Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 16
“Tuan Zayn… wajah Anda….” gumam Bibi Asisten rumah pelan, menatap bekas merah di pipi Zayn dengan prihatin.
Pertanyaan pelan dari sang asisten rumah tangga langsung menyadarkan Zayn. Ia tertegun, lalu buru-buru menyentuh wajahnya sendiri, menutupi sisi yang memar.
“Tidak sengaja terbentur. Kau bisa kembali ke pekerjaanmu. Terima kasih.” Suaranya dingin, namun lemah,
“Asal bapak tidak apa-apa…” sang asisten buru-buru menunduk, menyesal telah ikut campur. Ia lekas pergi tanpa mengangkat wajah.
Zayn berdiri kaku beberapa saat, napasnya berat. Akhirnya, dengan langkah lesu, ia meninggalkan kamar Irish dan Ethan, kembali ke kamarnya sendiri. Ia sadar, tak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang. Ruang ini, sejak tadi malam, bukan lagi miliknya.
---------
Sementara itu, Carisa menuruni tangga dengan semangat. Di ruang tamu, Ethan duduk termenung di sofa. Pandangannya kosong, tangan mencengkeram pelipis. Wajahnya pucat, ada beban berat yang tak bisa disembunyikan.
Ia teringat malam tadi. Dalam ledakan amarah yang membutakan, ia menyakiti Irish, lagi. Sama seperti empat tahun lalu. Bedanya, dulu Irish pergi tanpa pamit, menghilang entah ke mana. Dan kini, setelah ia tertidur dalam rasa bersalah, ia terbangun menjelang fajar, menemukan Irish masih tertidur di bawah cahaya remang apartemen.
Panik dan bingung, Ethan mengenakan pakaiannya, menuliskan secarik memo singkat, lalu meninggalkan apartemen dengan tergesa. Tapi bahkan saat sudah tiba di rumah, dadanya tetap sesak.
Yang ia inginkan hanyalah menjaga jarak. Namun Irish, wanita itu, selalu berhasil menyulut emosinya hingga kendali dirinya lenyap. Dan yang lebih membuatnya frustasi, Irish tak pernah tunduk. Malam tadi pun, meski telah disakiti, dia justru melawan. Membuat Ethan semakin tersulut dan melakukan kesalahan besar.
Untuk sedikit menebusnya, pagi ini Ethan menyuruh asistennya agar membuat Irish kembali bekerja. Setidaknya, Irish tidak akan lagi perlu menghadapi orang-orang seperti Direktur Anton dan kawan-kawan menjijikkan itu.
“Ethan, kamu lelah?”
Suara lembut Carisa membuyarkan lamunan Ethan. Ia berbalik. Carisa, yang tak tahu apa-apa, menatapnya dengan kekhawatiran tulus. Dadanya langsung terasa semakin sesak.
“Tidak. Aku baik-baik saja.” Ethan memaksakan senyum, menggenggam tangan Carisa erat.
“Tubuhmu yang lemah, kamu yang harus banyak istirahat.”
Carisa menggeleng pelan. “Aku tidak lelah. Hanya saja… semalam kamu tidak pulang, aku khawatir. Aku merindukanmu.”
Ia lalu memeluk Ethan. Tubuh Ethan langsung menegang. Ia panik. Bau tubuh Irish masih melekat di bajunya, dan Carisa sangat peka. Bagaimana jika dia menyadarinya?
“Ada apa?” Carisa mundur sedikit, menatapnya dengan bingung. Matanya bening, namun menyimpan kesedihan.
“Ti....tidak apa-apa.” Ethan berdiri dan mengalihkan pandangan. Ia benci berbohong, terlebih pada Carisa. Tapi hari ini, ia terpaksa melakukannya.
“Aku pulang hanya untuk mengambil dokumen penting. Setelah itu aku harus segera kembali ke kantor."
“Kalau begitu lain kali suruh saja asistenmu yang mengambilnya,” balas Carisa, tersenyum dan menuangkan segelas air untuk Ethan.
