“Semua saudara Oliver lelaki. Aku tak percaya jika gadis manis itu dititipkan pada pria.” — Arline Franklin
“Aku juga lelaki. Kau pikir aku ini wanita?!” — Arthur Franklin
Arthur Franklin. Pria dingin dan misterius itu sangat mencintai 3 hal dalam hidupnya. Pekerjaan, wanita dan alkohol. Sayangnya, Arline yang merupakan kakak kandungnya menitipkan anak tirinya, Hailey Owen kepada Arthur, si pria pecinta wanita.
Akankah gadis manis itu tetap aman saat berada di bawah pengawasan dan penjagaan Arthur? Atau … Hailey malah menjadi mangsa, seperti wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Arthur - Part 3
...“Karena kau sudah menyatu dengan sampah, maka sekarang kau pun tak lebih dari sebuah sampah. Kau sudah tak bisa di daur ulang, Lyodra.” — Arthur Franklin...
...🌸...
...“Justru orang dewasa lah yang seharusnya banyak menangis! Masalah mereka lebih kompleks dari anak kecil. Menangislah jika memang sakit.” — Hailey Owen...
Hampir dua bulan Arthur menjauhi Lyodra dengan cara mengganti kata sandi pintu apartemen miliknya. Pria itu juga memerintahkan sekretarisnya untuk mengatakan pada Lyodra bahwa ia sedang tidak di Los Angeles jika wanita itu datang ke kantor.
Hingga suatu hari ….
“Arthur!”
Lyodra membuka paksa pintu ruang kerja Arthur. Wanita itu menerobos masuk meskipun Rossa—sekretaris—melarangnya masuk.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, mata yang sembab serta penampilan yang berantakan, Lyodra menghampiri meja kerja Arthur.
“Maaf. Tadi saya—”
“Keluarlah dan tutup pintu,” perintah Arthur pada Rossa. Suara yang dingin dan penuh dengan aura yang mencekam. Ia memberi perintah dengan wajah tanpa ekspresi.
Selang beberapa saat Rossa keluar dan menutup pintu ruangan, kini hanya tersisa Arthur dan Lyodra di dalamnya.
Ruangan yang luas dengan perabotan modern serba hitam, dengan aroma kayu yang memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma kuat dari parfum yang Arthur kenakan setiap harinya.
Pria bermata biru dengan alis tebal yang tegas itu terlihat tenang menatap laptop. Ia seolah tak peduli dengan kehadiran seorang wanita yang pernah menemaninya selama 7 tahun terakhir. Seolah-olah, wanita itu hanya bayangan semu yang pernah singgah ke hidupnya.
“Aku hamil,” ucap Lyodra tiba-tiba. Wanita dengan celana jeans serta blouse hitam ketat itu berdiri di depan meja Arthur. Ia menyodorkan sebuah alat tes kehamilan yang memiliki garis dua.
Mendengarkan ucapan Lyodra, seketika mata biru Arthur bergetar. Bibirnya bergetar dengan rahang yang mengeras. Ada amarah yang sedang ia tahan saat itu. Tangan yang semula sedang memegang mouse laptop, ia mendadak mencengkeram dengan kuat mouse tersebut. Memperjelas urat tangan miliknya.
“Arthur … beri aku kesempatan dan—”
“Kenapa harus aku?” sela Arthur dengan suaranya yang sangat mengerikan. Terdengar berat dan sangat menakutkan.
Lyodra terhenyak. Wanita itu menelan ludahnya. Saat itu juga detak jantungnya berdetak dengan sangat kencang.
“Kau … kau kekasihku, Arthur,” ucap Lyodra dengan tubuh yang bergetar. “Dan bayi di perutku ini anak kita.”
Mata yang sejak tadi enggan menatap wanita di depannya, kini menatap tajam ke arah mata biru wanita itu. Tatapan yang seperti silet dan bisa melukai siapa saja yang ia tatap. “Anak kita?”
“Kau yakin bayi itu anakku?”
Lyodra mengangguk pelan. Nafasnya mendadak hilang sesaat.
“Sejak kapan kita bercinta tanpa pengaman?” serang Arthur tanpa simpati. "Kau selalu minum pil kontrasepsi setelah kita bercinta."
“Terlebih lagi kau sudah bercinta dengan Smith.”
“Apa kau yakin bayi itu anakku?”
Mendengarkan pertanyaan menohok Arthur, Lyodra lagi-lagi dibuat tak berkutik. Bahkan ia sendiri tak yakin bayi di perutnya milik Smith atau Arthur. Seingat dia, usai ia bercinta dengan Smith, ia sudah menelan beberapa pil kontrasepsi. Apa mungkin pil tersebut tak bekerja? Padahal, selama 7 tahun ia bercinta dengan Arthur, tak pernah sekalipun pria itu kebobolan. Karena pria itu tak pernah tidak memakai pengaman.
“Aku akan menggugurkan kandungan ini,” terang Lyodra dengan berani. Sebuah keputusan yang di ambil tergesa-gesa karena ia benar-benar tak ingin kehilangan Arthur.
