Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Pacar Shinta
...****************...
“Aku takut, sayang... Gimana kalau teror itu datang lagi. Aku benar-benar kaget waktu pertama kali buka, aku takut. Dan aku nggak tahu siapa yang melakukan ini,” rengek Shinta pada laki-laki di hadapannya.
Suaranya terdengar manja, membuat naluri laki-laki bangkit untuk melindungi, namun ada ketakutan yang nyata di sana.
Ia duduk di hadapan Sangga, sang kekasih, dengan wajah murung. Tangannya yang ramping menggenggam cangkir kopi, namun tak sedikit pun ia menyesap isinya. Matanya menatap Sangga dengan penuh kegelisahan.
Sangga menghela napas, menatap Shinta dengan serius. Ia tak suka melihat gadis itu dalam kondisi seperti ini. Tangannya terulur, menggenggam tangan Shinta dengan erat.
“Tenang, Sayang. Aku janji, aku bakal cari tahu siapa yang berani melakukan ini ke kamu,” ucapnya yakin.
Shinta mengerucutkan bibir, matanya berbinar penuh harap. “Janji ya? Cari sampai ketemu?” tanyanya memastikan.
Sangga mengangguk yakin. “Iya, janji.”
Shinta tentu percaya pada kekasihnya ini, Sangga bukanlah orang sembarangan. Pacarnya itu pengusaha muda yang cukup sukses, perusahaannya juga terkenal sehingga koneksi Sangga ada di mana-mana.
Shinta yakin siapa pun orang yang telah berani mengiriminya paket itu akan segera ketahuan, kekasihnya pasti bergerak dengan cepat.
“Loh, Shinta. Kamu di sini juga?”
Baru saja perasaan Shinta mulai mereda, seseorang tiba-tiba datang mendekati meja mereka. Saat menoleh, ia menatap terkejut keberadaan Araya di sini.
“Kak Araya?” gumamnya.
Araya tersenyum sebelum menjatuhkan tubuhnya ke kursi kosong di samping mereka. “Kakak gabung ya, Ta,” ujarnya santai, lalu menyilangkan kakinya dengan anggun.
Shinta mengangguk kecil, tidak keberatan. Namun, belum sempat ia membuka percakapan, Araya lebih dulu melayangkan pertanyaan. “Eh, by the way, ini siapa?” tatapannya tertuju pada Sangga, yang sedari tadi diam mengamati interaksi mereka.
Shinta menahan senyum sebelum menjawab, “Pacar aku, Kak.” Setelahnya, ia menoleh ke Sangga dan berkata, “Ga, kenalin, ini kakak aku.”
Sangga yang baru mendengar informasi ini untuk pertama kalinya menatap kekasihnya dengan ekspresi bingung. “Loh, kamu punya kakak? Kok nggak pernah cerita?”
Lelaki itu cukup terkejut, mengingat mereka sudah bersama kurang lebih satu tahun, rasanya aneh jika fakta sebesar ini tidak pernah sekalipun Shinta singgung.
Shinta hanya mengedikkan bahu santai. “Kamu aja yang nggak pernah nanya,” jawabnya ringan.
Araya tersenyum kecil dan mengulurkan tangan. “Araya,” katanya memperkenalkan diri.
Sangga menyambut tangan itu. “Sangga. Emm... Kak?” tanyanya, masih mencoba memahami situasi.
“Panggil aja senyamannya,” sahut Araya, nada suaranya terdengar tenang.
Shinta mengangguk menyahut, “kalian seumuran kok.”
Namun, sebelum Sangga sempat menarik tangannya kembali, ia merasakan sesuatu. Gerakan halus—nyaris tak terasa—saat jemari Araya dengan lembut mengusap punggung tangannya sebelum melepaskannya.
Sangga sempat tersentak. Matanya kembali tertuju pada wanita di hadapannya, kini dengan pandangan yang berbeda. Araya tak hanya cantik, tapi juga auranya—Araya memiliki daya tarik yang berbeda.
Bahkan, jika harus dibandingkan dengan Shinta yang cenderung manja dan ceria, Araya tampak lebih dewasa, matang, dan memesona dengan caranya sendiri. Cara ia berbicara, bagaimana ia membawa dirinya—semuanya terasa berbeda.
Pakaiannya simpel, tapi entah bagaimana justru terlihat elegan di tubuhnya. Jaket denim yang ia kenakan, dipadukan dengan kaus putih dan jeans, membuatnya terlihat santai tapi tetap menawan. Tatapan matanya yang tajam dan senyum tipisnya mengingatkan Sangga pada seorang wanita yang tahu betul bagaimana membawa dirinya.
Perhatiannya tanpa sadar tertahan pada wanita itu lebih lama dari seharusnya.
