Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan Kegelapan
Pagi harinya seorang warga menemukan Raka tergeletak di pinggir sungai. Wajahnya pucat, tubuhnya dingin dan kaku. Ia membawa bocah itu ke kediaman Mbah Gondo.
"Dia masih hidup, namun sukmanya tengah mengembara ke dunia lain,"
Mbah Gondo menyiapkan ritual untuk memanggil sukma Raka yang meninggalkan tubuhnya. Bunga tujuh rupa sudah di masukan ke dalam baskom yang berisi air sungai tempat Raka di temukan. Asap hitam mengepul setelah Mbah Gondo memasukan dupa ke dalam bara. Doa-doa dalam bahasa jawa kuno mulai terdengar dari mulutnya.
Ia membasuh wajah Raka dengan air kembang. Beberapa saat kemudian jari jemari tangan bocah itu mulai bergerak-gerak.
Mbah Gondo tersenyum. Ritualnya berhasil. Raka membuka matanya. Tatapannya kosong.
Beberapa kali Mbah Gondo berusaha mengajaknya berbicara, namun bocah itu tak menjawabnya.
Ia hanya diam. Sesekali ia tertawa sendiri, lalu menangis. Ia juga suka berbicara sendiri sambil menatap dinding.
"Sukmanya sudah kembali, tapi dia tidak bisa hidup normal lagi. Sebagian sukmanya sudah di segel,"
"Maksudnya dia gila Mbah??" tanya salah seorang warga.
"Hmm," jawab Mbah Gondo mengangguk pelan
**
Sepuluh tahun telah berlalu sejak malam itu. Rumah tua milik Nyonya Suryati kini dikelilingi pagar besi yang tinggi dan dipenuhi papan larangan. Tak seorang pun warga sekitar berani mendekat. Bahkan, anak-anak kecil yang bermain layangan di padang rumput sebelah pun selalu menjauh ketika bayangan rumah itu menyentuh tanah mereka.
Sementara itu keberadaan Nyonya Suryati pun bak ditelan bumi. Wanita itu menghilang setelah kematian ibunya. Tak ada lagi kabar beritanya.
Nurul dan Aryo kini hidup di desa kecil tak jauh dari lereng gunung Merbabu. Mereka membuka warung makan sederhana. Nurul terlihat lebih tenang, namun matanya masih menyimpan jejak luka. Setiap malam, ia selalu menatap langit dan berbisik pada angin.
“Aku masih merindukanmu, Prayit…”
Aryo tumbuh menjadi remaja pendiam. Ia tak pernah bercerita pada teman-temannya tentang masa lalu. Tapi ada satu hal yang tetap ia bawa ke mana pun, tasbih milik ayahnya. Ia menggantungnya di leher seperti kalung, sebagai pengingat bahwa kejahatan bisa datang dari tempat paling tak terduga, dan cinta bisa menyelamatkan jiwa yang tersesat.
Tasbih itu juga menjadi penawar rindu saat ingin bertemu dengan sang ayah.
Suatu hari, seorang jurnalis muda dari ibu kota datang ke desa itu. Namanya Rika. Ia mendengar kabar tentang rumah tua yang pernah memakan nyawa. Ia menulis untuk majalah horor dan urban legend. Rika ingin tahu apakah cerita tentang “Tumbal Nyonya Suryati” benar adanya, atau hanya dongeng warga untuk menakuti anak-anak saja.
Saat gadis itu mencari informasi dari para warga, salah seorang dari mereka menyarankan untuk menemui Nurul.
Rika pun menyambut dengan baik dan meminta salah seorang warga untuk mengantarnya ke rumah Nurul.
Ia mengetuk pintu warung milik Nurul. Wanita itu membukakan pintu dengan ramah, tapi begitu mendengar nama rumah itu, wajahnya berubah pucat. Nurul berusaha menutup pintu warungnya dan menyuruh Rika pergi. Ia tak mau membuka luka lamanya. Namun Rika bersikeras untuk mengetahui cerita tentang rumah tua itu.
“Bu, saya hanya ingin tahu. Ada banyak cerita berseliweran tentang rumah itu. Tentang sumur tua yang ada di dalamnya. Roh-roh gentayangan di dalam rumah itu, dan seorang pria bernama Prayitno,"
Aryo yang baru keluar dari dapur langsung membeku mendengar nama itu. Tangannya gemetar, matanya menatap Rika seperti melihat hantu.
“Kau dengar dari mana cerita itu?” tanya Nurul lirih.