“Baik.” Ethan mengangguk. Ia minum dengan cepat, lalu buru-buru berkata, “Aku ke atas sebentar.”
Carisa tetap berdiri di tempat, menatap punggung Ethan yang perlahan menghilang di tangga.
Begitu Ethan tidak lagi terlihat, senyum Carisa menghilang. Wajahnya menegang. Ia tahu, semalam Ethan bersama wanita lain. Bukan sekadar aroma samar, kali ini baunya nyata dan melekat.
Tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih.
Ethan telah mengkhianatinya.
Carisa merasa tubuhnya bergetar, dadanya dipenuhi kemarahan dan rasa benci. Siapa perempuan itu? Siapa yang berani merebut Ethan darinya? Dia harus menemukan wanita itu, dan menghancurkannya.
Saat ia masih bersumpah dalam hati, suara langkah kaki Ethan terdengar dari atas.
Carisa segera menarik napas panjang, lalu tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.
“Sudah dapat dokumennya?”
“Sudah.” Ethan mengganti pakaian, mengambil dokumen seadanya, lalu turun.
“Kantor pasti sibuk. Tapi tetap jaga kesehatan, ya.” Carisa mendekat, merapikan dasi Ethan.
Ethan hendak melangkah pergi, namun ia ragu. Ia ingin mengatakan sesuatu. Tangannya gemetar.
“Ada yang ingin kamu katakan?” Carisa berpura-pura tidak tahu, menatapnya dengan polos.
“Carisa…” Ethan menatap dalam ke mata Carisa. Kata-kata nyaris keluar dari bibirnya, namun tertahan.
Namun, Ethan kembali ragu. Jika Carisa mengetahui segalanya, hatinya pasti hancur. Dia mungkin tak akan pernah memaafkannya. Lalu, jika sudah sejauh itu… apa yang bisa Ethan lakukan?
Di dunia bisnis, Ethan adalah pria yang selalu sigap dan tegas dalam mengambil keputusan. Tapi ketika menyangkut Carisa, dia berubah. Gusar, peduli, dan selalu dihantui rasa bersalah.
“Ethan, kamu kelihatan lelah sekali,” ucap Carisa lembut sambil menyentuh wajahnya, sorot matanya penuh perhatian.
Ethan segera menepis tangan itu, lalu berkata datar, “Aku harus kembali ke kantor. Kamu istirahat saja di rumah.”
Tanpa memberi waktu untuk bertanya, Ethan membalikkan badan dan pergi tanpa menoleh lagi.
Carisa hanya bisa mengikuti langkah Ethan hingga ke pintu depan rumah. Ia berdiri di ambang, menatap punggung laki-laki itu yang semakin menjauh. Langkah Ethan cepat, seperti sedang melarikan diri. Dalam beberapa detik, bayangannya pun hilang dari pandangan.
Carisa tak kuat lagi menahan beban dadanya. Napasnya memburu, lututnya lemas.
“Nyonya, anda kenapa?” tanya Bibi Asisten rumah yang buru-buru datang menghampiri dan menopangnya.
“Tidak apa-apa,” jawab Carisa lirih, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku hanya lelah. Tolong bantu aku ke kamar, aku ingin istirahat.”
“Baik, Nyonya,” ucap Bibi Asisten rumah dengan lembut, memapah Carisa ke kamarnya.
“Sisanya biar aku sendiri. Tolong panggilkan sepupuku, aku ingin bicara dengannya.”
“Baik, Nyonya.” Bibi Asisten rumah mengangguk dan segera keluar dari kamar.
Setelah kepergiannya, Carisa mengatur bantal dan membaringkan tubuhnya dengan nyaman. Tapi pikirannya tetap gelisah. Aroma parfum asing yang tertinggal di pakaian Ethan seolah terus melekat di hidungnya, dan itu membuatnya muak.
Matanya yang besar dan jernih memandang sekeliling ruangan mewah tempatnya berbaring. Kemewahan yang selama ini dimilikinya kini terasa seperti ejekan. Hatinya mendidih.
Ethan telah jatuh ke wanita lain.
