Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Abangku Yang Ganteng
Grep!
Sentuhan di tanganku membuatku tersadar dan membuka mataku. Tapi anehnya, seolah masih terpejam, aku tak bisa melihat apapun di sekitarku.
Dalam hati aku menenangkan diriku sendiri. Pikirku, mungkin sekarang sedang mati lampu.
Namun, tekstur kasurku yang mengeras menyadarkanku bahwa ada yang berbeda.
“Siapa ini?” tanyaku.
Kini tidak hanya satu tangan, orang asing itu menangkup tanganku dengan dua tangannya yang lebih besar.
“Ini Kanda-mu.”
Oh, rupanya mimpi ini lagi. Apa ini lanjutan dari mimpi yang kemarin? Atau sudah loncat ke cerita selanjutnya tanpa aku tahu bagaimana akhirnya?
“Kanda... Kanda Pralajaya.”
Kinasih meraba lengan pemuda itu hingga dia menemukan ujung pundaknya. Pralajaya pun melepas salah satu genggamannya dan menarik pinggang Kinasih agar mendekat padanya.
Bisa kurasakan kehangatan yang Pralajaya ingin sampaikan pada Kinasih. Rasa rindu yang begitu membuncah pun pemuda itu sampaikan dari setiap belaian yang dia berikan di punggung gadis itu.
“Tenanglah, Adinda. Sekarang kau bisa selamat. Kita akan pergi dari tempat ini.” bisik Pralajaya lembut.
“Apa yang terjadi, Kanda? Bagaimana dengan Kanda Ken Walirang?”
Pralajaya merenggangkan pelukan mereka, lalu menatap Kinasih sambil berkata, “Dia terluka, aku sudah mengalahkannya. Jadi, kau tidak perlu khawatir.”
Tetesan air mata mengalir di pipi Kinasih. Bukan kesedihan, namun rasa lega yang akhirnya bisa dia keluarkan.
“Ayo kita pergi, Kinasih!”
Pralajaya kemudian menarik lengan Kinasih agar dia mengikuti langkah pemuda itu. Dengan perlahan mereka melewati berbagai ruangan di sana hingga akhirnya bisa keluar.
Hembusan angin dan teriknya matahari langsung menerpa tubuhku saat pintu terakhir kami lewati. Namun, mataku tak kunjung bisa melihat apapun.
“Kanda, apa kita sudah di luar?”
Pralajaya terdiam. Dia pegang salah satu sisi pipi Kinasih dengan tangan yang bergetar.
“Kau... tidak bisa melihat?”
Seketika aku terbelalak kaget.
“Apa maksud Kanda? Apa aku buta?”
Bibir Kinasih pun ikut bergetar ketakutan. Dengan gugup dia meraba-raba sekitarnya.
Pralajaya lalu menangkap tangan Kinasih itu dan kembali membawanya ke dalam pelukan. Namun, pelukan itu hanya sekejap.
“Dinda, aku... pasti akan mengobatimu. Kau jangan khawatir! Kita pergi dulu sekarang! Ya?”
Kinasih mengangguk setuju walaupun dia masih panik.
Kemudian, Pralajaya menuntun Kinasih agar dia bisa menggendong adiknya itu. Begitu genggamannya sudah dirasa kencang, Pralajaya pun berlari sekuat tenaganya sambil membawa Kinasih di punggung.
“Kanda, kita mau ke mana?”
“Kita akan pergi dari pusat kadipaten. Aku tahu wanua (semacam desa, tapi lebih kecil lagi) yang bisa kita gunakan untuk bersembunyi sementara waktu.”
“Tapi, Kanda. Aku takut... bagaimana kalau perkataan ahli nujum istana itu benar? Bagaimana kalau keberadaanku di dunia ini memang membawa kesialan?”
Ahli nujum? Dukun? Memangnya apa yang dikatakannya sampai Kinasih sekhawatir ini?
“Kau percaya padanya atau padaku?”
Pralajaya menghentikan langkahnya sejenak. Keringat di punggungnya ikut membasahi kembenku, pasti dia kelelahan. Napasnya juga terengah-engah.
“Aku hanya takut, jika kesialan juga akan menerpa wanua itu. Tidak hanya satu ahli nujum yang mengatakannya, bagaimana aku tidak takut?”
Pralajaya menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
“Dengar, Adinda! Tuhan menciptakan manusia semuanya sama, tidak ada kesialan yang dibawa dari lahir. Kalaupun itu benar, bukankah aku yang kembaranmu ini juga seharusnya sama sialnya?
“Tapi, selama bersamamu aku justru merasa bahagia. Kau cantik dan menyenangkan. Aku bahkan berandai-andai jika kau bukan saudaraku. Karena, dengan begitu aku bisa menikahimu.”
