“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Assalamu'alaikum.”
Semua mata serentak menoleh ke arah pintu. Mereka kaget, sosok yang tengah jadi pembicaraan sudah muncul tiba-tiba.
“Wa'alaikumsalam!” sahut Wulan kala tak ada satu orangpun di ruangan itu yang menjawab.
Semua mata memandang Ara. Kening mereka berkerut melihat setelan kantor yang dikenakan Ara, termasuk Harry.
“Jam segini kamu baru datang, Ar? Ini mah—kamu mau nyari makanan gratis doang,” sinis Poniah. Memecahkan keheningan.
“Macet, Tan,” jawab Ara seraya tersenyum tipis. Ia melangkah masuk.
Bu Syam menilik pakaian sang menantu. “Apa-apaan bajumu, itu? Kerja di minimarket doang, gayanya pake setelan kantor. Belagu amat!” hinanya. “Kamu kira, kamu pantes pakai baju ginian?”
“Ya, lebih nggak pantes kalau pakai baju renang, Bu.”
Jawaban Ara membuat Bu Syam terbelalak. Sedangkan Poniah, matanya sedari tadi melirik Ara yang tengah menyimpan ponselnya ke dalam tas.
“Kerja yang bener, Ar. Jangan banyak main hape. Nanti dipecat—ponakanku juga yang bakal kamu buat susah!” ucap Bu Poniah. “Kamu kerja di mana sih? Penampilan mu itu berlebihan buanget!” nyinyir nya.
Namun, Ara memilih diam. Ia masih berusaha meredam kecewa, menekan amarah yang nyaris meledak.
Ara sebenarnya sudah sampai sejak tadi, tetapi, ia memilih bersembunyi kala mendengar namanya disebut-sebut dalam pembicaraan mereka.
Yang membuat Ara kecewa, Harry tidak membelanya. Justru, sesekali pria itu ikut tertawa.
“Heh! Malah diem—kehabisan kata-kata, kamu? Tadi aja ngomongnya belagu! —Hey, Ara, kalau miskin—jangan bertingkah. Syukur-syukur ada pria yang sudi memikul beban segede kamu ini!” hina Bu Poniah lagi.
“Udah, sekarang—kamu ke dalam sana. Beres-beres piring kotor. Biar keluar keringat, nggak lihat itu—lemak di perutmu? Lama-lama, badanmu bakal menyerupai gentong!” Sambung Poniah sambil menyemburkan tawa, begitupun Syamsinar.
“Iya, kan? Gendutan kan? Badan dia itu lama-lama mirip sapi, hahaha!” Bu Syam semakin tertawa terbahak-bahak.
Ara menunduk, menatap tubuhnya yang hanya berbobot 48 kilogram dengan tinggi 165 cm itu—jelas jauh dari kata 'gendut'. Tapi apa gunanya ia membantah? Hanya membuat lelah lidah.
“Mending sapi, Bu. Ada manfaatnya—lah dia?” Dwi, adiknya Harry—turut menimpali. “Nambah-nambahin beban hidup doang, susah bunting pula!”
Dwi tergelak, pun yang lain.
“Haduh Mas ... Mas ... bisa-bisanya kamu menikah dengan wanita yang modelan nya kayak begini.” Cemooh Dwi seraya memindai penampilan sang kakak ipar. “Ayah kita seorang PNS—harus disandingkan dengan pedagang ayam yang sudah masuk liang lahat itu. Ibu kita, mengajar sebagai guru TK—harus disandingkan dengan ibunya yang hanya penjaja kue keliling. Dan aku? Mahasiswi dari universitas ternama ini, harus disandingkan dengan adiknya yang pengangguran itu? Pfft!” Dwi tertawa terpingkal-pingkal. Sementara, Harry hanya bisa diam. Seperti biasanya.
Ara mengepalkan kedua tangannya. Ia memandangi setiap orang yang tertawa di ruangan itu. Namun, keningnya sedikit berkerut melihat kehadiran Puspa, sosok wanita yang menyukai suaminya—yang Ara ketahui berdasarkan informasi dari Wulan.
‘Ngapain Puspa di sini? Di undang Ibu?’ Batin wanita itu bermonolog. Ara menelan ludahnya yang terasa pahit.