Jika Ethan bisa dengan mudah berpaling, maka dia pun harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Dan siapa pun wanita yang berani merebut Ethan darinya, harus siap menanggung akibatnya.
Tiba-tiba terdengar suara di balik pintu.
“Carisa, kamu baik-baik saja? Bibi bilang kamu pusing?” Suara Zayn terdengar dari balik pintu, penuh kepedulian.
Carisa mendesah kesal.
“Berisik sekali! Aku ini belum mati!”
Zayn tak mempermasalahkan sikap ketus Carisa. Ia masuk dan menutup pintu perlahan, lalu mendekat sambil berkata pelan, “Jangan bicara sembarangan.”
Carisa diam, memandangi wajah sepupunya itu. Meskipun habis dimarahi, Zayn tetap di sana. Tetap sabar. Tetap peduli. Ada senyum tipis di wajahnya, membuat Carisa merasa sedikit tenang.
“Zayn, kamu selalu yang paling baik padaku.”
Zayn tersenyum kecil.
“Tentu saja. Aku selalu ada untukmu.”
“Oh ya, soal yang aku minta sebelumnya… sudah kamu urus?” tanya Carisa, sembari memainkan jari telunjuknya di telapak tangan Zayn.
Zayn menggenggam balik tangan Carisa, lalu berpikir sejenak. “Kamu maksud soal wanita yang ada di pesta Dion?"
Carisa mengangguk.
“Sudah hampir beres. Aku memang tidak ingat wajahnya, tapi aku telusuri data perusahaan. Dia salah satu desainer di perusahaan garmen. Beberapa hari lalu, aku sudah hubungi Wakil Direktur perusahaan itu. Seharusnya dia sudah dipecat.”
Zayn menambahkan, “Beberapa hari ini kamu sakit, jadi aku belum sempat cek lagi ke wakil direktur itu. Tapi kalau kamu mau, aku bisa hubungi sekarang.”
“Tidak usah,” potong Carisa cepat. Yang mengganggu pikirannya saat ini bukan lagi wanita di pesta itu, tapi wanita yang bermalam bersama Ethan semalam.
“Zayn, ada hal yang lebih penting yang harus kamu lakukan untukku,” katanya lirih, menggenggam tangan Zayn erat-erat.
“Apa pun itu, aku akan lakukan,” jawab Zayn tanpa ragu.
Carisa menatapnya, matanya berkaca-kaca.
“Zayn… Ethan… dia…” Suaranya bergetar. Setetes air mata jatuh di tangan Zayn.
Zayn panik, segera menyeka pipinya. “Carisa, jangan nangis. Apa yang terjadi? Ethan menyakitimu?”
Carisa mengangguk kecil.
“Dia… dia selingkuh.”
“Apa?!” Wajah Zayn langsung memerah karena marah. Dadanya bergemuruh. “Bajingan itu! Kamu sudah memberi segalanya, dan dia masih tega mengkhianatimu?”
“Aku takut, Zayn… aku takut Ethan tidak mau aku lagi,” ucap Carisa sambil terisak lagi.
“Carisa, jangan takut. Kalau Ethan sampai kehilangan kamu, itu artinya dia kehilangan hal terbaik dalam hidupnya,” Zayn menenangkan, meski hatinya sendiri penuh gejolak.
Di dalam hatinya, Zayn ingin Carisa menyadari bahwa cinta sejatinya ada di depannya, bukan Ethan. Tapi dia tahu ini bukan waktunya. Sekarang, yang terpenting adalah menjadi tempat bersandar bagi Carisa.
“Kalau suatu hari Ethan benar-benar meninggalkanku, aku harus bagaimana?” bisik Carisa sambil mencengkeram baju Zayn. “Zayn, kamu satu-satunya yang bisa bantu aku. Aku mohon tolong aku.”
Zayn menatap Carisa penuh ketegasan. “Aku bersumpah. Apa pun yang kamu minta, aku akan lakukan.”
“Benarkah?” tanya Carisa, air matanya masih membasahi wajah.
Zayn mengangguk. “Iya, Carisa. Aku janji.”
Bersambung.....
Visual: Carisa