sudah, mending cari hal lain buat dikerjain. Aku mutusin buat baca buku, sekadar ngisi waktu sampai mereka berhenti atau pada teler sendiri.
Nggak lama kemudian, perutku bunyi. Sekarang aku beneran lapar. Mungkin gara-gara makan malam tadi nggak cukup. Karena nggak bisa tidur juga, ya sekalian aja aku mau ke dapur, siapa tahu bisa nemu cemilan. Aku yakin mereka semua ngumpul di kamar Rayza, jadi seharusnya aku bisa lewatin dapur tanpa ketahuan.
Dan ternyata benar. Orang-orang itu kedengeran ributnya dari arah kamar Rayza, jadi aku bisa jalan pelan-pelan ke dapur tanpa gangguan. Aku buka kulkas, dan akhirnya mutusin buat ambil yoghurt sama buah. Pas lagi balik dari dapur ke kamarku, tiba-tiba pintu kamar Rayza kebuka.
Sial. Dari semua waktu yang ada… kenapa harus sekarang?
Namun, yang membuatku terkejut, tiga perempuan cantik dan tinggi keluar dari kamar Rayza. Ketiganya seperti baru saja melangkah keluar dari majalah fashion. Mereka semua semampai dan punya wajah yang menawan. Salah satunya berambut pirang terang, warna yang jelas butuh berjam-jam di salon untuk mendapat hasil seperti itu. Yang satu lagi berambut hitam pekat dengan mata biru yang mencolok, kontras sekali dengan kulitnya yang terang. Dan yang terakhir, rambutnya merah marun gelap dengan mata hijau yang terlihat seperti batu zamrud.
Satu-satunya kesamaan dari mereka, selain tinggi badan dan wajah cantik yang seolah buatan Tuhan langsung, adalah kenyataan bahwa mereka… tidak banyak mengenakan pakaian.
“Oh… ada cewek di sini…” ujar perempuan berambut pirang itu, suaranya manis tapi terdengar menyebalkan saat ia menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Eh, kamu… pacarnya Rayza, ya?” tanya yang berambut merah marun, wajahnya kelihatan tulus tapi nada suaranya seolah menantang.
“Mungkin… bukan…” kata si berambut hitam sambil menatapku seolah sedang menilai barang diskon.
“Yaa... maksudku... dia kelihatan... biasa aja?” celetuk si pirang sambil tertawa ringan.
“Mungkin dia pembantunya…” usul si rambut merah marun. Yang lainnya mengangguk-angguk seolah menemukan jawaban yang sangat logis.
“Bisa jadi dia emang pembantunya,” si rambut hitam menambahkan sambil menyipitkan mata.
Aku benci kenyataan bahwa mereka membicarakanku secara terang-terangan padahal aku ada di sana, persis di depan mereka. Aku cuma berdiri diam dengan rasa geli bercampur muak, menunggu momen canggung ini selesai supaya aku bisa kabur ke kamarku. Aku nggak peduli apa pendapat mereka soal aku.
“Hai, bisa tolong ambilin tisu basah enggak?” kata si pirang akhirnya menyapaku langsung.
“Oh, sekalian bersihin sepatu kita, ya?” tambah si rambut merah marun sambil tersenyum manis, tapi palsu.
Perempuan-perempuan ini benar-benar kasar. Mulut mereka seenaknya, tidak sebanding dengan penampilan mereka yang seperti malaikat. Di balik riasan tebal itu, kelihatan jelas karakter mereka tidak secantik wajahnya. Tapi ya sudahlah, bukan urusanku. Aku melirik mereka datar, lalu memutar badan untuk kembali ke kamarku.
Aku lebih memilih menikmati yoghurt dan potongan buah di dalam kamar, lalu tidur lagi. Hidupku sudah cukup ribet, dan berurusan dengan tiga model sinetron ini bukan bagian dari rencanaku hari ini.
Namun saat aku baru melangkah pergi, suara berat tapi tenang yang familiar menghentikanku.
“Dia pacarku. Jaga ucapan kalian…”
Aku menoleh dan melihat Rayza bersandar di sisi pintu kamarnya. Ekspresi wajahnya datar, tak bisa ditebak. Nada suaranya dingin. Meskipun ucapannya bukan ditujukan langsung padaku, entah kenapa bulu kudukku langsung berdiri. Takut.
Tiga perempuan yang sedari tadi cerewet itu langsung diam membeku, tampak kaget bukan main. Aku sih nggak menyalahkan mereka aku sendiri juga bengong. Tapi mungkin alasannya beda.
APA yang barusan dia bilang?!
Enggak... enggak... enggak... NGGAK MUNGKIN!
Kami BUKAN sepasang kekasih. Aku bahkan hampir nggak kenal cowok ini, dan dia jelas-jelas nggak suka sama aku. Aku juga nggak suka dia. Sama-sama nggak suka!
Aku menatap Rayza, masih syok, tapi dia cuek banget. Dia malah memutar gagang telepon di dinding. Beberapa detik kemudian, tiga pria berbadan besar berpakaian serba hitam masuk ke ruangan dan langsung menyeret tiga perempuan itu keluar. Yang satu sampai digendong karena terus meronta. Aku cuma bisa bengong melihatnya…
“Rayza! Maafin aku… tolong, jangan begini!”
“Please, Rayza… jangan!”
“Aku masih sayang kamu, Rayza… kumohon!”
Tiga perempuan itu nangis sambil meratap, minta ampun. Adegan di depan mataku ini kacau banget lebih dramatis dari sinetron mana pun yang pernah kutonton. Tapi Rayza cuma menatap mereka datar, tanpa emosi, sementara orang-orangnya membawa pergi para perempuan itu. Cara dia memperlakukan mereka seolah-olah nggak ada harganya bikin aku merinding.
Aku nggak tahu apa yang mereka lakukan sampai layak diperlakukan kayak gitu, tapi menurutku, dia bisa saja menyuruh mereka pergi baik-baik. Kurasa malam ini Rayza lagi nggak mood buat "main-main" sama perempuan... ya, bukan urusanku juga sih.
Begitu semua orang keluar dan ruangan kembali sepi, hanya ada aku dan Rayza. Ia menatapku. Tatapannya masih sulit dibaca. Seolah ada yang ingin dia katakan, tapi dia urungkan. Kalau dia pikir aku pengin dengar penjelasan soal kejadian barusan, dia salah besar. Aku nggak peduli.
Tanpa berkata apa-apa, aku langsung balik badan dan masuk ke kamar. Pintu kukunci rapat setelah kututup cukup keras. Sekilas kulihat jam di dinding sudah lewat tengah malam.
Aku nggak bisa tidur. Berulang kali aku membalik badan di ranjang, mata tetap terbuka, telapak tangan menempel di kening. Jujur aja, aku bingung. Perkataannya tadi bikin pikiranku kacau. Kenapa dia tiba-tiba membelaku di depan cewek-cewek itu? Bukannya aku butuh bantuan dia... omongan mereka juga sebenarnya nggak terlalu kupikirin.
Tapi kenapa dia bilang aku pacarnya?
Tanpa sadar, alisku mengernyit. Hati mulai panas. Aku kesal sendiri. Rasanya tubuh jadi nggak nyaman, dan tidur jadi hal paling mustahil malam ini. Gawat... besok aku masih harus ngurus banyak hal…