Ara masih mencoba untuk bersabar. Namun, pertanyaan pamungkas itu akhirnya datang— seakan melengkapi penderitaannya.
“Jangan begitu. Mungkin Mbak Ara keliatan gendut karena lagi isi—kali.” Puspa mengucapkan kalimat itu selembut mungkin. Namun, Ara tau, wanita itu sedang meremehkannya. “Kan udah lama menikah, bisa jadi, ‘kan? Mbak Ara sudah periksa?”
“Halah, nggak usah periksa-periksa segala ah. Buang-buang duit! Hasilnya sama juga, NIHIL! Asal kalian tau—kalau dibandingkan sama ayam, sudah pasti suburan ayam ketimbang si Ara ini!” Bu Syam menatap sengit.
Ara memejamkan matanya sesaat. Menggenggam jemari erat-erat. Ia sudah tidak tahan lagi.
“Kalau untuk perkara hamil—Saya rasa, saya cukup menyerahkannya kepada Tuhan saja. Saya percaya, Tuhan akan menitipkan kepercayaannya itu—jika waktunya sudah tepat. Kalau Tuhan belum percaya untuk menitipkan, siapa kita mau memaksa? Lagipula, saya dan Harry adalah pasangan yang memang belum pantas untuk dititipkan kepercayaan sebesar itu—kasihan nanti anak kami. Kita lihat contoh kecilnya saja ... sebagai seorang suami—Harry belum mampu untuk membela istrinya yang tengah dipermalukan di depan orang ramai. Bukan tidak mungkin—Harry akan memperlakukan anak kami kelak, seperti itu juga. Memilih membela ibunya—ketimbang keluarga kecilnya.”
“Ara!” bentak Harry. Wajahnya merah padam, ia sangat malu—apalagi, ada Puspa di sini.
Sudut bibir Ara terangkat satu. “Kenapa kamu baru bersuara, Mas? Aku kira kamu sudah dipanggil Sang Khalik, karena dari tadi hanya mampu membisu di ketek ibumu yang tengah mengata-ngatai istrimu.”
Harry terdiam, wajahnya menahan kesal dan malu. Namun, lidahnya teramat kelu.
“Puspa, saya tau kok tujuan pertanyaan kamu itu. Niat banget ya—ngeremehin saya, mau buat saya malu? Main mu halus memang, tapi, saya nggak sebodoh itu untuk tidak mengerti maksud dari ucapanmu itu. Tapi, maaf nih ... saya sedikitpun tidak merasa malu tuh. Apalagi jika pertanyaan itu keluar dari mulut wanita yang waktunya hampir dihabiskan untuk menggoda suami orang.” Perkataan Ara layaknya pisau yang menancap tepat di dada Puspa.
Wanita itu menggigit ujung bibirnya. Ingin menyangkal, tetapi sanggahan itu bak tercekat di tenggorokannya.
Ruangan menjadi hening. Tak ada lagi gelak tawa yang meremehkan. Semua mata memandang Ara dengan raut tak nyaman.
Ara melanjutkan dengan nada lebih halus, namun begitu menusuk, “dan tentang pekerjaan saya ....” Ia menatap tajam ke arah orang yang mengolok-olok pekerjaannya.
“Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang karyawan kecil. Tapi setidaknya, saya bekerja keras dengan cara yang halal, berusaha untuk tidak membebankan tanggungjawab saya kepada orang yang sangat merasa rugi untuk menafkahi saya.”
“Ara, sudah, cukup ...,” lirih Harry.
“Toserba atau mengais sampah di kolong jembatan pun—saya tidak merasa hina. Janganlah kalian mengolok-olok orang yang mencari rezeki dengan halal—hanya karena tampilannya tak seindah karyawan kantoran. Gimana bangsa ini mau maju—kalau dipenuhi sama orang-orang yang memiliki SDM rendah kayak kalian. Bodoh jangan dipelihara,” timpal Ara.
“Belagu banget kamu y—”
“Ara?”
Ara menoleh ke arah sumber suara yang memotong kalimat Bu Poniah. Wajah lelah itu tersentak. “Ibu?!”
“Ada apa, Ar? Ibu denger dari dapur—kayaknya rame bener? Kamu ... ada buat masalah?” tanya Bu Farida.
