NovelToon NovelToon
Istri Dari Ketua Geng Motor

Istri Dari Ketua Geng Motor

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:17k
Nilai: 5
Nama Author: Laura Putri Lestari

Air mata terus mengalir dari sepasang bola mata abu-abu yang redup itu. Di dalam kamar sempit yang terasa semakin menyesakkan, Aria meringkuk, meratapi nasib yang menjeratnya dalam belenggu takdir yang tak pernah diinginkannya. Aria, gadis polos nan culun, begitu pendiam dan penurut. Orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan anak dari bos ayahnya, sebagai jalan keluar dari kejahatan sang ayah yang telah menggelapkan uang perusahaan. Aria tidak berani menolak, tidak berani melawan. Ia hanya bisa mengangguk, menerima nasib pahit yang seolah tak ada ujungnya.

Tanpa pernah ia duga, calon suaminya adalah Bagastya Adimanta Pratama, lelaki yang namanya selalu dibicarakan di sekolah. Bagastya, si ketua geng motor paling ditakuti se-Jakarta, pemimpin SSH yang tak kenal ampun. Wajahnya tampan, sorot matanya dingin, auranya menakutkan. Dan kini, lelaki yang dikenal kejam dan berbahaya itu akan menjadi suami dari seorang gadis culun sepertinya. Perbedaan mereka bagaikan langit dan bumi—mustahi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tekat Bagastya

Malam semakin larut, dan suasana apartemen yang awalnya hening kini terasa semakin mencekam. Aria yang sudah terlelap tidur di sofa, mencoba melupakan segala kekhawatirannya, tidak menyadari bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat.

Di kamar, Bagastya terbangun dalam keadaan setengah sadar. Pandangannya masih kabur akibat alkohol yang diminumnya terlalu banyak, namun tubuhnya terasa panas dan gelisah. Perasaan marah, frustrasi, dan keinginan bercampur menjadi satu. Dalam keadaan setengah sadar, Matanya tertuju pada sosok Aria yang tidur di sofa, tubuhnya meringkuk dalam kehangatan selimut. Pikiran Bagastya masih kabur, namun hasrat yang terpendam lama kini bangkit dengan cara yang keliru.

Tanpa berpikir panjang, Bagastya mendekati Aria dan menindih tubuhnya. Aria tersentak bangun, matanya terbuka lebar karena terkejut. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Bagastya sudah meraup bibirnya dengan kasar, tanpa memberikan kesempatan untuk menolak. Ciuman itu tidak berisi cinta atau kasih sayang, melainkan Ciuman itu penuh dengan emosi yang bercampur aduk—kemarahan, frustrasi, dan kerinduan yang terpendam.

Aria mencoba mendorong tubuh Bagastya yang berat di atasnya, namun tenaganya tak sebanding dengan kekuatan Bagastya yang sedang dipengaruhi alkohol. Tangannya berusaha menahan dorongan itu, tapi sia-sia. Aria hanya bisa pasrah, menahan air matanya yang hampir tumpah, mencoba menjaga kesadarannya agar tidak tenggelam dalam ciuman yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan.

Bagastya terus menciumi Aria dengan kasar, seakan melampiaskan semua perasaan yang terpendam selama ini. Aria merasa dadanya sesak, bukan hanya karena ciuman yang memaksa, tetapi juga karena perasaan ketakutan dan putus asa yang semakin menguasai dirinya. Dalam hatinya, Aria berharap ada secercah kesadaran dalam diri Bagastya yang bisa menghentikan ini, tetapi seiring waktu berlalu, harapan itu mulai memudar.

Namun, di tengah-tengah kekalutan, tiba-tiba ciuman itu berhenti. Bagastya perlahan melepaskan ciumannya, mengangkat wajahnya yang terlihat kebingungan dan bimbang. Pandangan matanya buram, tapi ada kilatan kesadaran yang samar di sana. Nafasnya terengah-engah, sementara tubuhnya mulai goyah, seolah tubuh dan pikirannya terlibat dalam pertarungan batin yang berat.

"Bagastya..." Suara Aria bergetar, lirih dan penuh ketakutan. Ia tidak tahu harus berkata apa, tapi ia ingin menyadarkan suaminya, mengingatkannya siapa dia dan apa yang sedang terjadi.

Bagastya menatap Aria dengan mata yang masih setengah sadar. Wajahnya kini menyiratkan kebingungan, seakan ia mulai menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Seketika, ia tersadar dari keadaan mabuknya, dan tatapannya yang tadinya penuh amarah dan nafsu perlahan berubah menjadi ketakutan dan penyesalan.

Tanpa berkata apa-apa, Bagastya mundur menjauh dari Aria. Dia berdiri, namun tubuhnya yang masih lemah membuatnya hampir terjatuh. Dengan langkah terseok, ia kembali ke tempat tidur, merosot di atas kasur dengan tangan yang menutupi wajahnya. Suara napasnya terdengar berat, dipenuhi dengan kesedihan dan rasa bersalah yang dalam.

