Jin Lin, seorang otaku yang tewas konyol akibat ledakan ponsel, mendapatkan kesempatan kedua di dunia fantasi. Namun, angan-angannya untuk menjadi pahlawan pupus saat ia terbangun dalam tubuh seekor ular kecil. Dirawat oleh ibu angkat yang merupakan siluman ular raksasa, Jin Lin harus menolak santapan katak hidup dan memulai takdir barunya. Dengan menelan Buah Roh misterius, ia pun memulai perjalanannya di jalur kultivasi—sebuah evolusi dari ular biasa menjadi penguasa legendaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WILDAN NURUL IRSYAD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Balas Dendam dan Benih Revolusi
Setelah mendapatkan kembali kebebasannya, Jin Lin mulai menyisir gua Tianlong Zhenren, mengumpulkan segala sesuatu yang tampak berharga. Di antara semua benda itu, yang paling mencolok adalah cincin penyimpanan milik Tianlong Zhenren—sebuah artefak langka, bahkan di kalangan para iblis.
Dengan ringan, Jin Lin memasukkan semua harta karun ke dalam cincin itu, lalu menyematkannya di jarinya. Namun, tak lama kemudian ia menyadari masalah baru—dalam wujud ular, ia tak punya jari untuk menyimpan cincin itu.
Tanpa ragu, ia mencabut cincin itu dan menelannya bulat-bulat.
Meski belum memiliki kekuatan untuk mendobrak batasan di pintu masuk gua, Jin Lin tidak panik. Ia telah lama mengamati Tianlong Zhenren dan mengetahui bahwa batasan itu tidak ditembus dengan paksa, melainkan diakses melalui sebuah batu spiritual tersembunyi. Dengan mengaktifkan batu itu, akan terbuka celah sementara di dalam formasi pelindung.
Sebelumnya, ia tak berani bertindak gegabah karena takut ketahuan dan diburu Tianlong Zhenren. Tapi kini, pria itu telah mati, dan semua kekhawatiran itu sirna.
Dengan penuh keyakinan, Jin Lin melangkah keluar dari gua, menghirup udara bebas dengan dalam. Namun belum sempat ia bersantai, masalah lain menyambutnya.
Gua ini terletak ribuan li dari Pulau Chixia.
Tianlong Zhenren dapat melintasi jarak itu dalam hitungan jam, namun Jin Lin belum menguasai teknik penerbangan jarak jauh. Ia tak punya pilihan selain melompat ke laut dan berenang sekuat tenaga menuju Pulau Chixia.
Perjalanan itu memakan waktu lebih dari sepuluh hari, melelahkan tubuh dan pikirannya. Untungnya, ia tak menemui bahaya besar di laut, dan berkat persediaan pil dan ramuan dalam cincin penyimpanan, ia tetap bertahan.
Akhirnya, tanah yang dirindukannya tampak di depan mata.
Jin Lin berdiri di halaman rumahnya, memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Sudah hampir lima bulan sejak ia ditangkap oleh Tianlong Zhenren dan dikurung di ruang bawah tanah Istana Raja Iblis.
Namun, rumahnya kosong. Ibunya tidak ada.
Khawatir, Jin Lin segera bertanya kepada para tetangga. Mereka semua terkejut melihatnya masih hidup—karena kabar dari Istana Raja Iblis menyebut bahwa Jin Lin telah ditangkap oleh seorang kultivator dan kemungkinan besar telah mati.
Tetangga-tetangga yang terkejut itu dengan cepat memberinya kabar: Bai Susu, ibunya, masih berada di Istana Raja Iblis.
"Apa?" Jin Lin tertegun. Ia bisa membayangkan segala penderitaan yang mungkin menimpa ibunya selama lima bulan terakhir di tangan Ao Lie.
Balas dendam yang sebelumnya hanya berupa tekad dalam hati, kini membara seperti api yang mengamuk.
Meskipun awalnya ia berencana menahan diri hingga cukup kuat, mendengar kabar ini membuat Jin Lin tak mampu diam. Apalagi kini, dengan warisan Tianlong Zhenren di tangan, ia tak lagi tak berdaya.
Tak lama, kabar kembalinya Jin Lin menyebar. Hu Qi datang membawa Hu Xue, dan tak ketinggalan, Hei Jiao—teman lamanya yang setia—juga muncul.