Ara tak menjawab, ia hanya fokus memindai penampilan sang ibu.
Matanya membelalak saat melihat celemek melingkar di perut Bu Farida. Belum lagi, peluh membanjiri kening sang ibu, dan —hal itu membuat dada Ara semakin sakit.
“Ngapain Ibu di sini?!” Ara memandang tubuh ringkih yang tampak gemetar karena terlalu lama berdiri.
Ara mengerjap, tak percaya. Ia menoleh, memandangi Harry dengan tajam—seolah-olah hendak menerkam. Pria itu menunduk, tak berani menatap Ara.
Ara cepat menghampiri sang Ibu. Ia tak menyangka—ibunya turut diundang. Namun, hanya dimanfaatkan sebagai pembantu tok!
Emosi yang sedari tadi Ara tahan, kini meledak di dalam dadanya. Tanpa banyak bicara, Ara langsung melepas celemek yang melingkar di perut ibunya. Menghempaskan nya ke lantai.
“Ibu nggak perlu ngerjain ini semua!” Suara Ara bergetar menahan marah. “Ibu bukan pembantu di sini!”
”Ara, Ibu nggak apa-apa, Nak. Namanya juga bantu-bantu—”
“Bantu-bantu apa, Bu?!” potong Ara cepat. Volume suaranya semakin naik. “Ibu diundang ke rumah besan—harusnya untuk menikmati hidangan, untuk jadi tamu, bukan jadi buruh kasar begini. DASAR NGGAK PUNYA OTAK!”
Suara Ara cukup keras sehingga beberapa orang di ruang lain mulai penasaran.
Bu Syam mendongak dari balik sofa, wajahnya masam. “Kamu ngatain aku nggak punya otak, hah?! Dasar nggak punya sopan san—”
“Diam, Bu. Tutup mulut Ibu, sebelum aku melontarkan kata-kata yang sudah pasti akan menyakiti hati Ibu—seperti kata-kata yang Ibu lontarkan ke aku selama ini!” bentak Ara.
“Jangan bentak-bentak ibuku, Ara!” Harry balik membentak.
“Lalu ibuku? Halal untuk kalian rendahkan seperti ini?!” Ara sedikitpun tak ciut. Ia mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu orang-orang di ruangan itu. “Saya tau, tidak baik menyimpan dendam. Tapi, kalian semua harus tau ... perlakuan buruk yang kalian berikan hari ini kepada saya dan ibu saya—tidaklah gratis! Sabar lah menunggu hasil dari yang kalian tabur hari ini!”
“ARAAAA ...!” raung Harry. “Kenapa kamu jadi pembangkang begini, sih?!”
BUGH!
Arrrggghhh!
Ara menimpuk kepala Harry dengan tas jinjingnya.
“Sekali lagi kamu berani ngatain aku pembangkang, bakal aku pastiin bibir atas bawah mu—bakal mencar ke beda-beda kabupaten!” ancam Ara.
Tanpa mempedulikan teriakan Harry yang kesakitan—juga teriakan Bu Syam yang histeris melihat anaknya ditimpuk tas, Ara mencengkram lengan ibunya dengan hati-hati, menariknya lembut tapi tegas.
“Ayo, Bu, kita pulang sekarang. Tinggalkan rumah terkutuk ini!”
“Rumah terkutuk katamu? Heh! Dasar mandul hina, sini kau!” Bu Syam tak terima.
Bu Farida segera berbalik badan. “Apa?Mandul katamu?!”
Bu Syam berkacak pinggang. Ia tersenyum remeh. “Iya, MANDUL HINA. Selain mandul, melarat pula. Kenapa? Nggak terima? —Denger ya, Bu Ida, sampai sekarang ... saya masih nggak ikhlas anak saya menikahi anakmu yang nggak ada bagus-bagusnya itu!”
Bu Farida maju selangkah, ia tak terima putrinya yang amat berharga dikata-katai seperti itu. Bu Syam layak diberi pelajaran.
Namun, saat Bu Farida kembali melangkah, suara lengkingan di ambang pintu membuat Bu Farida menghentikan langkah kakinya.
“MANA BU SYAM?!” Teriak sosok paruh baya, datang sambil membawa pentungan.
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