Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 33 — Kebahagiaan Sederhana
“Loh ke mana mereka berdua?” gumam Kavindra bingung karena sekembalinya ia dari kamar mandi, Davira dan Zein tak ada di tempatnya tadi.
“Jangan-jangan, Zein mau mengambil istriku lagi? Wah! Tidak bisa dibiarkan!” Dengan gegas, Kavindra memakai pakaian tidurnya dan mencari mereka berdua ke kamar Zein.
Dan benar saja, dua orang itu tertidur di sana sambil berpelukan. Pemandangan yang berhasil membuat Kavindra tersentuh dan gemas seketika. Lagi-lagi ia kalah start dari putranya sendiri.
“Maaf, ya, Nak. Papa harus ambil istri papa kembali, tidurlah yang nyenyak dan jangan ganggu kami,” bisiknya sambil menyelimuti Zein kemudian membopong Davira keluar dari kamar Zein.
Tanpa perlu banyak usaha, Kavindra berhasil membawa Davira keluar dari kamar Zein dan merebahkan perempuan itu di tempat tidur mereka. Selama beberapa saat, Kavindra terdiam memandangi wajah pulas Davira.
“Davira, bangun.” Kavindra berbisik dengan lembut dalam usahanya untuk membangunkan Davira setelah puas memandanginya selama beberapa saat. Ada sesuatu hal yang harus ia tanyakan dan ia diskusikan dengan istrinya.
Perempuan itu menggeliat kemudian mengucek matanya pelan. Sedikit terkejut ketika tahu di mana ia bangun. “Kamu gendong aku ke sini, Mas?” tanyanya begitu berhasil menetralkan pandangannya.
Kavindra mengangguk, “Aku harus menyelamatkan istriku dari anakku sendiri.”
Menegakkan punggung pada sandaran tempat tidur, Davira terkekeh pelan. Saat sedang mendongeng untuk Zein, tanpa sadar ia malah ikut tertidur di sana.
“Maaf, tadi aku ketiduran, Mas. Kamu sudah makan? Mau aku siapkan makan?”
Kavindra menggeleng, merangkak naik, ia memilih merebahkan kepalanya tepat di atas pangkuan Davira. “Aku juga butuh dimanja,” katanya seraya menatap manik Davira intens.
Secara refleks, Davira mengusap dahi suaminya itu dengan lembut. Tangannya yang cekatan kemudian bergerak memijat kening hingga kepala Kavindra hingga pria itu merasa rileks dan memejamkan mata.
“Aku dengar dari mama, katanya kamu diganggu oleh Bu Zara. Kamu mengenalnya?” tanya Kavindra memulai topik obrolan yang ingin dibahasnya bersama Davira.
Gerakan tangan Davira terhenti seketika, agak terkejut karena Kavindra tiba-tiba menanyakan hal itu. “Iya, Mas. Dia ibunya mantan tunanganku,” jawab Davira jujur.
“Pria yang waktu itu datang ke pernikahan kita?” tanyanya lagi masih penasaran. Kavindra membenarkan posisi berbaringnya menjadi posisi duduk menghadap Davira.
Perempuan itu mengangguk, “Benar, Mas. Aku juga tidak menyangkan akan bertemu dengan beliau di sini. Kamu marah, Mas?” tanya Davira agak takut, apalagi ketika melihat sorot tajam Kavindra yang seakan marah.
“Tentu saja aku marah, jika aku ada di rumah tadi, aku pasti akan langsung mengusirnya dari rumah ini. Siapapun tidak boleh menghina keluargaku di rumah ini.”
Davira tersenyum samar, lagi-lagi merasa bersyukur karena keluarga ini sangat menerima dan melindungi dirinya kendati ia memiliki kekurangan.
“Tapi itu sudah berlalu, Mas. Mama juga sudah membelaku dan membuatnya malu,” katanya sambil mengusap punggung tangan Kavindra dengan lembut.
“Tapi tetap saja, jika seseorang menghinamu seperti tadi, kau haras membalasnya dengan setimpal, oke? Jangan pernah takut untuk membalas orang-orang yang sudah menghina harga diri kita.”
Kavindra berkata dengan sungguh-sungguh, membayangkan bagaimana perempuan bernama Zara itu menghina istrinya berhasil membuatnya kesal.
Selama ini tak ada yang berani menghina keluarganya secara terang-terangan seperti yang dilakukan Zara terhadap Davira. Jika saja Kavindra tahu, ia pasti akan langsung membungkam mulut perempuan itu.
“Apakah dia sering menghinamu dulu? Saat di desa?” Kavindra kembali bertanya, entah mengapa ia mulai penasaran dengan masa lalu Davira dengan pria itu sampai-sampai ibunya sangat membenci Davira.