Kedua alis Arthur bertaut dengan sedikit kerutan di dahi. Ia bertanya dengan sinis. “Kenapa aku harus tau?”
“Karena kau kekas—”
“Kau sudah bukan kekasihku Lyodra,” tegas Arthur gamblang. Ia menyatukan kedua tangannya dengan siku tertumpu ke atas meja. Lalu ia mendaratkan dagunya. “Sejak kau bercinta dengan pria lain.”
Lyodra langsung berjalan mendekat ke arah Arthur. Ia berlutut tepat di samping kursi Arthur. Dengan wajah yang suram dan airmata yang muncul membasahi pipi. Wanita itu tertunduk dengan tubuh yang bergetar.
Tentu saja keputus asaan Lyodra hampir membuat Arthur goyah. Namun … rasa sakit yang ia rasakan, sampai kapanpun tak akan bisa ia lupakan. Bahkan, ia bertekad untuk tak lagi mencintai siapapun dalam hidupnya.
“Pergilah dan jangan pernah muncul lagi di depanku.”
“Arthur … tolong beri aku—”
“Seharusnya, waktu tujuh tahun cukup membuat kau mengerti, aku ini seperti apa.” Potong Arthur tegas.
“Aku tahu kau itu keras dan tak terima maaf. Tapi Arthur, aku tak bisa hidup tanpa kau. Kau tahu, sudah banyak impian yang kita impikan berdua? Bahkan kita berencana menikah tahun depan?”
Arthur menyeringai tipis. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil memejamkan matanya. Di saat hatinya sedang hancur berkeping-keping, ia mencoba untuk tetap tenang. “Ternyata kau masih ingat dengan impian itu.”
“Tentu saja aku ingat semua impian kita!”
“Ck! Seharusnya kau ingat impian itu sebelum bercinta dengannya,” sindir Arthur dengan penuh rasa kesal.
“Sekarang pergilah. Karena kau sudah menyatu dengan sampah, maka sekarang kau pun tak lebih dari sebuah sampah. Kau sudah tak bisa di daur ulang, Lyodra.”
“Pergilah sebelum aku menyuruh Rossa memanggil security.”
...🌸...
Mata biru yang biasanya menggebu-gebu itu, kini terlihat sendu. Ada luka yang sudah bertahun lamanya ia pendam sendiri. Bahkan … tak seorangpun yang tahu seperti apa rasa sakit yang selama ini ia pendam.
Namun kini … kekecewaan itu tumpah di depan seorang wanita yang baru menginjak usia 20 tahun.
“Hei, Arthur ….” Hailey memegang bahu Arthur.
Entah sejak kapan wanita dengan mata hazel itu duduk bersila menghadap Arthur. Sementara Arthur masih duduk seperti semula, menatap lurus ke depan menembus langit siang itu.
“Apa ini sakit?” tanya Hailey sambil memegang dada Arthur dengan lembut. “Apa luka itu belum sembuh?”
Arthur menoleh ke samping, menatap Hailey dengan tawa yang sangat tidak natural. “Ck! Kau pikir aku anak kecil—"
“Justru orang dewasa lah yang seharusnya banyak menangis! Masalah mereka lebih kompleks dari anak kecil,” potong Hailey membuat Arthur terhenyak.
Tawa yang Arthur paksakan tadi mendadak sirna dari wajah tampannya.
"Apa kau tak pernah menangis sekalipun setelah mendengarkan suara wanita itu dengan sampah yang bercinta dengannya?”
Arthur terdiam. Ia menelan paksa salivanya. Ia memalingkan wajahnya dan kembali menatap langit lepas.
“Hei …,” Hailey meraih tengkuk Arthur dan membawa paksa kepala pria itu ke bahu kecilnya. Kemudian ia membelai lembut punggung kepala pria itu. Lalu menepuk pelan punggung kekar yang ternyata penuh beban itu.
“Menangislah jika memang sakit. Sesuatu yang paling kuatlah, yang paling mudah patah.”
Entah kalimat sihir apa yang Hailey keluarkan, Arthur mendadak tak berkutik. Sebaliknya. Matanya terasa panas dengan dada yang terasa sangat sakit. Sakit yang sudah bertahun-tahun ia tahan, kini kembali menyeruak dan memenuhi dada. Andai saat ini tubuhnya disilet dengan ribuan silet, rasanya tak akan sesakit yang ia rasakan saat ini.
Sakit. Pilu. Dan ... putus asa. Semua menjadi satu.
"Percaya padaku. Semua akan baik-baik saja setelah kau menangis."
Saat itu juga, pria tangguh yang dingin dan tak tersentuh itu tak mampu menahan diri. Airmata terus menerus keluar dengan isak yang pilu. Tangisan yang tak pernah ia luapkan, kini ia tumpahkan pada Hailey ... wanita yang kelak akan menjadi ratu di hatinya.
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung .......
Hailey ini..
😀😀😀❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
bertakut2 kenudian..
lhoooo..
bapaknya mana yaaaa????