Aria masih terguncang, tidak mampu bergerak dari posisi tidurnya di sofa. Matanya mulai berair, tetapi ia menahan tangisnya agar tidak terdengar. Hatinya terasa hancur, bercampur dengan perasaan tidak berdaya yang begitu menyakitkan. Selama ini, Aria selalu berusaha memahami Bagastya, menerima kekerasan dan perlakuan buruknya, tetapi malam ini adalah batas terakhir yang ia bisa terima.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang mencekam. Bagastya akhirnya membuka matanya dan menatap langit-langit, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Suaranya parau dan penuh penyesalan ketika ia berkata, “Gua... Gua nggak sadar apa yang barusan gua lakukan. Maaf…”

Aria tetap diam, memeluk dirinya sendiri di atas sofa. Dia tahu permintaan maaf Bagastya tulus, tetapi luka yang ia rasakan tidak akan mudah hilang hanya dengan kata-kata. Tangannya gemetar, menandakan betapa terpukulnya dia oleh kejadian ini.

Bagastya tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat. Dia merasa benci pada dirinya sendiri, terjebak dalam lingkaran kebencian dan penyesalan yang semakin dalam. Meski begitu, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaikinya. Akhirnya, dengan penuh rasa bersalah, ia bangkit berdiri dan mendekati Aria, lalu bergumam, “Gua yang akan tidur di sini, Aria. Lo... Lo bisa tidur di tempat tidur gua.”

Aria menggeleng pelan, menolak tawaran Bagastya tanpa berkata-kata. Ia tidak ingin lebih dekat dengan Bagastya saat ini, terlalu takut akan apa yang mungkin terjadi lagi. Meskipun tubuhnya lelah, ia tidak bisa memejamkan mata. Rasa sakit dan kekecewaan terus menghantuinya, membuat malam terasa lebih gelap dan mencekam.

Bagastya hanya bisa duduk terdiam di tepi tempat tidur, menyesali perbuatannya. Ia tahu bahwa hubungan mereka, yang selama ini rapuh, kini berada di ujung tanduk. Meski ia ingin memperbaikinya, Bagastya menyadari bahwa mungkin sudah terlambat.

--

Keesokan paginya, suasana di kamar terasa hening dan penuh ketegangan. Cahaya matahari yang masuk dari celah-celah tirai tidak mampu mengusir kesunyian yang membelenggu keduanya. Aria sudah bangun lebih awal, duduk di sofa dengan wajah yang pucat dan mata yang sembab. Dia tidak tidur semalaman, terus merenungkan kejadian semalam.

Bagastya, yang tertidur di ujung tempat tidur dengan posisi duduk, terbangun dengan rasa nyeri di kepala dan kesadaran yang pahit. Pikirannya langsung kembali ke apa yang telah terjadi semalam, membuat perasaan bersalah yang sudah ada semakin berat. Dia melirik ke arah Aria yang duduk di sofa. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi dia bisa melihat luka dan kekecewaan yang mendalam di mata Aria.

Bagastya ingin bicara, ingin menjelaskan dan meminta maaf lagi, tetapi lidahnya terasa kaku. Kata-kata yang biasanya mudah keluar kini tertahan di tenggorokannya. Dia tahu tidak ada kata yang cukup untuk menghapus apa yang telah ia lakukan, dan itu membuatnya merasa semakin tidak berdaya.

Akhirnya, Bagastya memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi. Dia berharap air dingin bisa menyegarkan pikirannya dan membantunya mencari cara untuk memperbaiki situasi ini. Namun, sebelum ia sempat melangkah, suara Aria yang pelan dan lemah menghentikannya.

"Bagas," panggil Aria, tanpa menatap suaminya. Suaranya terdengar hampir seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Bagastya berhenti. "Kita nggak bisa terus begini. Bagasi mana kalau kita cerai aja"

Bagastya memejamkan matanya, merasakan sakit yang luar biasa dari kata-kata itu. Ia tahu Aria benar. Mereka tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketegangan dan konflik yang tak berujung. Tapi idia tidak ingin bercerai. bukan dia yang tidak ingin, tapi...... hatinya.

Bagastya dengan pelan berjalan ke arah Aria. "Gua tahu Gua salah, dan gua nggak punya alasan untuk apa yang sudah terjadi. Tapi, kenapa harus dengan Percerian. Hutang bokap lo aja belum di lunasin"

Aria menghela napas panjang, menatap lantai dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa bimbang. Di satu sisi, ia masih mencintai Bagastya, tetapi di sisi lain, rasa sakit yang ia alami semakin sulit untuk ditanggung. "Bagas, aku butuh waktu," katanya lirih. "Aku nggak tahu harus bagaimana, tapi yang jelas... aku nggak bisa terus hidup seperti ini. Aku bisa kok bantu ayah aku untuk mencari uang, aku juga bisa...."

Kata-kata Aria terpotong dengan Ucapan mutlak BAgastya "Gak ada perceraian di antara kita."

