Anna, seorang wanita yang berjuang dari penderitaannya karena mendapatkan suami pemalas dan juga mertua yang membencinya serta istri dari ipar-iparnya yang selalu menghasut sang mertua untuk menciptakan kebencian padanya. siapakah Ana sebenarnya, bagaimana kisah masa lalunya, sehingga membuat ibu mertuanya begitu membencinya dan siapa dalang dari semua kebencian tersebut?
Bagaimana kelanjutannya, ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bekerja
Aku dan Alif pulang ke rumah dengan pakaian seember penuh yang mana itu pakaian ibuku, adik dan juga kakak ipar serta milikku yang ku cuci sekaligus.
Alif menenteng dua ekor ikan gabus dan uang 40 ribu rupiah dari hasilnya memancing yang dibeli oleh petani yang pulang dari sawah.
Saat melintasi jalanan, putera semata wayangku itu mencari pucuk dau singkong untuk dijadikan lauk sebagai teman makan. Mungkin direbus dengan sambal terasi akan sangat nik-mat sekali.
Aku menunggunya hingga selesai, dan ia membawanya dengan hati yang senang.
Setibanya dirumah, jemur pakaian yang sudah ku cuci. Alif membawa hasil rambannya ke dalam rumah, dan ia serahkan kepada kakak iparku. Ku dengar kak Meli sangat senang menerimanya.
Tak lama kemudian, ku lihat ibu pulang setelah selesai bergosip dengan para tetangga. Tampak Alif menghampirinya. "Nek, ini uang beli beras," ucapnya dengan begitu polos, sembari menyerahkan uang hasil pencariannya dengan memancing disawah tadi.
Ibuku menatapnya. Lalu berjalan masuk dan tak menghiraukannya. Hatiku tentu merasa sakit saat melihat puteraku diabaikan. Sesakitnya hatiku diabaikan oleh Rumi-ibu mertuaku, lebih sakit tak kala ibu kandungku yang melahirkanku memperlakukanku dan juga anakku didepan mataku dengan begitu angkuh.
Apakah aku harus mengungkit jika masa itu aku yang menafkahi mereka saat masih bekerja sebagai pendosa? Bahkan saat sebelum menikah dan bekerja dengan ibu mertuaku saat masih berbaikan, dan aku begitu ikhlas, tetapi mengapa sekarang seolah tidak dianggap? Apakah karena aku tak pernah mengirim uang lagi? Bagaiamana aku dapat mengirim uang, jika kehidupanku saja begitu memprihatinkan.
Ku selesaikan jemuranku. Lalu aku menghampiri puteraku. "Ayo, kita masuk. Uangnya simpan saja, nanti ibu yang beli beras," ucapku padanya, dengan menahan bulir beming yang hampir jatuh.
Ia menurutiku, lalu pergi ke kamar dan menyimpan uangnya.
Aku menuju dapur untuk membantu iparku dan ku lihat ibu terlihat sedang mencuci piring.
"Mau masak apa, Kak?" tanyaku pada kak Meli.
"Ini, rebus daun singkong, goreng ikan dan juga sambal terasi," sahutnya, sembari menyiangi ikan. Akhirnya yang ku angankan tercapai juga memasak lauk tersebut.
Lalu ku tolong kak Meli memetik daun singkong dan ku lirik ibu yang masih diam saja. Aku mencoba bersabar dan aku juga tak memiliki tujuan apapun saat ini.
"Si Alif pintar juga ya mancing ikan," puji Kakak iparku, sembari mencuci ikan.
"Iya, kak.. Mungkin mewarisi hobby ayahnya yang juga suka memancing," jawabku.
Praaaank....
Terdengar suara piring kaleng terbanting dilantai, dan itu membuatku sangat terkejut dan juga kakak iparku.
"Menikah dengan pria pengangguran saja kok, bangga!" omel ibuku dengan nada penuh kebencian.
Seketika jantungku terasa sangat sakit dengan segala perkataannya, tetapi apa yang bisa ku lakukan? Kondisi keuanganku sangat menipis, apakah aku harus mati bunuh diri bersama dengan anakku? Beban hidupku terlalu berat.
"Tuhan? Apakah tidak ada kebahagiaan sejenak saja Kau titipkan padaku," gumamku lirih dalam hatiku. Tetapi aku masih mengingat setitik dosa jika sampai melakukan tindakan nekad mengakhiri hidupku dan kelak akan dijebloskan ke neraka. Tetapi aku benar-benar sangat kalut saat ini.
Saat bersamaan, pamanku datang. Ia memberi kabar jika rumah makan Padang milik bang Buyung masih mencari pekerja untuk mencuci piring. Ku sambut kabar itu dengan sangat senang.