DEG!
Jantungku bergemuruh dengan dahsyat. Entah ini jantungku sendiri atau jantung Kinasih, tapi begitu mendengar ucapan Pralajaya, rasanya dadaku sesak.
“Meski begitu, aku sadar diri. Aku tidak mungkin melakukan itu. Aku adalah Kandamu yang tidak boleh menjerumuskanmu ke dalam hal yang lebih buruk dari ini. Aku hanya akan selalu melindungimu, berada di sampingmu hingga kau menemukan belahan hatimu yang sesungguhnya.”
Kesedihan terdengar dari setiap kata yang dia ujarkan. Mungkinkah Pralajaya benar-benar mencintai Kinasih, bukan sebagai adiknya, tapi lebih dari itu?
Ini sih, gila namanya!
...
Begitu bangun, aku terus kepikiran tentang mimpi semalam. Bahkan hingga di tempat kerja pun aku terus kehilangan konsentrasi. Akibatnya aku jadi dimarahi Mbak Lia dan Pak Arif gara-gara melakukan beberapa kesalahan.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Mbak Lia perhatian.
Kalau kubilang aku begini karena mimpi semalam, pasti akan semakin dicecar. Apa yang seharusnya kukatakan?
“Gapapa, Mbak. Saya lagi kurang sehat aja dari pagi.”
Sambil memangku dagunya, Mbak Lia memperhatikanku dengan seksama.
“Kayaknya emang lagi sakit kamu. Gak biasanya kayak gini. Mau istirahat aja?” tawarnya.
Aku mengecek jam yang ada di mejaku. Di sana menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 13.15.
“Gak usah, Mbak. Bentar lagi balik.” tolakku.
Ini hari Sabtu, kami pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Jadi, rasanya agak tanggung kalau istirahat sekarang.
“Ya, sudah. Kamu cek aja dulu revisian yang tadi diminta. Terus, kerjakan sebisanya aja. Gak usah lembur. Toh deadline laporannya masih senin nanti.”
Aku mengangguk, kemudian mengerjakan apa yang tadi Mbak Lia minta. Pokoknya, aku harus konsentrasi sekarang! Kalau bisa, beneran dikebut sampai selesai.
Pukul 14.10, aku benar-benar bisa menyelesaikan semuanya. Mbak Lia juga bilang kalau semuanya sudah benar. Jadi, aku tinggal mengumpulkannya Senin depan tanpa perlu was-was lagi.
‘Tilulitilulit!’
Dering ponselku berbunyi dan saat itulah aku baru ingat kalau hari ini Bang Salman mau menjemputku. Akupun bergegas merapikan isi tasku dan langsung turun ke bawah.
“Abang udah di depan nih, Dek.” katanya dari ujung sana.
“Bentar, Bang! Otewe!”
Selang sepuluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di parkiran pasien. Di sana, sebuah mobil porsche tampil mentereng dibandingkan mobil yang lainnya. Kudekati mobil itu, lalu kuketuk kaca jendela pengemudinya.
Cklek!
Pintu pun terbuka, memperlihatkan seorang pria yang ketampanannya tak kalah mentereng dari mobil yang dikemudinya.
“Bang Salman! Aku kangen banget!” seruku seraya memeluk pria itu dengan erat.
Dialah Salman Ragnala, si aktor multitalenta yang sekarang ini sedang berada di masa keemasannya. Terserah kalau aku dikatai brother complex atau semacamnya, tapi abang kandungku ini memang luar biasa dalam segala hal.
Bang Salman itu berparas tampan, bahkan sebelum dia melakukan oplas dan prosedur kecantikan lainnya. Biasanya dia sangat ketat berdiet untuk menyesuaikan peran yang dia mainkan, tapi dalam mode normal dia sudah lebih dari proporsional. Selain itu, walaupun dia tidak mengenyam bangku kuliah, pengetahuannya di segala bidang sangat bagus. Terutama, karena itu adalah hal yang menunjang pekerjaannya.
“Abang lebih kangen lagi. Gak ada yang seimut kamu di Jakarta.” pujinya.
“Apaan sih, Bang?” ujarku sambil memukul ringan lengan kakakku untuk menyembunyikan rasa malu.
Diperlakukan begitu, dia tidak marah sama sekali. Malah senyumnya semakin lebar.
“Gimana? Mau jalan sekarang?” ajaknya yang langsung kusetujui dengan anggukan.
Akupun berjalan memutar untuk duduk di kursi penumpang depan. Lalu, tanpa kusengaja, aku melihat Mea yang tengah mengarahkan kamera ponselnya pada kami.