Shinta yang sejak tadi memperhatikan kekasihnya, mengernyit heran. “Ga?” panggilnya, mencoba menarik perhatian Sangga yang masih terpaku pada sosok Araya.
Sangga berkedip sekali lagi sebelum akhirnya menoleh pada kekasihnya. “Iya?”
“Kamu kenapa bengong gitu?” Shinta bertanya dengan nada bercanda, tapi ada sedikit rasa tak nyaman di matanya.
Sangga berdeham, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. “Nggak, Cuma... kaget aja. Aku beneran nggak tahu kalau kamu punya kakak.”
Araya tersenyum tipis, mempermainkan ujung sedotan dalam gelasnya. “Well, surprise?” ujarnya santai.
Shinta hanya mengangguk mengerti, tanpa ada perasaan curiga sedikitpun pada sang kekasih. Ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, lelaki seperti Sangga tidak akan mudah berpaling darinya, pikir Shinta selama ini.
Araya menyesap minumannya sebentar sebelum bertanya, “Lagi ngomongin apa? Soalnya tadi suara kamu lumayan kedengeran, Kakak kira bukan kamu,” ujarnya santai, tapi ada ketertarikan jelas dalam nada suaranya.
Seolah baru teringat sesuatu, Shinta mulai menceritakan dengan detail kejadian pagi tadi—tentang sebuah paket misterius yang diletakkan di depan rumahnya. Saat dibuka, isinya membuatnya hampir pingsan, sebuah kepala babi yang sudah mengering dengan mata melotot ke arahnya.
Araya yang tengah mengaduk minumannya langsung terdiam. Jemarinya menutup mulut, ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya.
“Kepala babi, Ta? Itu pasti bukan sekadar iseng. Itu teror,” katanya dengan nada serius.
Shinta menghela napas dramatis. “Makanya aku takut, Kak. Aku rasanya beneran nggak punya musuh. Aku kan anak baik.” Ia mengerucutkan bibir, wajahnya tampak kesal.
Araya tertawa kecil melihat itu, berhasil kembali menarik perhatian satu-satunya laki-laki di sana.
Anak baik dari Hong Kong?! Batin Araya. Namun, ekspresi yang ia tampilkan tetap simpatik, menjaga imej kakak yang peduli.
“Kak, menurut kakak siapa yang bisa ngelakuin ini?” tanya Sangga akhirnya, ingin mengalihkan pikirannya dari pesona Araya yang terus-menerus menarik perhatiannya.
Araya mengangkat bahu santai. “Bisa siapa aja. Tapi kalau Shinta bilang dia nggak punya musuh, ya... aneh juga.”
“Tapi aku beneran nggak punya musuh, Kak!” potong Shinta cepat.
Sangga mengangguk, mendukung kekasihnya. “Aku juga mikir begitu. Tapi kita nggak bisa anggap ini main-main. Ini serius.”
Ketiganya diam untuk waktu yang cukup lama. Seolah tengah menerawang dengan pikiran masing-masing.
Tak lama, Shinta pamit ke toilet karena ingin buang air dan memperbaiki riasannya. Saat itu, Araya langsung menyangga dagu menatap kekasih adiknya ini.
“Udah lama sama Shinta?”
Sangga mengangguk kecil, “Udah jalan satu tahun, kak.”
“Gak usah panggil kakak, kan kata Shinta kita seumuran. Aku line 00, kamu?” Tanya Araya ramah.
“Oh, sama ternyata. Jadi aku panggil Araya aja, ya?” Tanya Sangga memastikan.
Araya mengangguk, ia mengalihkan pandangannya kali ini.
“Kamu jangan sakitin Shinta, ya? Dia itu memang anak yang baik banget, penurut lagi.” Ujar Araya khas seorang kakak yang sangat mencintai adiknya.
Sangga mengangguk, “Iya. Aku juga berharap hubungan kami bisa ke jenjang serius juga, gimana pun kami udah sama-sama dewasa.”
Ia berucap lancar berbeda dengan suasana hati yang tidak begitu yakin. Karena jujur saja, Sangga kini merasa tengah tertarik dengan orang lain.
“Btw, kita bisa tukeran nomor? Mana tahu ada keperluan kedepannya.” Ucap Sangga.
Araya diam-diam tersenyum miring dan mengangguk, ia akui laki-laki ini cukup pandai memilah kata.
...****************...
tbc.
semangat terus ya buat ceritanya Thor
ga smua laki2 bs kek dy
bner2 kasih istri tahta tertinggi di hatinya
anak aja nmr 2
cb di konoha
istri mah media produksi anak aje
semangat terus ya buat ceritanya Thor