Apa lagi yang bisa ku kerjakan saat ini tanpa ijazah apapun, bahkan Sekolah Dasar saja aku tidak lulus.
"Terimakasih, ya Paman. Besok aku akan langsung bekerja," sambutku dengan sangat senang. Sebab aku tidak ingin menjadi beban bagi siapapun.
"Tetapi jaraknya satu kilo, Ann. Kamu naik apa pulang dan pergi bekerja?" tanyanya dengan rasa iba.
"Jangankan satu kilo, Paman. 4 kilo meter saja aku sering lalui saat merantau ikut membuka lahan kelapa sawit hanya untuk ke warung dengan berjalan kaki, maka satu kilo itu sangatlah dekat bagiku," jawabku padanya.
Paman terdiam mendengarku. Ia merasa iba padaku, tetapi ia tidak dapat berbuat apapun, sebab paman bekerja berbeda arah denganku.
"Ya sudah, semoga kamu betah, ya," ucapnya dengan nada penuh prihatin. Lalu ia berpamitan.
Setelah pamanku pergi, ibu menatapku.
"Kau mau bekerja dengan membawa anakmu? Kau kira enak bekerja dengan membawa anak? Yang ada orang akan merasa risih denganmu!" ucap ibu dengan sinis.
"Tak mengapa, Bu. Alif sudah biasa ikut aku bekerja dikantin ibu mertua, Alhamdulillah ia tidak pernah rewel," jawabku dengan selembut mungkin.
"Banyak kali jawabmu! Sudah ibu katakan jangan membawanya. Dia bukan tanggungjawabmu, tetapi tanggungjawab ayahnya! Kau akan direpotkan bekerja jika tetap membawanya!" ucap ibuku dengan sengit.
"Cukup! Cukup, Bu, cukup!" teriakku denganku keras. Bahkan aku tak perduli jika tetangga mendengar pertengkaran kami, karena kepalaku rasanya ingin pecah dengan semua permasalahan yang ku hadapi.
"Jika aku tinggalkan ia disana, maka ia akan mati kelaparan, sebab nenek dari ayahnya tidak perduli padanya dan ayahnya yang juga kurang perduli!" jawabku sangat kesal.
Nafasku memburu dengan dadaku yang turun naik menahan semua rasa sesak didadaku. "Ibu tenang saja. Masalah makannya aku yang bertanggungjawab, aku tidak akan menyusahkan ibu, dan aku akan bekerja agar tidak menjadi beban ibu!" ku coba menahan bulir bening yang terus menggenang disudut mataku.
"Aku sudah membeli beras, dan aku hanya menumpang bernaung dirumah ini, apa perlu aku juga membayar sewanya?" ucapku dengan penuh penekanan.
Aku merasa seolah bukan anaknya. Sebab ibu sangat menyayangi cucu dari anak kakak lelakiku yang sudah membuatnya jatuh terpuruk.
Aku merasa mengapa hidupku dan juga bang Johan harus sama, sesama dianak tirikan.
Kak Meli tampak terdiam dan tremor melihat pertengakaran kami. Tetapi aku tak menyalahkannya, aku hanya menyalahkan diriku yang bernasib kurang beruntung.
Aku tak ingin memperpanjang pertengkaran ini. Ku putuskan untuk berjalan keluar rumah untuk menenangkan diri. Ku ajak Alif keluar rumah dan aku sadar jika bulir bening itu tak lagi dapat ku tahan, dan mengalir dengan deras.
"Ibu kenapa?" tanyanya padaku.
"Gal kenapa-napa. Tadi kelilipan, yuk kita ke rumah Buk Dhe pinjam motor, buat jenguk kakekmu," ucapku padanya. Alu ingin memperkenalkannya pada ayahku, sebab baru kali ini aku pulang kampung sejak menikah.
Ku kira ibuku akan menyambutku dengan kehangatan karena belum pernah bertemu dengan cucunya yang merupakan aku anak perempuan satu-satunya. Tetapi kenyataannya, aku hanya berangan terlalu tinggi, tetapi pada kenyataannya aku hanya mendapatkan luka yang semakin membasah dan tak tahu kapan akan keringnya.
Jika saja aku ingin mengungkit, siapa yang membantu keuangan saat ibuku berusaha untuk mengeluarkan kakakku dari jeruji besi dengan remisi yang harus dibayar. Itu adalah aku, tetapi, ah, sudahlah. Aku hanya sesuatu yang tak perlu dikenang.
dn semoga kehidupan Anna sekeluarga mjd Bahagia dan Tentram 🤲