Para tetangga yang mendengar kisah Jin Lin menjadi marah atas perlakuan Ao Lie. Namun mereka tetap menyarankan Jin Lin untuk mundur. Bagi mereka, Raja Iblis Ao Lie bukan lawan yang bisa dikalahkan oleh satu iblis muda, sekuat apa pun dia sekarang.
Namun Jin Lin menolak untuk menyerah. “Bagaimana aku bisa tinggal diam setelah semua ini?” pikirnya. Ia bersumpah akan menuntut balas—untuk ibunya, dan untuk semua penderitaan yang telah ia alami.
Dari semua yang hadir, hanya Hu Xue dan Hei Jiao yang mendukung niatnya. Hei Jiao bahkan menepuk dadanya dan berkata, “Bos, apa pun perintahmu, aku akan jalankan! Sekalipun harus menyeberang api neraka!”
Ucapan itu menyentuh hati Jin Lin. Di tengah dunia yang penuh pengkhianatan, ia masih memiliki sahabat sejati.
Setelah kerumunan bubar, Hu Qi memanggil Jin Lin ke rumahnya.
“Guru, apakah ada sesuatu yang ingin Anda katakan?” tanya Jin Lin.
“Jin Lin... Aku tidak menentang niatmu untuk menghadapi Ao Lie.” Kalimat pembuka Hu Qi mengejutkan Jin Lin.
“Ternyata Guru juga mendukungku, aku benar-benar beruntung!” serunya gembira.
Namun Hu Qi menggeleng perlahan. “Jangan terlalu terburu-buru. Membunuh Ao Lie saja tidak cukup. Kau harus menggulingkan seluruh Istana Raja Iblis!”
Jin Lin terbelalak. Ia tak menyangka gurunya memikirkan sejauh itu.
“Di Pulau Chixia, ada banyak suku iblis. Namun mereka tersebar dan tak pernah bersatu. Karena itulah kita lemah dan menjadi mangsa para kultivator. Tapi kau... kau berbeda, Jin Lin.”
Sebagai mantan manusia, Jin Lin langsung memahami maksud gurunya. Ini bukan sekadar pembalasan dendam, melainkan awal dari sebuah revolusi.
Hu Qi telah lama memperhatikan Jin Lin. Sejak kecil, ia melihat bahwa muridnya memiliki temperamen istimewa, kharisma yang tak dimiliki oleh para raja iblis sekalipun. Bahkan dirinya sendiri tak mampu membaca seluruh potensi Jin Lin, seolah anak itu diliputi kabut misteri.
Kini, waktu yang dinantikan telah tiba.
Jin Lin pun mengakui bahwa ia telah mendapatkan relik peninggalan Tianlong Zhenren. Ia sengaja tidak menyebutkan garis keturunan naga yang mengalir dalam tubuhnya, karena ibunya sendiri pun belum mau membicarakannya.
Hu Qi terkejut, namun juga penuh harap. Dalam relik itu, terdapat berbagai pusaka spiritual, pil tingkat tinggi, dan bahkan Pil Juexin—racun yang cukup kuat untuk membunuh seorang ahli seperti Tianlong Zhenren. Dengan semua ini, peluang Jin Lin menghadapi Ao Lie meningkat pesat.
“Beruang Hitam, wakil pemimpin Istana Raja Iblis, juga tampaknya tidak puas dengan Ao Lie. Kita bisa mencoba menariknya ke pihak kita. Setidaknya, jika dia netral, itu sudah sangat membantu,” kata Hu Qi sambil menganalisis situasi.
Namun mendekati Beruang Hitam penuh risiko. Bila rencana mereka bocor, semuanya bisa berakhir seketika.
“Bagaimana bisa mencapai hal besar tanpa mengambil risiko?” Jin Lin berkata dalam hati.
Ia sadar, kekuatannya sekarang masih seperti semut yang mencoba mengguncang pohon. Tapi jika ingin mengubah nasib para iblis di Pulau Chixia, langkah pertama harus dimulai.
Dengan bantuan Hu Qi, mereka menyuap seorang iblis kecil di bawah komando Beruang Hitam dan menyampaikan pesan rahasia.
Rencana besar... telah dimulai.