Menggeleng pelan, Davira tersenyum masam. “Tidak, Mas. Sebelumnya beliau sangat baik, tapi ketika tahu kekuranganku, beliau langsung memutuskan pernikahan kami dan mulai menghinaku dan ibu.”
“Dan kamu langsung setuju?”
“Iya, terlebih lagi ketika aku tahu bahwa Mas Zul ternyata sudah memiliki seorang istri. Dari sana aku menganggap bahwa itu cara-Nya untuk menyelamatkanku dari pernikahan yang tidak aku impikan,” jelas Davira panjang.
Kavindra menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus geli. “Pria itu sudah menikah dan masih ingin menikahimu? Dia benar-benar gila!” komentar Kavindra merasa tak percaya.
“Sejak saat itu, aku mulai tak percaya pada laki-laki dan takut pada pernikahan.” Davira tertunduk sendu, mengingat luka lama selalu membuatnya merasa malu.
“Tapi kenapa kamu mau menikah denganku?” tanya Kavindra lembut, satu tangannya mengangkat dagu Davira agar perempuan itu balik menatapnya.
Pipi Davira bersemu merah. “Aku tidak tahu, Mas. Mungkin karena kesungguhanmu dalam meminang membuatku yakin bahwa kamu mungkin saja jodohku.”
Kavindra terkekeh pelan, merasa gemas dengan istrinya itu. Apalagi dengan pipinya yang bersemu merah, membuatnya semakin ingin menggigit pipi Davira.
"Kenapa Mas tertawa?"
Kavindra yang masih terkekeh itu menggeleng pelan, "Tidak ada, hanya merasa bahwa kamu itu lucu dan menggemaskan."
"Apanya yang menggemaskan?" Davira refleks memegang wajahnya sendiri. Merasa ada sesuatu yang aneh hingga Kavindra tertawa ketika melihat wajahnya.
"Aku tidak pernah merasa selepas ini untuk tertawa, tapi kamu berhasil membuatku terkekeh-kekeh. Ternyata benar kata orang, ya? Bahwa kebahagiaan kadang datang dari hal-hal sederhana."
"Menikah denganmu juga membawa perspektif baru bagiku, Mas."
Kavindra tertegun, "Apa itu?"
"Sebelumnya aku pikir keluarga kaya hanya mementingkan status dan harta yang mereka miliki saja, tapi ternyata keluargamu tidak begitu. Keluargamu penuh kasih sayang."
Pria itu tersenyum lembut, meraih kedua tangan Davira dan mengecupnya lembut. "Yah, kurasa, dibandingkan dengan harta yang tak seberapa itu. Kasih sayang adalah hal yang jauh lebih berharga."
"Apa kamu tahu, Sayang? Ada beberapa pria kaya yang lebih memilih kesederhanaan dibanding dengan kesetaraan yang kebanyakan diagung-agungkan itu," tambah Kavindra lagi.
Pria itu kembali merebahkan kepalanya tepat di atas pangkuan Davira. Sepertinya sekarang ia menyukai posisi bermanja seperti itu, selain merasa nyaman, ia juga suka menatap wajah cantik Davira lama-lama.
"Apa itu, Mas? Bukankah kebanyakan pria kaya menikahi perempuan dari keluarga kaya juga untuk mempersatukan, apa itu namanya? Kerja sama begitu, ya?"
"Betul, tapi tidak semua pria mengejar kekayaan. Beberapa di antaranya termasuk aku, hanya ingin mencari ketenangan. Rasa tenang dan damai yang diberikan perempuan itulah hal yang paling kami dambakan."
"Apakah sebelumnya kamu tidak mendapatkan hal itu, Mas?" tanya Davira penasaran. Karena dari apa yang ia dengar dari cerita pernikahan Kavindra, sepertinya…
Namun, Kavindra enggan membicarakan hal itu. Ia justru berbalik ke samping dan menarik selimutnya naik. "Sudah malam, sebaiknya kita tidur sekarang," kata Kavindra berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Dan dari sana Davira tahu bahwa topik pernikahan pertamanya adalah hal yang tak boleh ia singgung. Perempuan itu turut menarik naik selimutnya hingga menutupi tubuh Kavindra, mematikan lampu kamar dan mengucapkan selamat tidur sementara ia melangkah ke kamar mandi.
"Kamu mau ke mana?" tanya Kavindra heran. Sebelah alisnya terangkat naik, bahkan ia menyingkap sedikit selimutnya ke samping.
"Aku belum salat malam, Mas. Aku mau salat dulu baru tidur. Kamu tidur duluan saja nanti aku menyusul." Davira mengulas senyumnya dan kembali melangkah ke kamar mandi.
Di tempat tidurnya, Kavindra tertegun. "Kenapa dia tiba-tiba mau salat malam? Apakah aku sudah menyinggung perasaannya barusan?" lirih Kavindra merasa heran.