Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 25 — Rencana Penculikan
Lauren menatap gerbang Kinder School, menunggu jam pelajaran berakhir. Tangannya yang lentik dengan nail air bergerak mengetuk-ngetuk kemudi. Tak sabar menunggu sang anak keluar dari gerbang.
"Pokoknya hari ini aku harus bisa membawa Zein, apapun caranya!" gumamnya penuh tekad.
Sementara di dalam kelas, Davira baru saja menyelesaikan pelajaran terakhirnya. Jam pelajaran berbunyi nyaring, Anak-anak bersorak riang.
Davira tersenyum. "Okay, anak-anak. Ayo semuanya dirapikan kembali alat melukisnya, ya. Setelah itu kita apa?" tanyanya pada anak-anak didiknya.
"Berdoa!" jawab mereka serempak. Terutama Zein yang sangat begitu bersemangat sejak pelajaran pertama dimulai.
Matanya yang kecil tak henti-hentinya menatap Davira yang tengah mengajar. Pada jam istirahat, Zein bahkan bercerita kepada teman-temannya bahwa guru mereka telah menjadi ibunya.
Teman-teman Zein mengucapkan selamat, turut senang dengan kabar itu. Beberapa bahkan memeluknya dengan hangat dan memberi anak kecil itu kebahagiaan.
"Mama," panggil Zein ketika anak-anak yang lain telah keluar kelas.
"Iya, Zein sayang? Tunggu sebentar, ya, Nak. Mama harus urus berkas ini dulu, ya." Davira terlihat sibuk dengan sebuah berkas.
Sementara Zein hanya bisa mengangguk padahal sudah tak sabar ingin pulang. Selama beberapa saat, Zein menunggu Davira menyelesaikan pekerjaannya.
Dengan inisiatifnya sendiri, anak kecil itu melangkah keluar kelas. "Zein tunggu mama di taman aja, deh," lirihnya tanpa tahu ada bahaya besar yang mengintainya.
Davira yang masih sibuk itu pun tak menyadari kepergian sang anak. Matanya fokus menatap layar laptop di depannya.
Sedangkan di luar gerbang, Lauren memandangi satu persatu anak yang keluar. Namun, tak satupun di antara mereka yang terlihat seperti Zein putranya.
Ketika anak-anak lain telah dijemput, barulah Lauren menyadari satu anak yang duduk manis di bangku taman, sendirian. Merasa mendapatkan kesempatan emas, Lauren pun mendekati anak kecil itu.
"Halo, Zein."
Zein, yang merasa dipanggil pun menoleh. Mata kecilnya menatap awas pada sosok perempuan yang tak dikenalnya itu. Ada rasa takut yang hinggap, tapi anak kecil itu ingat apa yang telah diajarkan kepadanya bahwa ia harus menjadi anak yang berani.
"Tante siapa?" tanya Zein memberanikan diri.
Lauren tersenyum, sebisa mungkin ia memasang senyum ramah agar putranya tidak takut. Kemudian, ia berjongkok untuk menyelaraskan posisinya.
"Zein gak kenal? Aku ini ibumu, ibu yang melahirkan Zein." Dengan lembut Lauren berkata-kata dengan manis. Padahal sebelumnya, ia tak pernah sekalipun peduli tentang Zein.
"Ibu? Zein cuma punya satu ibu, yaitu Mama Davira!" sahut Zein dengan tegas. Kaki kecilnya mengambil langkah mundur.
Lagi-lagi Lauren memasang senyum ramahnya. Tak ia sangka ternyata anaknya sangat cerdas sampai bisa merasa waspada seperti itu.
"Mama Davira hanya ibu pengganti sedangkan aku adalah ibu kandung Zein. Ibu yang sudah melahirkan Zein. Apa Zein tidak mau memeluk ibu kandung Zein?" bujuknya dengan lembut. Berharap bahwa anak kecil itu mau mengakuinya agar ia lebih mudah untuk membawanya pergi.
Anak kecil itu tampak berpikir sejenak. Otak kecilnya berpikir keras. Tetapi kemudian, Zein melunak, ia melangkah mendekati Lauren. Menelisik matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya bergerak memeluk sang ibu.
Lauren merasa sangat senang, membujuk putranya sendiri bukanlah hal yang sulit, pikirnya. Mengusap kepala Zein, Lauren mengusap pipi anaknya yang terasa lembut. Baru ia sadari ternyata Zein sangat mirip dengan Kavindra.
"Zein mau ikut gak? Kita pergi main, mau?" bujuknya yang langsung diangguki oleh Zein.
"Mau, Zein suka bermain."
Kemudian, merasa sudah mendapatkan kepercayaan anak kecil itu, Lauren berjalan menggandeng Zein untuk masuk ke mobilnya sebelum ada yang menyadari aksinya itu.
Sementara itu, di dalam kelas. Davira akhirnya bernapas dengan lega karena telah berhasil menyelesaikan pekerjaannya. "Alhamdulillah, akhirnya bisa juga."
Mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas kerjanya. Mata Davira lantas memandang ke sekeliling kelas, mencari eksistensi Zein yang baru ia sadari ternyata tak ada tempatnya.
"Ya Allah! Zein ke mana?" monolognya bingung. Berjalan dengan tergesa ke luar kelas, Davira menanyakan keberadaan Zein pada satpam gerbang.
"Pak, lihat Zein? Tadi saya tinggal di kelas, tapi gak ada. Biasanya Zein main di taman, Bapak lihat gak?" tanyanya dengan panik dan napas terengah. Wajahnya pucat karena merasa cemas.
"Loh, bukannya tadi Zein dijemput sama ibunya, ya, Bu?" kata satpam itu agak ragu-ragu. Ia juga tidak terlalu memerhatikan orang yang datang karena semenjak tadi, ia sibuk mengontrol kelas.
Davira semakin panik, tangannya gemetar ketakutan, detak jantungnya semakin berpacu sambil tak henti-hentinya lisan keibuannya merapal doa-doa.
"Bapak lihat mobilnya gak? Atau plat nomor mobilnya? Warna? Atau bahkan ciri-cirinya?"
Satpam itu menggeleng, membuat kaki Davira kian terasa melemah, matanya melelehkan air mata, merasa bersalah karena telah menelantarkan putranya.
"Maaf, Bu. Saya juga kurang tahu pasti, tapi sepertinya warna mobilnya hitam. Kelihatan seperti mobil mahal."
"Ya Allah … " lirih Davira terjongkok dengan lemas. Ia usap wajahnya kasar dengan kedua tangannya.
Satpam itu pun turut merasa bersalah karena ia kurang awas dengan keadaan sekitar.
"Aku harus kasih tahu Mas Kavindra!"
Dengan cepat, Davira berdiri dan merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya. Ia harus memberitahu Kavindra secepatnya.
"Ayo, Mas, angkat! Angkat!" gemas Davira ketika panggilannya tak kunjung diangkat.
Dalam kecemasannya itu, Davira berpikir dengan keras. "Ya Allah, beri hamba petunjuk. Tolong lindung putra hamba di manapun ia berada," pintanya sembari mengatupkan kedua tangan.
"Kita bisa cek CCTV kan, Pak?"
wah wahhh/Facepalm/
kemaren queen terinspirasi dri nama Selina dipelesetin jdi Selena, skrg Selina lgi di sni, ada magnet juga nn ni weh/Proud//Proud/
ANAKKU, SAINGANKU
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/