Aria terdiam mendengar ucapan Bagastya yang tegas dan mutlak. Kalimat itu menggantung di udara, membawa ketegangan yang semakin mencekam. Bagastya berdiri di hadapannya, menatap Aria dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan, penuh dengan campuran emosi yang sulit ditebak. Ada kemarahan, kesedihan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa bersalah.

Aria merasakan tenggorokannya mengering, hatinya bergetar. "Bagas, kita nggak bisa terus-terusan begini. Hubungan kita udah terlalu beracun. Aku nggak mau terus-terusan merasa tertekan dan takut setiap hari," katanya dengan suara yang bergetar.

Bagastya menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aria, gua nggak bisa lepasin lo. Bukan cuma karena hutang bokap lo, tapi karena gua nggak mau hidup tanpa lo," Bagastya memilih untuk berkata jujur. "Gua tahu gua udah bikin banyak kesalahan, tapi gua hati gua gak mau perceraian ini."

Aria menatap Bagastya dengan mata yang penuh keraguan. "Tapi Bagas, rasa sakit yang aku rasain itu nyata. Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dengan perasaan aku ke kamu, tapi sepertinya aku gak bisa lagi. Mungkin kita memang nggak cocok," jawabnya, berusaha keras menahan air mata yang hampir jatuh.

Bagastya merasa ada yang menghimpit dadanya mendengar kata-kata itu. Ia sadar kalau pernikahan mereka berada di ujung tanduk, tapi dirinya benar-benar tidak dapat melepas Aria. "Aria, gua nggak peduli seberapa sulit ini. Gua gak bisa ngelepasin lo, lo milik gua. hanya milik gua semata bukan orang lain,".

Aria menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang mulai mengancam. Rasa sakit dan kebingungannya semakin mendalam, dan kata-kata Bagastya yang penuh emosi hanya memperburuk keadaannya. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran setan, antara cinta dan luka, antara harapan dan kenyataan pahit.

"Bagas, aku juga nggak mau perceraian ini," kata Aria dengan suara hampir tak terdengar. "Tapi jika kita terus seperti ini, kita hanya akan saling menyakiti. Apakah kita harus mencoba cara lain untuk memperbaiki rumah tangga ini?. Aku rasa kita tidak bisa memperbaikinya"

Bagastya merasakan sebuah kekuatan baru muncul dari dalam dirinya. Ia tahu bahwa tidak ada jalan mudah untuk mengatasi masalah ini, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia meraih tangan Aria dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan pada keduanya.

"Aria," katanya dengan penuh tekad, "gua mau berusaha. gua tahu bua banyak salahnya sama lo, tapi gua siap untuk memperbaiki semuanya. Gua nggak mau hidup tanpa lo, hati gua gak bisa nerima itu. gua janji, kita akan cari solusi bersama. Gua percaya kita bisa memperbaikinya."

Aria menatap tangan Bagastya yang menggenggamnya, merasa sentuhan itu hangat dan penuh kasih. Tapi, Dia ragu dengan Bagastya, terlebih lagi saat Nama Vanessa sang pacar sari suaminya itu terlintas ki kepalanya., Tapi dia juga merasa ada sesuatu dalam tatapan dan tindakan Bagastya yang membuatnya ingin memberikan kesempatan terakhir. "Bagas, aku hanya butuh kamu untuk benar-benar berubah dan memperbaiki semua ini. Aku mau lihat usaha nyata dari kamu."

"Aku janji, Aria. Aku akan tunjukkan usaha dan komitmen yang lebih dari sebelumnya. Kita akan melalui ini bersama, dan kita akan lebih baik." Bagastya pun ragu dengan kata-katanya, tapi demi mempertahankan istrinya, dia akan melawan keraguanya ini.

Dengan kata-kata itu, Aria mulai merasa sedikit lebih tenang. Mungkin ini adalah awal dari perubahan yang mereka butuhkan. Meski masih banyak yang harus diperbaiki, setidaknya mereka memiliki harapan untuk memperbaikinya bersama. Mereka memutuskan untuk memulai hari dengan tekad baru dan mencari cara untuk memperbaiki hubungan mereka, satu langkah demi satu langkah.

Bagastya dan Aria saling berpandang, merasakan sebuah ikatan baru yang muncul di antara mereka. Meskipun masa depan masih penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa mereka akan menghadapi segala sesuatu bersama-sama. Ini adalah awal dari perjalanan yang penuh tantangan, tetapi juga penuh harapan dan kemungkinan untuk masa depan yang lebih baik.

--

1
JoddyRizka Permana Putra
baik
Retno Harningsih
up
Neneng Dwi Nurhayati
kak buat Aria pergi jauh dari Bagas,kasian
Nabila
jangan berharap dengan orang yang gak mengerti dengan perasaanmu aria, carilah orang yg benar benar sayang kamu , bagastya pasti akan menyesal menyakiti cewek sebaik kamu
Erma Triwiyatmi
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!