“Saya menemukan catatan tua, dan artikel lama yang tidak pernah diterbitkan. Juga ada seseorang yang mengaku sebagai cucu dari Nyonya Suryati. Ia sedang mencari dokumen warisan…."
Nama itu kembali menggema seperti mantra kutukan. Nurul langsung menyuruh Rika pergi. “Kembalilah ke kota. Lupakan rumah itu. Kalau kamu ke sana, kamu tidak akan bisa kembali lagi.” jawab Nurul
Ia kemudian menutup pintu warungnya.
Rika hanya menghela nafas panjang.
Rasa penasaran membuatnya tak menggubris semua ucapan Nurul. Malam itu juga, ia menyelinap masuk ke dalam rumah tua itu. Ia membawa kamera, alat perekam suara, dan catatan kecil.
Ditemani dua orang temannya, ketiganya memberanikan diri untuk mencari tahu kebenaran cerita tentang rumah tua itu.
Begitu mereka menapakkan kaki ke halaman, angin mendesir aneh. Ranting kering bergesekan seperti bisikan-bisikan rahasia. Rika mengedarkan senter ke sekeliling. Tak ada apa-apa. Rumah itu masih utuh, tapi kosong. Seperti menunggu.
Langkahnya membawanya ke belakang. Di sana, tanah tempat sumur pernah berdiri kini ditutupi tanaman liar. Tapi tak ada yang tumbuh di bagian tengah. Lingkaran tanah itu tetap kosong, seperti luka lama yang tak bisa sembuh.
Rika berjongkok, “Di sinikah pintu gerbang itu?”
Kedua teman Rika memperingatkannya untuk tidak mendekati sumur itu, namun rasa penasarannya membuat ia tak menghiraukan larangan itu.
Tiba-tiba, alat perekamnya berbunyi. Suara serak terdengar samar, “Belum selesai…”
Rika terlonjak. Ia mencoba memutar ulang, tapi suara itu menghilang. Senter di tangannya meredup, lalu mati total. Kegelapan menelan segalanya.
Mengetahui ada bahaya yang mengincar. Kedua sahabatnya langsung berlari meninggalkan Rika sendirian di sana.
Rika berteriak memanggil keduanya, namun mereka tetap berlalu pergi.
Tiba-tiba dari tanah, perlahan muncul bayangan. Tipis, samar. Tapi wajahnya jelas, wajah seorang wanita tua, dengan mata merah dan rambut menjuntai.
Rika ingin berteriak, tapi tak ada suara keluar. Kakinya tak bisa digerakkan. Sosok itu mendekat, berbisik, “Kau… cucuku, bukan?”
Seketika Rika mengerti, ia bukan hanya jurnalis. Ia adalah keturunan darah dari keluarga Suryati. Dan tanah itu… memanggilnya kembali.
**
Keesokan paginya, warga desa heboh. Polisi menemukan kamera dan catatan Rika tergeletak di dekat pagar rumah tua. Namun tubuhnya tidak ditemukan. Tidak ada jejak, tidak ada darah. Seolah ia menghilang ditelan bumi.
Nurul menatap berita itu di televisi desa. Ia tahu apa yang telah terjadi. Sumur itu, meski ditutup, tidak pernah benar-benar tertutup.
Malam harinya, ia bermimpi. Ia berdiri di tepi sumur, bersama Prayitno yang mengenakan baju putih. Wajahnya damai, tapi sedih.
“Kau harus menjaganya, jangan biarkan siapa pun masuk lagi, dek. Ini belum akhir…”
“Siapa yang akan dijadikan tumbal selanjutnya?” tanya Nurul.
“Yang membawa warisan kegelapan…”
**
Beberapa minggu kemudian, seorang pria muda datang ke rumah Nurul. Ia mengaku sebagai pengacara yang ditugaskan untuk mengurus surat warisan milik keluarga Suryati. Ia bertanya apakah Nurul tahu keberadaan cucu Nyonya Suryati yang hilang sepuluh tahun lalu, yaitu… Rika.
Nurul tak menjawab. Ia hanya memandang pria itu dengan mata kosong. Lalu berkata pelan, “Kalau kau ingin hidup, jangan pernah kembali ke rumah itu…”
Aryo, yang mendengar dari balik tirai, menatap tasbih ayahnya. Ia tahu… takdir belum selesai. Masa lalu belum sepenuhnya dikubur. Rumah itu, sumur itu… masih menunggu tumbal berikutnya.
Karena kegelapan… tak pernah benar-benar pergi.
jd ngeri